Dari kursi roda, pria dengan kemampuan berbeda ini membantu masyarakat dari berbagai pelosok Aceh mengurus prosedur berobat di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin.
Oleh Makmur Dimila
Muhammad Jalil Idris (69) girang mendapati pria berkursi roda di salah satu koridor Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh, sore 17 Februari 2016. Dihamprinya lalu dijulurkan tangan.
Muhammad (29) menyambut jabat tangan salah satu keluarga pasien yang dibantunya itu dengan senyum. Keduanya pun bernostalgia.
“Kami waktu itu tidak tahu cara mengurus perawatan pasien di RSUZA, hingga tiba-tiba bertemu Muhammad. Dia membantu kami sampai enam bulan lebih masa perawatan putra saya,” kisah Muhammad Jalil Idris.
Pria asal Geumpang itu merasa bersyukur bisa jumpai Muhammad pada 2011 itu. Kini mereka bagai keluarga. Sebagaimana pernah dirasakan pemuda difabel (different abilities people/orang dengan kemampuan berbeda) ini ketika ia pertama kali menjadi pasien RSUZA pada 2008.
Muhammad sebelum 2007 adalah Muhammad yang memiliki fisik normal seperti orang lainnya. Tetapi satu kecelakaan di Medan pada masa perantuannya itu melumpuhkan sebagian otot motorik dan juga impiannya.
Ia yang mengendarai motor saat itu menabrak truk interkuler dari arah berlawanan. Kakinya remuk. Kepalanya luka parah. Dari RS Santa Elisabeth Medan, ia dibawa pulang ke RSUD Sigli. Kemudian dirujuk ke RSUZA.
“Saya kritis. Selama setahun saya dirawat di sini, tak bangun-bangun,” tutur pemuda asal Pidie itu.
Dia kemudian tahu, keluarganya sangat kewalahan mengurus prosedur berobat di RSUZA, hingga dua pria tak dikenal datang membantu 24 jam. Merekalah yang membantunya selama berkali-kali operasi.
Tahun 2008, rumah sakit umum adalah rumahnya. Selama itu, ia banyak menerima bantuan dari orang-orang tak terduga, bahkan dari kalangan pemerintahan. Ia tak sanggup membalas jasa mereka.
“Kalau dihitung-hitung, mungkin ratusan juta habis untuk biaya berobat saya.”
Dari ranjang pasien, direnungi kehidupannya, bahwa Allah punya rencana baik baginya. Tak berapa lama usai keluar RSZUA pada September 2009, muncul niatnya untuk membantu orang lain meskipun ia tak bisa lagi berjalan normal.
Ia menawarkan diri ke Manajemen RSUZA agar bisa bekerja sebagai tenaga kerja harian, membantu masyarakat yang menganggap sulitnya administrasi rumah sakit. Pahitnya hidup di rumah sakit cukup ia saja yang alami.
“Modal saya hanya ijazah SD,” tuturnya.
Dia memang tak melanjutkan pendidikan, di samping kondisi suram di Aceh saat ia masih remaja. Sejak tahun 2000, ia merantau ke luar Aceh, seperti Batam, Jakarta, dan Medan yang terakhir.
“Untung saya cacat. Kalau tidak cacat mungkin bagaimana sudah kondisi saya hari ini, mungkin saya tidak ada lagi di Aceh,” ucap difabel yang akrab disapa ‘Pak Keucik Rumoh Saket’ ini.
Ia pun diterima dan diberikan fasilitas khusus di RSUZA lama. Sejatinya ia bertugas mengelola penggunaan kursi roda milik rumah sakit pelat merah itu bagi pasien yang membutuhkan, setelah pada tahun pertama kerja sebagai penjaga rumah singgah (penginapan) keluarga pasien di RSUZA lama.
Namun sebagai balas budi, ia akan senang melayani masyarakat yang kesulitan dengan prosedur berobat, sebagaimana pernah dialami keluarganya dan Muhammad Jalil Idris.
Dia sering mendapati masyarakat Aceh yang baru pertama kali ke RSUZA tak tahu prosedur dan malu bertanya. Jika dilihatnya orang seperti itu, diajukannya bantuan.
“Sering masyarakat awam yang merepeti susahnya prosedur berobat di sini. Ketika saya tanya ‘apanya yang sulit’, mereka ternyata hanya tidak paham cara pelayanan yang telah dikeluarkan rumah sakit. Misalnya mereka tidak tahu rontgen dan lab di mana.”
Namun Muhammad tak menampik ada masyarakat yang memang dipersulit dalam berobat. Untuk itu, dia mau malayani 24 jam siapa saja yang memerlukan layanan prosedur berobat ke RSUZA, dan mempersilakan untuk menghubungi nomor kontak pribadinya ke 081269018632 jika butuh bantuan.
Siapa saja akan dibantunya meskipun sedang sakit. Misal setelah menjalani operasi pada Januari lalu akibat kakinya patah terpeleset dari kendaraan, ia tetap terlihat gagah dari kursi roda, ekspresi yang sama dengan kondisi sebelumnya saat ia bisa berjalan timpang.
“Kaki saya memang sakit. Tapi bukan kaki yang akan menggerakkan saya untuk membantu orang, melainkan kepala saya,” tegasnya. “Bagaimana cara memikirkan agar orang sakit itu terselamatkan.”
Dalam bekerja, kejujuran menjadi prinsip utama Muhammad. Dia melakukan dengan benar meskipun pahit.
Dengan kejujurannya itu pula, akan diungkapkan (bila ada) kebohongan orang lain dalam menggunakan fasilitas rumah sakit, seperti pasien yang pernah didapatinya membawa pulang kursi roda.
Sebab itu, ia akan minta KTP setiap pasien yang minta kursi roda, sebagai jaminan. Kursi roda dikeluarkan hanya jika identitas pemintanya lengkap.
“Kalau tidak dijaga, tahu-tahu sudah dibawa pulang. Karena kita baik sama orang, terkadang orang tidak baik sama kita. Makanya kedisiplinan itu perlu. Pasien harus kembalikan kursi roda pada waktu yang ditentukan.”
Di sisi lain, dia sempat dituduh calo lantaran membantu orang lain. Padahal ia tak pernah minta uang pada orang yang dibantunya, cuma menerima ajakan makan dan minum jika ditawarkan. Kasus itu pernah sampai ke persidangan, tapi berakhir dengan perdamaian.
Muhammad mensyukuri hari ini mendapati dirinya pada level hidup lebih baik. Meski dari awalnya sebagai tenaga kerja harian, semenjak 2015, ia diemban sebagai tenaga kerja bakti. Tak sanggup dibalasnya jasa orang-orang yang telah membantunya, hanya bisa berterima kasih.
Tak Ramah Difabel
Muhammad juga punya pandangan ketika ditanyai perihal aksesibilitas bagi difabel di Banda Aceh, terutama bagi orang dengan kursi roda.
“Kota Banda Aceh belum ramah difabel. Kami kesulitan saat pergi ke fasilitas publik,” tuturnya.
Dia mengharapkan pemerintah peduli dan mendesain tata ruang kota yang ramah difabel. Selain halte Trans Kutaraja yang sudah memiliki lintasan khusus kursi roda, ia juga mengharapkan di setiap fasilitas publik dan perkantoran agar setidaknya memiliki lift khusus bagi orang pengguna kursi roda.
Muhammad memang tak punya kemampuan berjalan normal. Tapi semangatnya membantu orang lain dalam mendapatkan palayanan kesehatan membuatnya bergerak lebih normal dari orang normal itu sendiri.[]
Diterbitkan di Rubrik INSPIRASI Tabloid Pikiran Merdeka edisi 112 (22 – 28 Februari 2016)
Belum ada komentar