PM, Banda Aceh – Keputusan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh yang membebaskan terdakwa kasus pemerkosaan anak di bawah umur, terus menuai kontroversi.
Praktisi hukum, Arabiyani meragukan kapasitas hakim yang membatalkan hukuman 200 bulan penjara terhadap terdakwa yang semula telah diputus di Mahkamah Syar’iyah Jantho itu. Kepada awak media, Selasa (25/5/2021), Arabiyani memaparkan catatan kritisnya soal kasus ini.
Sebelumnya, diketahui Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh telah memutus bebas terdakwa dalam putusan perkara banding Nomor 7/JN/2021/MS Aceh. Pihaknya membatalkan putusan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho Nomor 22/JN/2020/MS-Jth.
Dalam amar putusannya, hakim MS Aceh menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perkosaan, sehingga membebaskan terdakwa atas segala tuntutan.
Arabiyani menilai Majelis Hakim MS Aceh tidak punya perspektif perlindungan terhadap anak dengan mengedepankan prinsip ‘the best interest of the child” sebagaimana amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
“Hakim MS Aceh tidak berpedoman pada Aturan Hukum SPPA sebagai Hukum Formil, sedangkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat adalah sebagai Hukum materil,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan kapasitas ketiga hakim tinggi tersebut, khususnya ketua majelis yang menyidangkan perkara tersebut.
“Apakah hakim ini sudah mengikuti diklat sertifikasi SPPA, yang seharusnya lebih memperhatikan kepentingan si anak korban (tentunya tanpa mengenyampingkan keadilan bagi terdakwa)?” tambah dia.
Pertanyakan ini diajukannya mengingat poin pertimbangan hakim dalam putusannya bahwa saksi korban anak tidak memberikan keterangan secara lisan. Hal ini lantas diterjemahkan secara subjektif oleh Majelis Hakim MS Jantho, bahwa kesaksian korban tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti saksi.
“Lebih parah lagi, dianggap sebagai imajinasi Majelis Hakim MS Jantho dan bersifat subjektif. Lebih jauh kondisi ini dinyatakan sebagai bentuk upaya ‘penggiringan’ oleh MS Jantho demi menyalahkan terdakwa,” terang Arabiyani.
Gagal Melihat Utuh Kasus Pemerkosaan
Selain itu Arabiyani juga menyoroti pertimbangan hakim yang menyebut kondisi vulva (vagina) korban yang tidak lagi menunjukkan pembengkakan, lecet, bekas peradangan, maupun pendarahan hebat yang merupakan ciri-ciri fisik korban perkosaan yang dibayangkan oleh MS Aceh.
Jarak waktu antara kejadian dengan pelaporan visum et repertum, kata dia, tentu memengaruhi kondisi luka. Dalam pertimbangannya juga hakim menolak hasil visum yang dianggap tidak mampu membuktikan bahwa terdakwa adalah pelakunya, meski visum itu dilakukan oleh ahli.
Karena itu hakim berkesimpulan bahwa jaksa penuntut umum tidak mampu membuktikan dakwaannya dengan dua alat bukti yang sah.
Menurut Arabiyani, seharusnya majelis hakim memberikan perhatian pada pertimbangan majelis hakim tingkat pertama, dakwaan, tuntutan yang telah dibuktikan oleh jaksa, kemudian tahap persidangan sampai pada pemeriksaan saksi verbal lisan (penyidik).
Dengan pertimbangan tadi, kata dia, hakim tampaknya meragukan profesionalisme saksi ahli yang telah disumpah dan memiliki keahlian di bidangnya. Sehingga hakim menganggap bahwa alat bukti yang diajukan jaksa berupa lima saksi, dua saksi ahli, dan satu barang bukti serta pengkuan korban perkosaan bukanlah merupakan alat bukti yang sah.
“Kami berfikir, kondisi ini juga dilatari dengan pengetahuan dan pengalaman majelis hakim yang mungkin tidak terbiasa menghadapi kasus khusus anak. Karena akan berbeda sekali memosisikan diri sebagai hakim perdata yang ruang lingkupnya seputar keperdataan masalah nikah cerai, waris, dan harta gono gini dan sengketa ekonomi syariah,” imbuh Arabiyani.
Perihal kesaksian korban juga, ia menilai Majelis Hakim MS Aceh sedikit pun tidak memperhatikan aspek psikologis anak. Kata dia, sudah tentu anak akan merasa takut saat menjawab pertanyaan yang diajukan oleh majelis hakim, atau anak takut dan trauma dengan keberadaan terdakwa.
Yang terpenting dari mengadili perkara khusus anak, lanjut Arabiyani, bukan hanya keahlian dalam menangani perkara. Namun juga bagaimana memahami kekerasan seksual, dalam hal ini perkosaan.
“Perkosaan memiliki elemen penting; tidak adanya persetujuan dari korban. Disini lah aspek medicolegal memainkan peranan penting. Pada konteks untuk penegakan hukum, sebaiknya tidak menghubungkan kondisi vagina korban dengan kekerasan seksual yang dialami korban,” ujarnya.
“Sebagai praktisi hukum, kami bingung, ini hakim maunya mengurai aspek medis, atau aspek forensic yang mengidentifikasi adanya kekerasan seksual,” tutupnya.[]
Belum ada komentar