Kasus yang menimpa Jainuddin sejatinya harus dijadikan langkah awal membersihkan DPRA dari stigma narkoba di lingkaran Parlemen Aceh. Karena, kasus yang menimpa Keuchik Joy ini kembali mengingatkan publik kepada penggerebekan sebuah mobil di rumah kosong di komplek DPRA, Kamis 10 September 2015.
Kala itu, tim Reskrim Polda Aceh menemukan senjata api di dalam mobil X-Trail yang diparkir di garasi rumah kosong di Blok C No.09 komplek tersebut. Rumah itu persis di depan rumah Iskandar Usman Al-Farlaky, anggota DPR Aceh yang memiliki hubungan saudara dengan Abdullah, yang belakangan menjadi terpidana kepemilikan narkoba.
Adalah Iskandar Usman Al Farlaky, anggota DPRA asal Dapil Aceh Timur. Politisi muda Partai Aceh ini disebut-sebut memiliki hubungan dekat dengan Abdullah, sang bos yang kala itu tengah duduk di kursi pesakitan dengan dakwaan kepemilikan 78,1 kilogram sabu.
Namun, Iskandar mengaku tidak mengetahui kasus ditemukan senjata oleh polisi di garasi rumah yang berada persis di depan rumahnya. “Saya tidak tahu persis kejadian tersebut. Jadi maaf, saya tidak berhak menjelaskan. Sebaiknya ditanyakan saja ke pihak pihak kepolisian,” ujarnya kala itu, 17 September 2015.
Sebelumnya, pada Senin (26/5/2014) polisi juga pernah menggerebek perumahan dewan dengan meringkus anak seorang anggota DPRA dari Partai Golkar berinisial JK. Saat ditangkap, polisi juga mengamankan barang bukti berupa bong atau alat penghisap sabu. Selain JK, polisi juga menangkap dua pemuda lainnya di lokasi terpisah.
Pengamat politik Teuku Kemal Fasya mengatakan, kasus penyalahgunaan narkoba memang sudah menembus di banyak sektor, mulai di dunia pendidikan hingga parlemen. Kata dia, di Indonesia sudah banyak kasus penangkapan atau pengintaian anggota dewan menyangkut kasus sabu-sabu.
“Jadi penangkapan Jainuddin bagus untuk membersihkan parlemen dari pengaruh buruk narkoba,” ujarnya, Sabtu pekan lalu.
Menurut dia, saat ini Partai Aceh sedang ketiban sial. Kasus ini telah meruntuhkan wibawa DPRA dan mencoreng citra Partai Aceh. Cara paling baik menurut Kemal untuk memperbaiki citra publik adalah PA segera mengusulkan pergantian Jainuddin karena dinilai telah mempermalukan rumah rakyat itu.
Secara etik, kata dia, meskipun belum ada keputusan inkracth karena kasus ini masih dalam proses penyidikan, anggota dewan yang ketahuan menggunakan narkoba selayaknya harus mundur. Jika tidak, fraksi partainya didesak segera memberhentikannya.
Ia pun menduga, di Parlemen Aceh tak hanya Jainuddin yang mengkonsumsi sabu. Kata dia, patut diduga ada oknum dewan lainnya yang memakai narkoba, hanya saja kali ini nasib sial yang menimpa Jainuddin.
“Kasus Jainuddin bisa jadi hanya gunung es dari praktik penggunaan sabu atau ganja di parlemen. Jadi, bagus dilakukan upaya monitoring terhadap mereka, termasuk pemeriksaan urine. Bagi yang positif harus diberikan upaya pemulihan atau surveillance (pengawasan), sehingga tidak mengulangi lagi penggunaannya,” paparnya.
Dugaan keterkaitan bisnis narkoba dan anggota DPRA juga penting untuk dilakukan penyidikan. Karena, menurut Kemal, kasus narkoba diketahui dalam banyak hal ikut mendukung politisi untuk mendapatkan perlindungan dan privilege. “Jadi, ini momen bagus untuk bongkar habis dunia undercover Parlemen Aceh,” sambungnya.
Desakan dilakukan tes urine anggota seluruh DPRA mengemuka usai ditangkapnya Geuchik Joy. Hal ini dinilai perlu dilakukan untuk memastikan para wakil rakyat yang duduk di parlemen bebas dari penggunaan narkoba.
Wakil Ketua DPRA Irwan Djohan kepada awak media di gedung dewan mengatakan dirinya seide dengan desakan tersebut. Bahkan, bila nantinya Ketua DPRA menyetujuinya tes urine, harus dilakukan secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumya.
“Saya setuju (dilakukan tes urine), tapi dilakukan secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya,” ujarnya, Jumat (11/8).
Terkait status Jainuddin, secara berjenjang kewenangan ada di partai tempat ia bernaung. Selanjutnya di tingkat fraksi, Badan Kehormatan Dewan, dan terakhir diproses di tingkat Pimpinan DPRA.[]
Belum ada komentar