Misi ‘Aceh Troe, Aceh Meugoe’ Pemerintahan Irwandi

Misi ‘Aceh Troe, Aceh Meugoe’ Pemerintahan Irwandi
Misi ‘Aceh Troe, Aceh Meugoe’ Pemerintahan Irwandi

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengapresiasi kinerja Pemerintahan Zikir (Zaini Abdullah-Muzakir Manaf). Setelah menghabiskan masa jabatan periode 2012-2022, duet kepemimpinan Zikir mewariskan sejumlah hal penting yang menjadi pondasi pembangunan Aceh ke depan.

“Banyak hal positif yang telah dilakukan pemerintahan Zikir. Terima kasih Doto Zaini dan Muzakir Manaf yang telah banyak berbuat untuk Aceh,” sebut Tengku Agam—sapaan Irwandi—dalam sambutan singkatnya pada Malam Pisah Sambut Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Rabu (5/7) malam.

Gubernur Irwandi menegaskan, duet pimpinan ini telah banyak melakukan terobosan dalam pembangunan. Di bidang fisik, antara lain adalah membuat dan menyelesaikan pelebaran jembatan Lamnyong, jembatan layang atau fly over Simpang Surabaya dan pelebaran jembatan Krueng Cut, serta renovasi Masjid Raya Baiturrahman dan beberapa karya besar lainnya.

Melanjutkan proses pembangunan di Aceh, sejak diumumkan KIP sebagai Gubernur Aceh terpilih, Irwandi langung bekerja membangun rumah dhuafa. “Awalnya, saya targetkan sebanyak 100 rumah. Namun saat ini sudah mencapai 200 unit rumah dan saya tidak tahu kapan akan berhenti. Saat ini tim terus melakukan pendataan untuk membangun rumah-rumah selanjutnya,” sambung Irwandi yang tampil di panggung bersama sang istri, Darwati A Gani.

Diakui Irwandi, banyak PR yang dulu ditinggalkannya telah berhasil dilaksanakan oleh Pemerintahan Zikir. “Malam ini saya juga mendapatkan sejumlah PR dari Doto Zaini. Insya Allah, dengan dukungan dari semua pihak, bersama-sama kita akan menyelesaikannya demi mewujudkan Aceh Hebat,” ujar gubernur.

Sementara Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang juga didampingi sang istri, dr Dyah Erti Idawati, dalam sambutannya menegaskan komitmennya untuk membantu tugas-tugas gubernur, terutama dalam mewujudkan visi-misi pada masa kampanye yang bermuara pada terwujudnya Aceh Hebat.

“Kerjasama kami dibangun dengan pondasi keikhlasan, di atas fundamen ketulusan, terus terang, transparan dan akuntabel. Kami akan membantu mewujudkan semua janji-janji kampanye. Sebagai wakil gubernur, saya berkomitmen untuk membantu tugas-tugas Bapak Irwandi Yusuf,” ujar Nova Iriansyah.

PRESTASI “ZIKIR” DAN “PR” IRWANDI-NOVA
Pernyataan Irwandi tentu bukan tanpa dasar. Selain pembangunan bidang fisik yang telah dilakukan Pemerintahan Zikir, bidang yang jauh lebih fundamental adalah ketahanan pangan, tepatnya mewujudkan peningkatan nilai tambah produk pertanian dan ketahanan pangan melalui optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam.

Dengan demikian, masyarakat Aceh ke depan akan mampu memanfaatkan potensi-potensi sumber daya alam yang berdaya guna dan berhasil guna secara optimal, dengan mendorong masyarakat yang lebih produktif, kreatif, dan inovatif. Di tangan Zikir, bidang yang menjadi prioritas ke-4 dari 10 prioritas pembangunan ini mendapat perhatian yang luar , baik dari aspek penguatan kelembagaan maupun teknis implementatif di lapangan.

Seperti diketahui, pangan merupakan kebutuhan/hak paling asasi bagi setiap individu, masyarakat dan bangsa yang harus dipenuhi sepanjang hidup. Ini juga merupakan pra-syarat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan lain seperti kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang layak. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara, rumah tangga hingga perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup jumlah dan mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.

Sebagai daerah yang menerapkan Syariat Islam, masalah pangan harus jadi perhatian khusus, sebab urusan ini tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik, tapi juga menyangkut masalah ukhrawi. Itu sebabnya agama mengajarkan konsumsi pangan yang halal dan sehat (halaalan thayyiba). Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad secara khusus memperingatkan umatnya bahwa orang yang mengkonsumsi pangan haram tidak akan masuk syurga.

Secara potensial, sekitar 30 persen dari luas daratannya adalah lahan pertanian dan perkebunan. Sedangkan panjang garis pantai Aceh adalah 1.660 km dengan luas wilayah laut 295.370 km2, terdiri dari 56.563 km2 daerah laut teritorial dan kepulauan serta 238.807 km2 merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Dengan luas daratan dan laut tersebut, Aceh memiliki potensi besar di sektor pertanian, perikanan dan kelautan. BPS (2014) melaporkan, sektor pertanian masih merupakan bidang yang memberikan porsi paling besar dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia, termasuk Aceh, yakni 46,52%, diikuti sektor jasa 20,72%, dan perdagangan 17,06%, sisanya sektor industri pengolahan 4,05% dan lainnya 11,64%.

Sementara produksi perikanan laut Aceh mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada 2014, produksi perikanan laut mencapai 154.487,40 ton, meningkat 8% dari sebelumnya 145.883,6 ton pada 2012. Nilai produksi perikanan laut Aceh pada 2014 mencapai Rp2,9 triliun (Aceh Dalam Angka, 2015). Diperkirakan, potensi lestari perikanan laut Aceh mencapai lebih dari 200.000 ton per tahun.

Dari data di atas dapat dilihat bahwa sektor pertanian, kelautan dan perikanan masih menjadi tulang punggung perekonomian bagi masyarakat. Maka sudah sepatutnya pemerintah menjadikan pertanian sebagai leading sector dalam pembangunan. Aceh juga merupakan salah satu lumbung pangan nasional yang hampir setiap tahunnya mengalami surplus gabah.

Dari sekian banyak komoditi, tiga komoditi pangan telah berhasil digarap, yakni padi, jagung dan kedelai sesuai dengan sasaran pembangunan nasional. Pada akhir tahun 2017, RPJMA Pemerintah Aceh menargetkan capaian produksi padi sekitar 2,9 juta ton, jagung 249 ribu ton dan kedelai 48 juta ton. Sektor pertanian adalah kunci utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh dalam lima tahun terakhir ini. Apalagi, saat ini Indonesia termasuk dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang membuka pasar seluas-luasnya bagi setiap negara yang tergabung dalam forum tersebut.

Pemerintah Aceh juga memberikan perhatian yang serius dalam menjamin kemudahan akses dan keamanan pangan terhadap masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari penyediaan cadangan pangan pemerintah setiap tahunnya, bantuan pangan kepada kelompok rentan dan transient, serta kegiatan operasi pasar yang dilaksanakan secara rutin. Keberadaan pasar atau sarana pemasaran yang semakin banyak juga merupakan faktor yang akan memudahkan akses masyarakat terhadap pangan.

Sesuai dengan visinya, yaitu “terwujudnya pemenuhan pangan dan kesejahteraan petani/masyarakat dalam kemakmuran melalui pemberdayaan masyarakat, koordinasi ketahanan pangan dan penyelenggaraan penyuluhan”, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Aceh (BKPLuh)—kini telah berubah menjadi Dinas Pangan—telah melaksnakan berbagai kebijakan dan program pemerintah guna merealisasikan visinya. Visi tersebut dijabarkan dalam pelaksanaan tiga sub-sistem ketahanan pangan. Pertama, kuantitas dan kualitas produksi. Kedua, ketersediaan dan keterjangkauan. Ketiga, mutu dan keamanan konsumsi.

Tolok ukur ketahanan pangan bukan hanya pada jumlah produksi, tapi ditentukan oleh tiga sub-sistem di mana masyarakat luas harus ikut berperan serta. Terkait keamanan pangan, petani harus memperhatikan praktek budidaya yang baik (GAP) dan masyarakat (konsumen) harus teliti dan memastikan pangan aman sebelum dikonsumsi. Sedangkan pemerintah berkewajiban mengatur, membina dan mengawasi. Salah satu keberhasilan Pemerintah Aceh adalah dalam hal kelembagaan keamanan pangan (OKKPD/ UPTB Balai Sertifikasi dan Pengawasan Mutu Keamanan Pangan Hasil Pertanian Aceh).

Atas keberhasilan tersebut, Pemerintah Aceh meraih penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara tahun 2016 untuk katagori Pembina Ketahanan Pangan tingkat Provinsi (30/11/2016). Selain itu, Aceh juga berhasil meraih penghargaan katagori pembina ketahanan pangan tingkat kabupaten oleh Bupati Bireuen dan Irwan Ibrahim, Manajer Socolatte Pidie Jaya untuk katagori Pelaku Pengembangan Industri pangan olahan. Puncak keberhasilan Pemerintahan Zikir ditandai dengan keberhasilan Aceh melaksanakan event terbesar sepanjang sejarah Aceh yang berjalan sukses pada 6-11 Mei 2017 yang lalu. Tidak kurang sekitar 70 agenda kegiatan yang dihadiri puluhan ribu petani-nelayan se- Indonesia dan mancanegara sukses terlaksana.

Kepala Dinas Pangan Aceh, Ir Masnun MSi mengungkapkan, pihaknya sangat bersyukur atas penghargaan yang diperoleh Aceh di pangan. “Ini tentu menjadi motivasi bagi Pemerintahan baru Aceh untuk bekerja lebih keras melanjutkan pembangunan ketahanan pangan. Karena, meski memiliki sumber daya alam melimpah seperti padi/beras, jagung, kedelai, ikan, daging, sayuran dan buah- buahan namun Aceh masih menghadapi banyak persoalan atau tantangan seperti praktek pertanian yang tidak standar, gizi buruk, adanya daerah rawan pangan, ancaman krisis pangan karena berbagai faktor termasuk bencana alam, kurangnya pemahaman dan dukungan masyarakat, dan lain-lain,” pungkasnya.

Irwandi-Nova menyadari betul bahwa jika keberhasilan tersebut tidak dilanjutkan secara tepat dan proporsional, tidak ada jaminan ke depan akan menjadi lebih baik, bahkan justru sebaliknya, stagnan atau malah menurun. Merespon hal tersebut, pihaknya telah membentuk Tim Penyusun RPJM termasuk di bidang pertanian. Muslahuddin Daud didampingi Lukman Age dan Wahdy Azmi dari unsur Tim RPJM dalam Forum Pertemuan dengan Forum Kakao Aceh menjelaskan, bahwa saat ini pihaknya sedang merampungkan visi Gubernur-Wakil Gubernur terpilih bidang Pertanian dengan 15 Program Unggulan yang disebut ‘Aceh Troe, Aceh Megoe’.

“Tentu saja beberapa komoditi akan menjadi fokus dan pengembangan utama. Masih kurangnya riset dan masalah perubahan iklim juga sangat serius dan mendesak untuk ditanggulangi,” pungkas Muslahuddin.

Peluang dan Tantangan ‘Aceh Troe, Aceh Mugoe’
Dengan capaian Pemerintah Aceh sebelumnya di bidang ketahanan pangan, tentu akan memiliki sejumlah peluang sekaligus tantangan yang akan dihadapi Pemerintah Aceh ke depan di bidang tersebut.

PELUANG

  • Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
  • Meskipun dengan berbagai keterbatasan infrastruktur pertanian seperti irigasi, sampai saat ini Aceh merupakan lumbung pangan nasional yang mengalami surplus padi hampir setiap tahunnya.
  • Sudah mulai ada kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi pangan lokal non-beras, misalnya mie sagu, sagu mutiara, beurene, dan adee singkong.
  • Keberadaan Dewan Ketahanan Pangan di provinsi dan kabupaten/kota di Aceh sudah semakin baik untuk merumuskan, mengkaji, mendukung, dan mengevaluasi berbagai kebijakan tentang ketahanan pangan.
  • Terjadi peningkatan animo masyarakat yang signifikan terhadap budidaya beberapa jenis tanaman pangan andalan seperti jagung dan kedelai yang bertujuan tidak hanya sebagai bahan konsumsi, tetapi juga sebagai bahan baku industri lainnya termasuk industri makanan ternak.
  • Adanya penurunan yang drastis persentase balita sangat kurus dan kurus dari 14,2% pada tahun 2010 menjadi 6,1% di tahun 2013.

TANTANGAN:

  • Secara umum produksi pangan terus meningkat, dan pada umumnya daerah di Aceh merupakan daerah swasembada/surplus produksi pangan (terutama padi). Akan tetapi laju pertumbuhan produksi pangan padi dan jagung masih lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Aceh. Dengan adanya perbaikan infrastuktur pertanian, teknologi budidaya tanaman, dan pengendalian alih fungsi lahan serta pemanfaatan lahan terlantar.
  • Pengembangan komoditi unggulan daerah dan memperkuat sistem mata rantai produksi (supply chain).
  • Pengembangan dan peningkatan kapasitas unit penyedia sarana produksi, dan peningkatan pengendalian serta pengawasan distribusi sarana produksi sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
  • Pengupayaan tumbuh dan berkembangnya industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan, terutama berbasis sumberdaya lokal di kawasan-kawasan sentra produksi.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait