Pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas, terutama akses lapangan kerja di Banda Aceh masih menjadi kendala. Pemerintah kota belum mempunyai regulasi khusus berupa qanun untuk memenuhi hak penyandang disabilitas.
Berdasarkan data Dinas Sosial Banda Aceh, ada 511 penyandang disabilitas di Banda Aceh pada 2016. Mereka masih sulit mendapatkan akses pekerjaan. Sebagian memilih menjadi pengemis.
Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Berkebutuhan Khusus Aceh (FKM-BKA), Syarifuddin mengaku sudah banyak mendengar keluhan yang disampaikan penyandang disabilitas. “Tapi, penyelenggara pemerintahan di mana pun akan mengatakan, orang yang nggak disabilitas saja banyak yang belum bekerja. Lalu kalau begitu, kapan orang itu semua dapat pekerjaan, baru kami dapat. Kan gitu?” ujarnya, Rabu pekan lalu.
Ia juga menyayangkan masih adanya stigma bahwa penyandang disabilitas tak mampu bekerja seperti orang lain. Padahal, dengan bantuan berbagai teknologi mutakhir, berbagai keterbatasan fisik yang menjadi kendala mereka dalam bekerja bisa diterabas.
Syarifuddin mencontohkan kini penyandang tunanetra sudah dapat membaca tulisan di layar komputer menggunakan teknologi pembaca layar (screen reader) Job Access With Speech (JAWS). Sementara untuk ponsel bisa menggunakan teknologi pembaca layar TalkBack.
Selain itu, masih banyak teknologi lain yang bisa dimanfaatkan penyandang disabilitas untuk mengatasi keterbatasan fisiknya. “Permasalahannya sekarang, mereka menganggap kalau tunanetra itu harus didampingi, harus dituntun. Sebenarnya walaupun dituntun berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain itu karena belum biasa. Kalau udah biasa, ya, pasti bisa,” ujarnya.
Syarifuddin menilai masih banyak diskriminasi dalam pemenuhan hak kerja bagi disabilitas. Padahal dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan ada pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi untuk penyandang disabilitas. Mereka berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta tanpa diskriminasi.
Ia juga mempermasalahkan perusahaan yang mengakali implementasi dari pasal 53, yaitu kewajiban perusahaan swasta mempekerjakan setidaknya satu persen penyandang disabilitas. Sementara untuk pemerintah, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah minimal dua persen. “Misalnya, ada satu perusahaan mempekerjakan dua ratus orang. Berarti harus mempekerjakan minimal dua orang disabilitas ‘kan. Tinggal dicari aja orang yang telinganya bengkok, atau yang tak ada satu jarinya. Kan sudah terpenuhi kuotanya itu,” tutur Syarifuddin.
Karena itu, ia meminta pemerintah menjelaskan kuota satu persen itu untuk penyandang disabilitas atau cacat yang seperti apa. “Penyandang disabilitas itu banyak jenisnya. Ini namanya lempar batu sembunyi tangan. Ya, mereka mengatakan sudah berbuat karena kuota satu persen itu sudah terpenuhi. Saya tidak simpati dengan kuota satu persen ini,” ungkapnya.
Jika pemerintah masih beranggapan penyandang disabilitas belum mampu bekerja di swasta atau instansi, kata Syarifuddin, seharusnya pemerintah membuka sendiri peluang tersebut. “Pemerintah buat sendiri dulu sebagai pilot project. Misalnya, disabilitas bisa berjualan, jadi pemerintah buat dulu minimarket disability. Jadi nanti di situ ada kasir dan segala macam,” sebutnya.
Baca: Asa Kaum Disabilitas Banda Aceh
Namun kenyataannya, kata Syarifuddin, hal seperti itu tidak dilaksanakan oleh pemerintah. “Harapan kami, tolonglah kami diberdayakan. Kami ini sebenarnya bukan hanya minta bantuan, tapi kami juga minta perhatian. Karena pada prinsipnya kalau orang diperhatikan sudah pasti dibantu, tapi kalau yang dibantu belum tentu diperhatikan,” ujarnya.
Kepala Dinas Sosial Banda Aceh Dwi Putrasyah mengaku sudah memfasilitasi dan memberikan pelatihan untuk para penyandang disabilitas di Banda Aceh. “Seperti pelatihan memijat untuk tunanetra, itu sudah pernah dilakukan. Kemudian bantuan-bantuan seperti kursi roda. Kalau pengadaan dari Pemko Banda Aceh sendiri sepengetahuan saya nggak ada, tetapi stok kita didukung dari provinsi,” ujarnya Jumat pekan lalu. Sementara untuk penyandang disabilitas lain diakuinya tidak ada pelatihan.
Selain kursi roda, kata Dwi, bantuan lain yang diberikan yaitu tongkat empat kaki dan tongkat yang bisa dilipat untuk penyandang tunanetra. Ia menyebutkan bantuan peralatan tersebut kebanyakan dari pemerintah provinsi karena adanya keterbatasan anggaran di Dinas Sosial Banda Aceh. Dwi mengaku baru tiga pekan menjabat. Sebelumnya, ia staf ahli Wali Kota Banda Aceh bidang hukum dan politik.
Dwi menilai tuntutan pemberdayaan dan akses kerja bagi penyandang disabilitas sah-sah saja. “Tapi dari hasil temuan di lapangan yang kita lihat tidak seperti itu. Mereka sudah difasilitasi. Ada tempat-tempat pemijat seperti di Neusu. Tapi ketika saya tanya pada salah seorang dari mereka kenapa turun ke jalan meminta-minta, alasannya karena penghasilan menurun,” tuturnya.
Dwi merujuk pada tunanetra yang difasilitas Dinas Sosial Banda Aceh sebagai pemijat tapi terjaring razia Satuan Polisi Pamong Praja Banda Aceh karena kedapatan mengemis. Ke depan, Dwi mencoba membuat program pembinaan bagi mereka yang terjaring razia tersebut.
“Jadi nanti kita berikan pelatihan sesuai skill mereka misalnya seperti budidaya tanaman. Ini baru wacana. Kalau nggak ada solusi, ya begini begini terus kan?”
Hal senada disampaikan anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh, Isnaini Husda. Menurutnya, pelatihan dan pemberdayaan untuk penyandang disabilitas sudah pernah dilakukan Dinas Sosial Banda Aceh. Namun, ia mengakui terkait akses lapangan kerja, terutama di instansi pemerintahan masih terbatas.
“Mungkin ke depan, sesuai dengan kemampuan daerah nanti, kita dorong pemerintah, ya, paling tidak untuk pelatihan kita lanjutkan. Kalau memang nanti ada pembukaan lowongan kerja, kita minta pemerintah untuk memprioritaskan mereka,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar