Metamorfosis Darussalam

Metamorfosis Darussalam
Jembatan Lamnyong (PM/IST)

“Sewaktu saya pertama ke sini, Darussalam tak sepadat ini. Hanya ada beberapa rumah dinding kayu.”

Radhiah, warga Dusun Barat (Lampoh U), Gampong Kopelma Darussalam, Kecamatan Syiah Kuala, mengenang perubahan tempat tinggalnya. Dua puluh tahun yang lalu, Radhiah pindah dari kota Sigli ke Banda Aceh.

“Beton-beton di depan itu juga tidak ada,” tunjuk Radhiah ke arah pagar beton pembatas gerbang Kopelma. “Sekarang, kalau mau cari warga asli Lampoh U susah. Rata-rata semua pendatang,” kata Radhiah kepada Pikiran merdeka, Selasa (9/1).

Radhiah tengah bersantai di ujung lorong depan rumahnya. Di samping lorong terdapat perumahan indekos mewah berlantai dua. Dindingnya bercat abu-abu. “Dulu di sini tidak ada yang bangun rumah berdinding beton. Kini kos pun banyak yang beton,” ujarnya.

Menurut Radhiah, usaha kos-kosan kian menjamur di wilayahnya. “Coba keliling, liat kawasan ini. Padat dipenuhi anak kos. Meski begitu, wilayah ini termasuk aman,” ujarnya.

Menurut cerita tokoh-tokoh tua setempat, kawasan Lampoh U dulunya terkenal dengan sisi gelapnya. “Memang dulu waktu pertama saya ke sini nama Lampoh U dikenal tidak baik di masyarakat. Kalau saya bilang tinggal di Lampoh U, orang-orang langsung berfikir tidak enak. Tapi sekarang tidak ada lagi yang seperti itu. Lampoh U aman dari kejahatan dan tindak asusila apapun,” tutur Radhiah.

Kopelma kini dikenal sebagai kampung mahasiswa. Area seluas 207,35 hektar ini terdiri dari lima dusun yaitu Dusun Timur, Barat, Selatan, dan Sederhana. Dari segi perbatasannya, dusun timur berbatasan dengan Desa Tungkop. Sebelah barat berbatasan dengan Krueng Aceh. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Limpok dan Desa Berabung. Sedangkan Utara berbatasan dengan Desa Rukoh dan Tanjung Selamat.

Sebelum diresmikan sebagai sebuah desa pada 17 Agustus 1958 oleh Menteri Agama KH Ilyas, Gampong Kopelma masih masuk dalam wilayah Gampong Tanjung Selamat, Limpok, Berabung, dan Rukoh.
Pada tahun 1959, Kopelma masih berupa lahan kosong dan kebun kelapa. Karena itu, wilayah Kopelma bagian barat masih disebut dengan nama Lampoh U hingga kini.

Untuk mencapai Dusun Lampoh U, dari arah jembatan Lamnyong berbelok ke kanan sebelum gerbang Kopelma. Memasuki daerah pemukiman padat tersebut, di jalan kecil yang dihimpit operumahan yang sesak, beberapa mahasiswa terlihat lalu-lalang.

Suatu siang, dari kejauhan tampak seorang mahasiswi Universitas Syiah Kuala tengah duduk santai di depan kosnya yang berselang dua lorong dari rumah Fauziah. Adalah Maithmainah, ia mengatakan wilayah tempat tinggalnya saat ini masih tergolong aman.

“Kalau sudah jam sepuluh malam warga di depan emang berjaga-jaga. Kalau ada anak kos yang pulang di atas jam sepuluh malam langsung ditegur. Perempuan juga tidak boleh diantarkan oleh laki-laki kalau malam hari,” kata mahasiawi yang biasa dipanggil Ina.

Lokasinya yang sangat dekat dengan kampus membuat harga sewa rumah di kawasan tersebut terbilang sangat tinggi. Untuk kamar triplek petak seluas 3×3 meter saja, anak kos harus membayar Rp2 juta per tahun.

“Kalau cari yang beton dan keramik mahal lagi. Seperti yang di depan gang itu, setahun Rp10 juta per kamar,” aku Ina.

Darussalam terus berevolusi. Kondisinya terus berkembang. Perkembangan yang sangat pesat uga dirasakan Neza Andriani, 34 tahun. Di sebuah warung kopi yang berada persis di turunan jembatan Lamnyong, Pikiran Merdeka berbincang-bincang dengannya.
Neza mengaku terkejut dengan perubahan Kopelma sekarang.

“Saya terkejut melihat Darussalam yang sekarang. Tahun 2002, saya kuliah di sana kondisinya belum seperti ini,” cerita Neza akan perasaannya saat pertama kali menginjakkan kaki ke Kopelma kembali.

Saat itu Neza perlu ke UIN untuk mengantarkan adiknya. “Saya sempat tersesat. Tidak tahu lagi UIN di mana. UIN memang berubah pesat. Dulunya waktu saya kuliah, UIN seperti semak belukar. Di selingkungan UIN ditumbuhi rumput-rumput yang tinggi. Bangunannya kecil-kecil dan tak banyak. Jarak antar fakultas pun sangat jauh,” kenangnya.

Ditambah dengan perkembangan infrastruktur di wilayah tersebut, kata Neza, hal itu menambah kesan metropolis pada wilayah yang dulunya sangat jauh dari hingar bingar kota.

“Jembatan Lamnyong pun dibuat sangat bagus. Dulunya jalan ke Darussalam masih berbatu. Sekarang dari rumah saya di Sukadamai ke Darussalam hanya menempuh waktu 20 menit. Kalau dulu, kami naik labi-labi lebih dari 20 menit,” ujarnya.

Dengan adanya perbaikan infrastruktur, Darussalam tak jauh lagi dari pusat kota. Darussalam tumbuh pesat. Kini wilayah itu mulai berkembang bak kota kecil. Segala kebutuhan masyarakat tersedia di sana. Mulai dari rumah sakit, mini market, pasar, bank, wisma tamu, dan lain-lain.

Beberapa tempat tongkrongan anak muda mulai dikembangkan di sana. Mulai dari tongkrongan mewah seperti Nook Bakery & Caffe hingga warkop seperti Zakir, menjamur di mana-mana. “Waktu saya kuliah dulu mana ada warkop semacam ini. Sekarang mahasiswa saya lihat banyak yang buat tugas di Warkop termasuk adik saya. Dulu kami harus ke perpustakaan,” tuturnya.

Tak hanya itu, kedua universitas ternama di Aceh—UIN Ar-Raniry dan Unsyiah—pun mecoba mendirikan wisma di dalam lingkungan kampus. Tamunya tak hanya akademisi. Namun beberapa tamu dari luar daerah. Hal itu menambah kontribusi perkembangan wilayah Kopelma Darussalam.

Untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa, para warga berlomba-lomba membangun tempat usaha di wilayah Darussalam. Mulai dari usaha kecil sampai usaha menengah. Usaha-usaha kecil yang berkembang pesat di wilayah tersebut yakni fotokopi dan warung makan. Di sepanjang jalan Kopelma, toko-toko dipenuhi sesak dengan warung makan. Baik nasi padang maupun nasi uduk.

Misalnya saja warung nasi uduk yang berada di Jalan Utama Rukoh. Pada pertengahan tahun 2017, warung makan tersebut masih satu pintu, namun akhir 2017 l, warung makan milik Mulyani itu bertambah satu pintu lagi.

Kepada Pikiran Merdeka, Mulyani mengaku ia melihat prospek bisnis yang sangat besar di wilayah tersebut. “Sewaktu mau buka usaha, saya memang cari-cari tempat yang ramai orang. Rencananya saya mau jualan di kedai yang di bawah jembatan Lamnyong itu, tapi sudah penuh semua, dapatnya di sini,” kata pemilik warung makan atas nama “2M” tersebut. Per harinya, Mulyani mendapat kauntungan sekira Rp4 juta dari usahanya.

Usaha serupa juga menyebar di sekeliling pagar kampus. Setidaknya di sepanjang Jalan Utama Rukoh menuju Jalan Lingkar Kampus ada sebanyak 14 usaha nasi uduk dengan memasang harga per porsi sesuai kantong mahasiswa. Para pedagang bahkan tak segan untuk bersaing dan banting harga.

Keberadaan dua universitas memberi dampak besar bagi perubahan Kopelma Darussalam. Wajah metropolis Kopelma dapat dilihat dari berbagai sisi. Baik ekonomi, kependudukan, sosial, dan tata ruang.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Menangkal Risiko Bencana Alam
Petugas BPBD melakukan Simulasia Kebakaran Hutan dan Lahan

Menangkal Risiko Bencana Alam