PM, Jakarta – Eksekusi mati TKI Tuti Tursilawati tanpa notifikasi dari Arab Saudi tengah menjadi perbincangan hangat, sekaligus memantik dukacita yang mendalam. Namun, ternyata bukan kali pertama eksekusi tanpa pemberitahuan semacam ini terjadi. Menurut catatan Migrant CARE pada tahun 2008-2018, ada lima WNI lainnya yang mengalami hal serupa selain Tuti.
“Yang di Arab, sejak 2008-2018 ada 6 semuanya tidak ada notifikasi,” ujar Aktivis Migrant CARE, Anis Hidayah saat dimintai konfirmasi oleh detik, Rabu (31/10).
Keenam WNI yang dieksekusi mati Saudi tanpa notifikasi bekerja sebagai TKI di Saudi. Mereka dieksekusi atas tuduhan membunuh majikannya.
“Eksekusi hukuman mati terhadap pekerja migran kerap dilakukan tanpa memberikan notifikasi terlebih dahulu kepada pihak Pemerintah RI serta dengan mengabaikan akses terhadap keadilan dalam proses hukum yang berjalan,” tulis infografis yang dibagikan Anis.
Migrant CARE juga menampilkan data Kementerian Luar Negeri tahun 2011-2017 di mana ada 188 kasus WNI terancam hukuman mati yang dalam proses penanganan serta 392 kasus selesai dengan vonis bebas. Menurut catatan Migrant CARE, 72 persen pekerja migran yang menghadapi hukuman mati adalah perempuan.
Saudi dan Malaysia disebut menjadi negara dengan ancaman hukuman mati tertinggi. Migrant CARE mencatat, 66 persen kasus terkait tuduhan pembunuhan, 14 persen terkait tuduhan sebagai kurir narkoba, dan 14 persen dengan tuduhan sihir.
Berikut 6 TKI yang dieksekusi mati tanpa notifikasi:
- Yanti Irianti (11 Januari 2008), ditembak mati di Saudi karena tuduhan membunuh majikan,
- Ruyati (18 Juni 2011), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan,
- Siti Zaenab (14 April 2015), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan,
- Karni (16 April 2015), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan,
- Muhammad Zaini Misrin Arsad (18 Maret 2018), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan,
- Tuti Tursilawati (29 Oktober 2018), dipancung di Saudi karena tuduhan membunuh majikan.
“Praktik di Arab Saudi Memang Begitu”
Sebagai bentuk protes terhadap Arab Saudi, Menteri Luar Negeri Retno Masudi telah memanggil duta besar Saudi di Jakarta Selasa (30/10). Bahkan, sebelum Tuti dieksekusi, Menlu Retno juga telah menyampaikan kasus Tuti kepada menteri luar negeri Arab dalam pertemuan di Bali pada tanggal 23 Oktober lalu.
Keluarga Tuti di Majalengka, Jawa Barat, telah diberitahu dan menyatakan “ikhlas menerima keputusan meskipun mereka menampakkan kekagetan,” kata Lalu Muhammad Iqbal, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia, Kemenlu.
“Sejak eksekusi pertama tahun 2011 belum pernah ada yang diberikan notifikasi oleh pemerintah Saudi. Sejak eksekusi kedua tahun 2015, kita meminta kepada pemerintah saudi untuk memberikan notifikasi secara tertulis ataupun lisan,” kata Lalu.
Terkait dengan protes terakhir, Lalu menyatakan belum ada jawaban resmi dari Arab Saudi dan hanya jawaban bahwa “praktek di Arab Saudi memang begitu.”
Tetapi dalam pertemuan di Bali dengan menteri luar negeri Saudi, Menlu Retno secara resmi meminta agar negara kerajaan itu mempertimbangkan perjanjian Mandatory Consuler Notification, atau memberitahu bila terjadi eksekusi.
Indonesia memiliki perjanjian seperti ini dengan sejumlah negara namun Arab Saudi tak memiliki kesepakatan itu.
“Protes yang kita buat, kita harapkan dapat memperkuat momentum untuk mempertimbangkan usulan menandatangani perjanjian mandatory consuler notification sehingga kejadian yang terjadi seperti saat ini dapat dihindari di kemudian hari,” kata Lalu.
Sementara itu Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, organisasi pekerja migran, mengatakan saat ini ada 19 tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi yang masuk dalam daftar hukuman mati.
“Ini tantangan berat bagi pemerintah,” kata Wahyu terkait atas permintaan agar negara kerajaan itu mempertimbangkan menerapkan langkah notifikasi atas eksekusi.
Wahyu juga mengatakan ia percaya semua kasus yang menimpa TKI terpidana mati karena membela diri namun tertutupnya proses peradilan menyulitkan TKI mendapatkan sidang yang adil.
“Kasus-kasus (TKI terpidana mati) hampir semua adalah upaya untuk pembelaan diri, kekerasan dan bahkan ada percobaan perkosaan oleh majikan atau orang lain,” kata Wahyu. []
Sumber: Detik, Tempo
Belum ada komentar