Atas nama pembangunan dan investasi, rakyat dipaksa hengkang dari tanah yang sudah dikelola bertahun-tahun. Aparat kerap dilibatkan untuk menghadapi warga yang menentang. Ujung-ujungnya, perlawanan rakyat berakhir di balik jeruji besi.
Safpuriyadi (28) masih mengingat-ingat bagaimana empat warga Desa Cot Mee, Kecamatan Tadu Raya, Nagan Raya, pada Maret 2016 silam digelandang polisi. Kala itu, polisi menangkap Asubki, Musilan, Khaidir dan Julinaidi dan menahannya di Polsek Kuala. Mereka dituduh sebagai pelaku pengrusakan dan pambakaran barak perusahaan PT Fajar Baizury and Brothers, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Nagan Raya.
Dalam penangkapan tersebut, empat warga diancam pidana hukuman maksimal 12 tahun penjara sesuai pasal 187 ayat (1) Jo Pasal 406 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Beberapa waktu kemudian, Kejaksaan Negeri Suka Makmue menetapkan mereka sebagai tersangka. Di Pengadilan Negeri Meulaboh, hakim memutuskan Khaidir dan Julinaidi dengan vonis masing-masing enam bulan penjara, sedangkan Asubki divonis setengahnya. Sementara Musilan saat itu diputus bebas lantaran dalam persidangan terbukti dirinya tak terlibat dalam peristiwa tersebut.
Cerita ‘kriminalisasi’ warga Cot Mee ini tak lain buntut dari sengketa lahan antara warga setempat dengan PT Fajar Baizury yang telah berlangsung sejak 2008. Meski ketiga tahanan itu telah bebas pada pertengahan Januari lalu, pertentangan warga terhadap perusahaan sawit yang telah membuka lahannya sejak tahun 1996 ini tak kunjung redam. Mereka tak rela tanah ulayat yang sejak dulu dimanfaatkan warga secara turun-temurun, dirampas perusahaan.
Peristiwa ini pula yang melatarbelakangi Safpuriyadi tertarik untuk ikut mendampingi warga Cot Mee menuntut hak tanah mereka. Setelah menamatkan kuliahnya di Universitas Teuku Umar Meulaboh pada 2014, ia dan teman-temannya sesama mahasiswa memutuskan untuk terlibat dalam perjuangan masyarakat Cot Mee. Sebelumnya, Puri sudah lebih dulu aktif mendampingi masyarakat desa tetangga di Cot Rambung yang juga punya masalah yang sama dengan perusahaan.
“Masyarakat tahu bahwa mereka (Khadir Cs) memperjuangkan tanah adat di kampung ini, dan perlawanan hingga sekarang masih muncul,” kata Safpuriyadi pada Pikiran Merdeka, Jumat (15/12) pekan lalu.
Semula, tanah seluas 400 hektar itu dikelola secara komunal oleh warga Cot Mee. Mereka yang umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, sering memanfaatkan sebagian lahan rawa di sana untuk berburu limbek, sejenis ikan lele yang telah lama jadi makanan khas setempat. Malang, sejak perusahaan sawit beroperasi dan menyerobot tanah ulayat itu, warga tak diperkenankan lagi menjamahnya.
Kegiatan operasional PT Fajar Baizury memang sejak awal meresahkan masyarakat Cot Mee. Pasalnya, menurut dia, ada dua masalah di Desa Cot Mee terkait aktifitas perusahaan tersebut. Pertama, PT Fajar Baizury beroperasi memperluas kebunnya dengan menyerobot lahan milik masyarakat.
“Jika kita lihat dokumen Hak Guna Usaha (HGU) dari PT Fajar ini, objek sebenarnya di Desa Cot Rambung. Tidak ada lahan di Cot Mee masuk ke dalam HGU mereka, tapi faktanya mereka melanggar HGU itu sendiri dengan memperluas lahan hingga memasukkan Cot Mee dalam wilayah operasional mereka. Apalagi yang diserobot itu lahan ulayat,” jelas laki-laki yang akrab disapa Puri ini.
Selain itu, masalah lainnya muncul. Ditengarai, Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku pihak yang berwenang seringkali menetapkan ukuran luas lahan tanpa meninjau lokasi secara langsung.
“Mereka tidak tahu itu lahan sekarang ini tengah dikelola masyarakat. Tetapi karena prosesnya ‘di atas meja’, sehingga setelah keluar HGU perusahaan beroperasi, di situlah biang terjadinya konflik,” lanjutnya.
Demi menagih hak kepemlikian tanah adat itu pula, Puri bersama perwakilan warga tak kenal lelah bertandang ke banyak tempat. Hingga rezim Pemerintah Kabupaten Nagan Raya berganti, pihaknya masih berharap persoalan ini bisa diselesaikan.
“Memang secara resmi belum ada pertemuan dengan Bupati terpilih. Namun, secara personal kami sudah pernah berjumpa beliau,” jawab Puri.
Saat itu, akunya, Jamin Idham berjanji akan segera menyelesaikan persoalan antara masyarakat dengan PT Fajar Baizury yang telah berlangsung lama. Namun, untuk tahun pertama kepemimpinannya, Jamin masih ingin fokus menata instansi internal pemerintah. “Beliau minta kami bersabar.”
Rabu (6/12) pekan lalu, Puri juga ikut mendampingi sejumlah perwakilan tokoh masyarakat Cot Mee untuk datang ke kantor Dinas Pertanahan Aceh. Di sana, mereka diterima Kepala Bidang Penyelesaian Masalah dan Sengketa, Muhammad Nizwar. Dalam pertemuan itu, Nizwar berjanji bahwa pihaknya akan menyelesaikan masalah tersebut sesuai peraturan yang berlaku. “Beliau bahkan awal tahun depan berencana akan turun meninjau lokasi,” ujar Puri.
Upaya penuntutan hak ini sepertinya tak boleh surut. Terlebih lagi, HGU dari PT Fajar Baizury kabarnya bakal berakhir di tahun 2019. Lantas, masa-masa ini terbilang genting mengingat perusahaan bisa saja memperpanjang izin dengan memasukkan wilayah Desa Cot Mee ke dalam dokumen HGU yang baru.
“Kita khawatirkan ada celah pihak-pihak tertentu yang bermain, kami mengerti sekali, hal semacam ini sering terjadi dimana pun, perubahan luas HGU terjadi di masa perpanjangannya, maka masyarakat harus terus memantau,” kata paralegal di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pos Meulaboh ini.
BERTAMENG APARAT
Cerita yang kurang lebih sama terjadi di Kecamatan Babahrot, Aceh Barat Daya. Keberadaan perusahaan sawit PT Dua Perkasa Lestari (DPL) juga menimbulkan pertentangan dari warga setempat.
“Ini sebenarnya terkait kasus lama, lahan yang dipakai PT DPL itu lahan kelolanya masyarakat. Secara individu sejak tahun 1996, kemudian digarap kembali oleh masyarakat paska tsunami. Banyak bukti fisik berupa tanaman yang sudah besar-besar, pohon durian, termasuk ada kuburan keluarga juga,” jelas Puri yang juga terlibat mengadvokasi warga Babahrot.
PT DPL dianggap menyimpan cacat administrasi pada saat penerbitan HGU-nya, salah satunya Izin Usaha Perkebunan yang dikeluarkan gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Dalam dokumen itu tertera bahwa kegiatan perkebunan PT DPL mencakup wilayah di Desa Krueng Seumayam, Kecamatan Babahrot, Abdya.
“Sementara di wilayah administratif Abdya itu tidak ada yang namanya Gampong Krueng Seumayam di Babahrot. Karena Krueng Seumayam itu berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya. Fatal sekali memang kesalahannya, kita mempertanyakan kenapa IUP-nya cacat seperti itu. Tapi anehnya, HGU juga bisa keluar,” kata dia.
Selain itu, lagi-lagi peran BPN dalam hal ini yang dianggapnya melanggar aturan, karena menetapkan ukuran luas lahan tanpa mengunjungi lokasi secara langsung. “Saya berjumpa dengan salah seorang warga gampong yang dulunya pernah bekerja DPL, dia yang memasang patok lahan, dia sampaikan BPN memang waktu itu tak turun ke lapangan,” akunya.
Selain itu, berdasarkan pengakuan warga setempat, pihak PT Dua Perkasa Lestari tidak pernah bertemu langsung dengan warga. Untuk melancarkan protes terkait penyerobotan lahan, warga selalu dihadapkan pada aparat yang berjaga di perusahaan.
“Kami diintimidasi dengan banyak cara, seperti pengrusakan tanaman milik masyarakat, berupaya menghilangkan bukti-bukti alam seperti itu. Bahkan, minggu lalu baru saja terjadi pembakaran gubuk petani. Kami sudah melaporkannya ke pihak yang berwajib,” kata salah seorang warga Babahrot.
Ia mengatakan, sejak diklaim secara sepihak oleh PT DPL, masyarakat sudah sulit masuk ke lahan mereka sendiri. Warga menyesalkan, aparat yang seharusnya melindungi masyarakat, malah menjadi tameng bagi perusahaan. “Perusahaan seakan terlindung di balik itu semua, tidak pernah bertatap muka langsung. Sampai sekarang kami tidak pernah jumpa dengan pihak manajemen perusahaan, dihadapkan pada aparat, kami merasa seperti masih berada di masa konflik saja,” ()
Belum ada komentar