Kedua pasangan calon dinilai “menggoreng” isu kepemimpinan perempuan untuk meraih simpati pemilih. Telah diingatkan jauh-jauh hari.
Jauh sebelum pertarungan kandidat calon wali kota dan wakil wali kota dimulai secara resmi, Panitia Pengawas Pemilihan atau Panwaslih Banda Aceh telah mewanti-wanti kemunculan isu kepemimpinan perempuan.
Penanggung Jawab Divisi Pencegahan Panwaslih Banda Aceh, Hekal Daudy, mengaku khawatir terhadap mencuatnya isu larangan memilih perempuan sebagai pemimpin. Isu semacam ini, katanya, bisa masuk ranah pidana. Ia menggolongkannya dalam unsur SARA. “Sama seperti materi kampanye yang isinya mengancam keutuhan negara. Hujatan atau misalnya black campaign, politik uang, itu semua masuk ke ranah pidana,” katanya saat ditemui Pikiran Merdeka di ruang kerjanya, Jumat pekan lalu.
Dalam posisi sebagai pengawas kegiatan pemilihan, Hekal mengaku sejak jauh-jauh hari telah mengingatkan pasangan calon untuk tidak berbicara ranah soal kepemimpinan perempuan. Berkali-kali ia menyampaikan hal itu dalam pertemuan teknis bersama para kandidat, termasuk pada saat acara debat. “Sudah kita komitmen dalam technical meeting, malah kita surati lagi,” ungkapnya.
Baca: Terusik Isu ‘Haram’ Memilih Perempuan
Ia menyadari betul isu itu sudah jadi amatan serius banyak pihak, tak terkecuali kepolisian. Ia bahkan khawatir munculnya isu ini berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat. “Sayangnya, kedua pasangan calon ternyata memanfaatkan isu ini untuk menaikkan bargainning position-nya masing-masing rupanya. Yang terbaca oleh kita seperti itu,” keluh Hekal.
Berada dalam posisi yang dilematis, lantaran teguran sudah disampaikan secara tegas, tapi ternyata isu malah dimainkan secara bersama-sama oleh kedua pihak, hal ini membuatnya jadi kurang simpati terhadap para calon. “Karena dua-duanya mengelola debatable masalah khilafiyah kepemimpinan perempuan ini untuk jadi ramuan materi kampanyenya.”
Terhadap kedua paslon, Hekal menilai, mereka belum berada dalam posisi ingin menciptakan Pilkada yang mencerdaskan masyarakat. Tidak terlihat adanya keinginan kedua paslon untuk menggiring situasi yang kondusif di tengah masyarakat. Satu pihak menyebarkan isu, satu pihak lagi memperbesar isu dengan mempertontonkannya di ruang publik. “Karena walau bagaimanapun, mengingat apa yang sudah kami sampaikan secara baik-baik, tapi tidak dipegang secara komit . Maka, kedua paslon Calkot-Cawalkot Banda Aceh ini sama-sama tidak berpikir tentang kondisi riil masyarakat, yang sebenarnya tidak ingin ada perpecahan lantaran persoalan itu hanya gara-gara kontestasi Pilkada. Kami sangat menyesalkan hal itu,” lanjut Hekal.
Mengenai sanksi, Panwaslih sendiri memang sama sekali belum menerima laporan secara resmi tentang adanya pelanggaran pidana. Meskipun telah mengantongi laporan lisan dari sejumlah orang. Pelanggaran ada yang sifatnya administratif dan pidana. “Untuk perkara pidana, kita harus punya laporan resmi yang diberikan oleh masyarakat. Lalu kumpulkan saksi dan alat buktinya, setelah itu baru kita akan lanjutkan ke pihak Kepolisian dan Kejaksaan sesuai aturan yang berlaku,” kata Yusuf Al Qardhawy, Koordinator Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Panwaslih Banda Aceh.
Namun, daripada bicara soal tindak pidana, Yusuf merasa warga Banda Aceh secara umum masih bisa diarahkan melalui imbauan persuasif. Ia memastikan 95 persen warga di ibu kota provinsi ini taat aturan. Penanganan yang dilakukan selama ini juga hanya sebatas pada pelanggaran administratif yang tuntas dengan cara mediasi.[]
Belum ada komentar