Konstribusi Disdikdayah Aceh dinilai belum sebanding dengan anggran yang dikelolanya. Bantuan lembaga itu hanya terfokus pada segelintir dayah tertentu.
Senin (27/11) pekan lalu, Dinas Pendidikan Dayah (Disdikdayah) Aceh menggelar Rapat Koordinasi Ulama Dayah Aceh angkatan I dan II di aula Hotel Mekah, Banda Aceh. Rakor yang dihadiri sekitar 400-an ulama dayah se-Aceh itu mengangkat tema ‘Koordinasi dan silaturrahmi ulama dalam rangka memperkuat sinergi kelembagaan pendidikan dayah’.
Dalam sambutannya, Sekretaris Daerah Aceh Dermawan mengatakan pentingnya dukungan terhadap fungsi dan peran ulama dayah di Aceh. Pemerintah Aceh, kata dia, tengah menitikberatkan pengembangan di sektor infrastruktur, penguatan sumber daya manusia, dan manajemen tata kelola dayah.
“Dayah memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah dan madrasah. Kita terus berupaya agar lulusan dayah mampu mengambil peran dalam pembangunan berkelanjutan,” katanya.
Dinas Pendidikan Dayah sebelumnya merupakan salah satu perangkat daerah Aceh yang berstatus kekhususan. Dari yang semula bernama Badan Pendidikan Dayah, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 95 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah Aceh, lembaga ini naik status menjadi dinas.
Dalam perjalanannya, sejak 2008 hingga sekarang telah banyak program yang digagas untuk mengembangkan pendidikan dayah di Aceh. Namun, beberapa hari usai Rakor pada Senin lalu, ternyata kinerja Disdikdayah mendapat sorotan tajam.
Sekjen Sentra Aktivis Dayah untuk Rakyat (SADaR) Aceh, Haekal Afifa mengkritisi kinerja lembaga ini yang dinilainya stagnan, baik dari serapan anggaran maupun capaian program.
“Keberadaannya padahal sangat penting untuk pengembangan dayah di Aceh, sayangnya, sudah sembilan tahun berjalan, tak ada hasil yang signifikan, terkesan meuputa-puta bak jalan soet,” kata Haekal kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (2/12) pekan lalu.
Haekal menyesalkan, dengan anggaran ratusan miliar setiap tahunnya, ternyata masih banyak dayah-dayah di wilayah Aceh yang belum terjamah bantuan. Selain itu, ia juga menyebutkan selama ini Disdikdayah hanya memfokuskan alokasi anggarannya untuk pembangunan yang sifatnya fisik semata. Padahal, jangkauan program dinas tersebut tidak sampai di situ saja. Dayah juga membutuhkan pengembangan manajemen, peningkatan kapasitas sumber daya untuk santri dan tenaga pengajarnya.
“Berdasarkan data kami, bisa dibilang 62 persen Disdikdayah fokus hanya pada infrastruktur. Sisanya memang ada untuk pengembangan SDM, tapi sedikit sekali,” jelasnya.
Hal demikian juga ironis, lantaran keseluruhan infrastruktur itu hanya terdapat pada dayah-dayah besar. “Dayah yang sudah terkenal, bagaimana dengan yang ada di pelosok-pelosok, di perbatasan, apakah ada pembangunan?” kritiknya.
Adapun sistem swakelola untuk proses pengerjaan proyek pembangunan dayah, sebagaimana tertera dalam Peraturan Gubernur Nomor 26 tahun 2015, menurut Haekal juga penting untuk dicermati kembali. Regulasi yang di dalamnya mengatur soal pembangunan sarana dan prasarana dayah ini, pada praktiknya banyak ‘menjebak’ tengku-tengku dayah. Sistem ini, menurut dia, telah menghambat tanggung jawab tenaga pengajar di dayah itu sendiri.
“Pelan-pelan, Dinas Dayah mengajari tengku-tengku jadi kontraktor, atau cara pajoh fee. Efeknya, tengku dayah terjebak sibuk main proyek atau proposal, ini kan sama saja membuat tengku dayah kehilangan marwah,” protesnya.
Selain itu, menurut Haekal, banyak sekali progrm Disdikdayah yang tidak tepat sasaran. Hal ini menurutnya, karena selama ini lembaga tersebut belum memiliki petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dalam bekerja.
“Dinas ini hanya bekerja bermodal Pergub saja. Tidak punya juknis dan juklak untuk setiap kegiatan yang dilaksanakan, kadang perlu tikar tapi diberikan mushala, malah ada kejadian yang dibutuhkan kitab Syafi’i, tapi yang diberikan malah kitab Wahabi,” katanya.
Terkait pembangunan infrastuktur yang hanya menyasar dayah-dayah besar di Aceh, ia menganggap seakan-akan dinas tersebut hanya ingin melakukan pencitraan untuk masyarakat.
“Di sejumlah pemberitaan media, tampak sekali hanya dayah-dayah yang dipimpin ulama besar saja yang mendapat perhatian, jadi komentar yang tampak itu positif-positif saja, padahal kenyataannya banyak yang diabaikan,” ujar Ketua Divisi Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA) ini. Seharusnya, kata dia lagi, Disdikdayah tingkat provinsi mengerahkan dinas di tiap kabupaten/kota agar pembangunan dilakukan secara merata di seluruh dayah di Aceh.
TENGKU RANGKANG
Kritikan pedas Haekal juga terkait acara Rapat Koordinasi Ulama Dayah Aceh yang digelar pekan lalu. Dari sejumlah sumber, ia mengaku mendapat informasi bahwa peserta yang diundang lebih banyak pihak yang terlibat dalam tim sukses gubernur di Pilkada lalu.
“Di baliho, ada foto Abu Mudi (Pimpinan Dayah Mudi Mesra Samalanga), tapi beliau tidak diundang untuk rakor itu, demikian juga untuk Abi Lampisang dan beberapa Abu di Aceh, banyak yang tidak mereka koordinasikan. Beberapa orang mengatakan yang diundang lebih banyak ‘teungku rangkang’ yang terlibat sebagai tim sukses Pilkada lalu,” sahutnya.
Belakangan, diketahui Abu Mudi hanya hadir pada acara Rapat Kerja Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) yang digelar pada Rabu malam (29/11) di lokasi yang berbeda.
Kinerja Disdikdayah yang juga dikritisi Haekal, mengenai samarnya klasifikasi tipologi dayah di Aceh. Hal ini berdampak pada terlantarnya dayah-dayah kecil yang seharusnya mendapat perhatian lebih.
“Tipologi dayah sampai sekarang tak jelas, mana dayah yang selayaknya mendapatkan tipe, mana dayah yang tidak? Standar tipologinya tak jelas, bagaimana mereka mengklasifikasikannya? Belum lagi keadaan dayah yang berada di wilayah perbatasan,” ujarnya.
Tipologi dayah di Aceh, dalam dinamikanya diketahui sebagai salah satu bentuk intervensi dari Pemerintah Aceh sejak tahun 2003 silam. Baik material seperti sarana prasarana maupun dukungan lainnya, tipologi ini juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas dayah. Tipikal dayah didasari oleh beberapa indikator, antara lain status tanah, kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga kependidikan, santri, dan finansial. Penentuan tipologi itu salah satunya akan berimbas kepada jumlah bantuan yang akan diberikan oleh Pemerintah Aceh.
Dalam jurnal ilmiah Islam Futura edisi Februari 2016 lalu, mahasiswa Leiden University, Arfiansyah sempat mengurai dampak peraturan Gubernur Aceh nomor 451.2/474/2003 terhadap peningkatan kualitas pendidikan dayah. Salah satu isinya adalah membuat kebijakan bahwa dayah di Aceh dibagi dalam beberapa klasifikasi. Klasifikasi yang dilakukan Pemda NAD kala itu adalah dalam bentuk Dayah Tipe A, Dayah Tipe B, Dayah Tipe C dan Dayah Non Tipe.
Kebijakan tersebut sebenarnya ditetapkan agar bantuan yang akan diberikan pemerintah kepada dayah sesuai dengan klasifikasi dayah tersebut. Pembagian akreditasi semacam ini berdasarkan atas substansi penilaian. Di antaranya jumlah santri menetap, jumlah santri tidak menetap, jumlah tenaga pengajar, kurikulum, luas tanah, dan luas bangunan.
Namun, Haekal menganggap kerja Disdikdayah belum rinci seperti itu. Hal tersebut tampak dari gelontoran infrastruktur yang hanya ditujukan pada dayah-dayah tertentu saja. “Pengembangan dayah di kawasan perbatasan yang semestinya juga menjadi tanggung jawab mereka, bahkan masih ada yang tanahnya belum disertifikasi sampai hari ini,” katanya.
Terakhir, Haekal meminta agar Pemerintah Aceh segera mengevaluasi kinerja Disdikdayah. Ia berharap, dinas itu ditempati oleh orang-orang yang paham seluk beluk kehidupan dayah sebagai lembaga pendidikan yang punya sejarah panjang di Aceh.
“Adanya Disdikdayah ini kan sebagai pengakuan dari pemerintah mengenai eksistensi dayah di Aceh. yang kita persoalkan ini kan mengenai tata kelolanya. Potensi dayah ke depan itu padahal sangat bagus, tapi sayangnya, masih banyak sekali dayah yang tidak tersentuh oleh program mereka,” sebut Haekal.
KADISDIKDAYAH MEMBANTAH
Kepala Dinas Pendidikan Dayah Aceh, Bustami Usman mengaku tak ingin ambil pusing perihal kritikan yang dilontarkan Sekjen SADaR, Haekal Afifa. Dikonfirmasi Pikiran Merdeka pada Sabtu (2/12) pekan lalu, ia meyakinkan bahwa dinas yang dipimpinnya telah memberi banyak kontribusi untuk pengembangan dayah di Aceh.
Terkait tudingan Haekal bahwa Disdikdayah hanya mengundang teungku-tengku tertentu saja pada saat Rakor Ulama Dayah Aceh pekan lalu, ia membantahnya.
“Tidak benar itu, semua kita undang, hanya saja ada yang kirim perwakilan, ada sebagian yang sudah ada jadwal pengajian sehingga tidak sempat hadir. Abu Lampisang bahkan mengabari saya bahwa beliau tidak sempat datang,” kata Bustami. Menurutnya, ada segelintir pihak yang mempolitisir informasi ketidakhadiran beberapa ulama tersebut.
Mengenai bantuan pembangunan infrastruktur, Bustami juga mempertanyakan dasar dari pernyataan Haekal. Menurut dia, ratusan miliar dana yang diplot di Disdikdayah selama ini semuanya telah disalurkan secara tepat sasaran.
“Selama ini bantuan untuk dayah luar biasa, awalnya terpinggirkan, namun dayah sekarang gedungnya sudah bertingkat-tingkat,” aku Bustami.
Ia mencontohkan, dayah Babussalam Al-Aziziah di Jeunieb, Bireuen, kini telah dibangun bertingkat dan permanen. Demikian juga dengan dayah di Samalanga yang dipimpin Abu Mudi, dayah Mahyal Ulum di Aceh Besar, dan lainnya seperti dayah pimpinan Abu Tumin dan Abu Kuta Krueng.
“Tidak kurang dari Rp300 miliar telah diberikan. Dana ini memang dominan untuk pembangunan fisik, karena memang banyak proposal masuk meminta demikian,” ujar Bustami.
Menyangkut gelontoran dana yang hanya diberikan pada dayah-dayah yang ‘besar’, pihaknya mengatakan bahwa bantuan yang disalurkan pemerintah memang bervariasi. “Ada klasifikasi memang. Tipe A, Tipe B, dan seterusnya. Bantuannya kan variasi, kadang ada yang tidak diberikan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA). Tidak semua tipe bisa dibantu bersamaan, tahun ini hanya dayah tipe A dan B, tahun depan bisa lain lagi,” jelasnya.
Lagipula, sebut dia, dalam Qanun Nomor 9 Tahun 2015 mengenai Penyelenggaraan Pendidikan, disebutkan bahwa pengembangan balai pengajian adalah tugas Disdikdayah tingkat kabupaten dan kota. “Dayah besar menjadi tugas provinsi, kalau yang kecil-kecil bukan tugas provinsi, di tingkat kabupaten ada dinasnya masing-masing,” tambahnya.
Bustami menjelaskan, bahwa lembaga pendidikan bisa disebut sebagai dayah jika memenuhi serangkaian kriteria, yang salah satunya adalah terdapat santri yang menetap atau menginap di dayah tersebut minimal berjumlah 25 orang. “Kalau sekedar balai pengajian, kami menggolongkannya dalam kategori dayah non-tipe, dan tidak setiap tahun tersedia anggaran,” ujarnya.
Selain program pembangunan fisik, sambung Bustami, Disdikdayah juga banyak menggelar program pengembangan SDM untuk santri dayah. Setiap tahun pihaknya memprogramkan pengiriman santri ke luar daerah untuk pendalaman bahasa inggris dan bahasa arab.
“Kita juga pernah melakukan pembekalan wirausaha untuk santri, pelatihan manajemen dayah, pelatihan jurnalistik, dan sejumlah kerjasama dengan berbagai instansi,” papar Bustami.
Khusus untuk pengadaan kitab, Disdikdayah untuk sementara di tahun ini tidak memprogramkannya. Pihaknya akan melakukan evaluasi bersama dayah agar kitab-kitab yang disediakan sesuai dengan kebutuhan santri. “Kemarin kita akui ada sedikit kesalahan, kitab-kitab yang disalurkan ada berisi ajaran wahabi dan itu ditentang, maka biar jangan ada gejolak, kita evaluasi dulu, agar kitab yang disalurkan ke depan sesuai dengan kebutuhan dayah,” ucapnya.()
Belum ada komentar