Menyoal Aspek Hukum Jubir Pemerintah

Menyoal Aspek Hukum Jubir Pemerintah
Mawardi Ismail SH MHum.(Foto:Tribun)

Tidak memiliki regulasi jelas, keberadaan juru bicara dinilai bersifat sementara. Diprediksi, akan dibubarkan setelah pengutan fungsi humas.

Menurut pakar hukum senior Universitas Syiah Kuala, Mawardi Ismail SH MHum, tidak ada aturan yang secara khusus mengatur jabatan juru bicara di pemerintahan suatu daerah. Keberadaan juru bicara, kata dia, semata-mata merupakan hak prerogatif gubernur.

“Dan setahu saya, tidak ada aturan yang mengatur Jubir secara resmi. Lagipula yang biasanya kita dengar itu kan juru bicara gubernur, bukan juru bicara pemerintah,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (10/2) pekan lalu.

Terkait: Usulan Fantastis Sang Penyambung Lidah

Ia menambahkan, posisi juru bicara mungkin hanya berlangsung sementara. “Saya kira sifatnya juga bakal tidak permanen, yang tetap itu kan Humas Pemerintah Aceh, yang memang bagian dari organisasi pemerintahan,” tuturnya.

Mawardi memaklumi terjadinya tumpang tindih wewenang antara juru bicara dan Humas Pemerintah Aceh. Hal itu karena tidak jelasnya Standar Operasional Prosedur (SOP) antara tugas kedua corong resmi pemerintah ini.

“Mengenai keberadaan Jubir yang tumpang tindih dengan Humas, itu soal teknis. Dan tidak boleh terjadi seperti itu. Makanya harus selalu ada koordinasi, harus ada SOP yang jelas antara kerja jubir dan kerja humas. Supaya tak terjadi tumpang tindih,” tegasnya.

Soal tujuan gubernur menunjuk juru bicara selain Humas, Mawardi menduga peran Humas selama ini tidak maksimal. Selain itu, keberadaan juru bicara sekaligus menunggu evaluasi paska penentuan SKPA baru tahun ini.

“Mungkin, pak gubernur menunjuk jubirnya ini karena barangkali Humas-nya ini kurang berfungsi. Karena kan kita tahu, organisasi pemerintahan Aceh ini kan masih belum solid. Kalau nantinya Humas sudah bisa berfungsi dengan baik, peran dari Jubir ini dipastikan bakal dievaluasi kembali,” tambah Mawardi.

Tidak adanya aturan yang khusus terkait posisi juru bicara pemerintahan, dikuatkan kembali oleh Koordinator MaTA, Alfian. Ia menerangkan, pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kehumasan Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah, telah secara jelas menyatakan bahwa menjadi juru bicara merupakan salah satu tugas dari pejabat Humas pemerintah daerah.

“Pada pasal 5 ayat (1) sangat jelas, bahwa pejabat kehumasan di lingkungan pemerintah daerah provinsi bertindak sebagao juru bicara gubernur,” terang Alfian.

Demikian pula Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. “Dalam aturan tersebut dijelaskan mana yang menjadi struktur resmi perangkat daerah, dan hanya biro Humas yang disebutkan di dalamnya,” sambung Alfian.

Terkait dengan kegiatan jubir dalam melakukan lobi ke media, LSM, dan sebagainya, ia juga sepakat bahwa itu bukan lah tugas jubir yang seharusnya. “Sampai disini nomenklatur nya kan agak rancu, jadi kita secara tegas menyikapi, (jubir) baiknya dibubarkan saja,” imbuhnya.

Baca: Rekam Jejak Jubir dan Penyerobotan Fungsi Humas

Dari itu semua ia menyimpulkan, bahwa keberadaan juru bicara di luar lembaga Humas berimbas pada tiga hal, yakni pemborosan anggaran, ketimpangan regulasi, efektifitas penerimaan informasi.
“Karena yang seharusnya informasi itu disampaikan secara utuh melalui satu pintu. Tapi dengan posisi hari ini, dengan berbagai variabel yang sudah dibangun, ini kan juga publik akhirnya bingung,” kata Alfian.

Pada akhirnya, Alfian memandang begitu banyak kebijakan yang jadi blunder bagi Pemerintah Aceh sendiri. Beberapa di antaranya, pembentukan tim mediasi Aceh yang belakangan dibubarkan, lalu rencana kerjasama dirgantara dan pengadaan pesawat terbang.

“Semua jadi blunder, ini perlu dievaluasi dan menjadi intropeksi bagi Pemerintah Aceh. Kita berharap gubernur dalam memutuskan sesuatu itu mesti hati-hati, baik dari sisi regulasi maupun dari sisi pengeluaran keuangan daerah,” tutupnya.[]

Juru Bicara Pemerintah Aceh
Kami Siap Tampung Setiap Kritikan

Usai pecabutan usulan kebutuhan operasional, pekan lalu, Juru Bicara Pemerintah Aceh Saifullah Abdulgani menegaskan masih tetap fokus menjalankan tugas yang diembannya.

Saifullah Abdulgani

“Kami tak terpengaruh sama sekali, tetap bekerja,” kata Saifullah kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (10/2) pekan lalu, melalui saluran telepon.

Ia juga enggan berkomentar terkait bocornya surat usulan pihaknya ke tangan publik. ”Tapi sebaiknya memang untuk dokumen birokrasi, setiap aparatur negara perlu mengamankannya. Walaupun itu bukan rahasia, tapi belum patut keluar ke publik, saya pikir demikian,” sambungnya.

Selain itu, Saiful mengaku bersyukur dan berterima kasih karena surat ini dibocorkan. “Publik jadi tahu bahwa kami akan melakukan silaturrahmi dengan segala keterbatasan yang ada. Karena masyarakat cenderung melihat yang namanya juru bicara menjalankan fungsi public relation itu kan datang mewakili instansi.”

Dengan bocoran tersebut, ujar dia, publik lebih terdukasi dan juru bicara juga bisa bekerja dengan tenang.

Mantan Humas Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) di periode kepemimpinan Gubernur Irwandi tahun 2007-2012 silam ini menyatakan, koordinasi dengan gubernur maupun Humas Pemerintah Aceh berjalan sangat baik. “Gubernur telah berikan mandat kepercayaan, maka itu harus kami jalankan sebaik-baiknya,” kata dia.

Menyangkut usulan operasional tempo hari, ia kembali menekankan bahwa dana itu masih sebatas usulan. “Seandainya usulan itu tertampung, tentu kita berharap bisa membina hubungan dengan mitra kerja dan stakholder dengan lebih baik dan elegan,” ujarnya.

Tugas juru bicara, ujar Saiful, tidak bisa lepas dari kegiatan silaturrahmi dan berdiskusi dengan kelompok masyarakat.
Berupaya meluruskan isu kebutuhan operasiol itu juga, Saiful kembali menegaskan, dana itu merupakan usulan untuk dijadikan plafon, yang alokasinya sebesar Rp1 juta/hari. Terkait penggunaannya, itu tergantung pada mekanisme pengeluaran keuangan di Biro Humas Setda Aceh.

“Bukan berarti uang itu kita yang pegang, karena memang tidak ada mekanisme panganggaran semacam itu. Jadi, seandainya ada pertemuan, katakanlah dengan beberapa mitra, pembayaran konsumsi di situ dibayar oleh Biro Humas,” terangnya.

Ditegaskannya, tidak ada mekanisme pangambilan uang, yang ada membelanjakan sesuai mekanisme pengeluaran keuangan daerah. “Cuma mungkin ada anggapan karena disebut Rp1 juta/hari, jadinya ‘wah besar sekali’, dalam kunjungan juru bicara ke berbagai mitra dan stakeholder memang tak diwajibkan membawa sesuatu. Ya, kita datang saja sudah bahagia, meski dalam adat kita sendiri ada hal-hal yang menyangkut dengan kepantasan untuk memberi itu masih ada.”

Dikatakannya, semua dana opersional itu digunakan secara at cost. “Berapa yang diperlukan itu yang dibayarkan. Karena demikian mekanismenya, makanya kita sebut itu usulan program kegiatan di Biro Humas. Kalau tidak seperti itu ya kan tidak kita usulkan ke sana. Ini yang ingin kita luruskan,” kata Saiful.

Selama ini, imbuhnya, sejak ditunjuk sebagai juru bicara, semua kegiatan operasional ia biayai secara pribadi. Saifullah mengaku bisa memaklumi itu, karena sejak awal sudah berpengalaman bekerja di Pemerintah Aceh sebagai Humas JKA. “Untuk ke depan, kita lihat saja nanti. Mungkin difasilitasi oleh mekanisme yang ada di Pemerintah Aceh, apakah melalui Biro Humas. Yang jelas, tak ada yang teralokasi secara khusus untuk jubir,” ujar Saiful lagi.

DITATA KEMBALI

Soal tumpang tindih antara peran Humas dan Jubir di Pemerintah Aceh, Saifullah Abdulgani menduga pandangan tersebut dikarenakan porsi pemberitaan media massa yang banyak mengutip keterangan mereka dibanding dari Biro Humas.

“Barangkali Jubir terlalu aktif dan nampak lebih dominan dalam pemberitaan-pemberitaan. Kalau bicara soal ini, ya saya ingin tanya kembali ke media, kenapa hal yang sifatnya teknis, tidak strategis, bukan kebijakan, tapi justru yang dihubungi itu jubir, bukan yang lain?” tanya Saiful.

Ia menegaskan, bahwa juru bicara Pemerintah Aceh selama ini sangat terbuka pada media massa. “Beberapa wartawan selalu mengaku pada saya memerlukan informasi cepat dan selama ini paling mudah ya menghubungi jubir,” katanya.

Ditinjau dari aspek hukum, lanjut dia, maka ke depan posisi juru bicara perlu ditata kembali. Dengan demikian, kehadiran juru bicara diharapkan bisa menyokong kerja Humas.

Namun, saat ditanya soal pengangkatan Jubir berkaitan dengan kendurnya fungsi Humas selama ini, Saiful enggan menjawab. “Wah itu pimpinanlah yang memberi nilai, bukan saya,” sebutnya.

Saiful sendiri masih memiliki posisi tetap di Dinas Kesehatan Aceh. Setelah pembahasan anggaran pelantikan pejabat eselon II selesai, ia memastikan semua akan dirombak kembali oleh pimpinan. Yang jelas, sebut Saiful, posisi juru bicara Pemerintah Aceh akan tetap dievaluasi.

“Setiap detik bahkan. Bukan hanya pimpinan, tapi juga media, dan komponen masyarakat lainnya akan mengevaluasi kami setiap saat. Kami tidak tahu sampai kapan, tergantung pimpinan. Jika masih dibutuhkan, maka kami tetap lanjut, ada ataupun tanpa fasilitas,” pungkasnya.

Ia juga mengungkapkan, dirinya bersama Wiratmadinata akan tetap terbuka pada kritik yang disampaikan masyarakat. Sebagai juru bicara, ia melihat penilaian yang diterimanya tak terikat pada indikator tertentu. Karena tanggapan, kritik, dan saran disampaikan berdasarkan sejauh mana kepuasan masyarakat itu sendiri, dan itu sangat beragam.

“Ada yang mengatakan, ‘Pak sudah bagus seperti itu’, ada yang bilang ‘Pak mestinya tidak perlu ditanggapi isu yang itu’, bahkan yang lain lagi bilang ‘boleh ditanggapi Pak tapi jangan sampai seperti itu’. Ini kan semuanya tak ada ukuran. Semua itu adalah justifikasi selera masyarakat, dan ini sah-sah saja,” terangnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait