Menyambung Nafas Penenun Songket Aceh

Dahlia menyelesaikan pembuatan kain songket di rumahnya pada 8 Agustus 2017. Foto: PM/Riska Munawwarah

 

Industri rumahan songket Aceh mulai mati suri. Butuh perhatian pemerintah daerah untuk mengembalikan era kejayaan warisan budaya tersebut. 

Dari balik pintu rumah bercat kuning, sesosok wanita paruhbaya mengumbar senyum ramah saat menyambut kedatangan serombongan mahasiswa. Di dalam rumah tampak sebuah alat yang sangat rumit untuk dijelaskan, terdapat tongkat-tongkat kayu yang terpasang pada ribuan benang warna merah dan putih. Sorot mata para mahasiswa itu seakan tak dapat berpaling dari alat yang baru pertama kali dilihatnya. Ternyata alat itu adalah godokan tenun, sebuah alat yang dipakai untuk menenun tradisional.

Carut marut benang seakan selalu menemani hidup Dahlia (57), seorang penenun songket di Desa Siem, Lorong Tenun Adat, Aceh Besar. Secara turun temurun, keluarganya menekuni aktivitas tersebut. Dahlia merupakan generasi kelima pengrajin tenun songket Aceh di sana.

Lahir di tengah para penenun, menjadi alasan kuat bagi Dahlia untuk tidak berpaling dari aktivitas yang terbilang rumit itu. Dengan bekal warisan dari ibunya, ia berhasil menyulap ribuan helai benang menjadi kain songket yang mempunyai nilai jual tinggi. Kecintaannya pada pekerjaan itu membuat ia dapat menghasilkan ratusan songket sejak 8 tahun lalu.

Lorong tenun adat dulunya merupakan pemukiman para penenun songket di Aceh Besar. Artinya, hampir semua warga di sana berprofesi sebagai penenun. Namun, saat ini hanya tinggal tujuh penenun, dan lima penenun saja yang aktif.

Baca: Genitnya Indonesia

Maryamu Ali, ibu dari Dahlia merupakan penenun senior di desa tersebut. Sepeninggalan ia menghadap sang Khalik, nafas industri tenun songket Aceh ini seakan mati suri. Terlebih, tidak ada perhatian khusus dari pemerintah setempat untuk mengembangkannya. Padaha,l dulunya songket Aceh dari pemukiman ini sempat diperkenalkan hingga ke Colombo, India. Bahkan sempat mendapat penghargaan Upakerti dari Presiden Suharto pada 28 Desember 1991.

Dahlia banyak bercerita tentang masa lalu bersama ibunya. Ia mengatakan sosok Maryamu Ali atau yang kerap disapa Nyak Mu adalah penenun yang apik dan dapat menciptakan motif-motif songket khas Aceh yang banyak dijumpai di pasaran. Salah satunya adalah motif bungong kertas.

Saat ia mulai menunjukkan album foto-fotonya, terlihat jelas bahwa Nyak Mu adalah penenun yang popular di masanya. Ia diberi kepercayaan untuk melatih penenun di luar Aceh, termasu para penenun asal Bali.

Dahlia selanjutnya menunjukkan proses produksi songket yang dilakukannya. Sebanyak 2000 benang ditenun secara teliti. Karena membuat songket ini memerlukan ketelitian yang khusus, tak heran dibutuhkan waktu satu bulan penuh untuk menenun satu songket saja. Harga untuk satu songket ini pun bervariasi, mulai Rp850 ribu hingga Rp2 jutaan.

Karena keterbatasan pekerja, produksi songket Aceh sekarang ini tidak banyak dijumpai di pasaran. Para konsumen yang ingin membeli harus memesannya terlebih dahulu.

Konsumen Dahlia misalnya, bukan hanya warga Aceh. Karena produksi songketnya telah dikenal luas, ia kerap mendapatkan order songket dari Jakarta hingga Bali.

Di hadapan para mahasiswa yang bertandang ke rumahnya, Dahlia menunjukkan cara-cara menghasilkan sebuah songket. Ia duduk santai di depan alat tenun kayu tradisionalnya. Dengan bertelanjang kaki, ia mengayunkan kayu-kayu di alat tenun tersebut.

Sembari menenun, ia mengajarkan para mahaswa cara menghasilkan sebuah songket yang indah. Dikatakannya, ada beberapa tahapan dalam menenun sebuah songket. Langkah pertama adalah menyapuk benang. Sebuah proses pembuatan kain, di mana salah satu benang dimasukkan ke dalam sikat jentera atau gigi alat tenun. Lalu proses berikutnya adalah mengarak benang. Dalam proses mengarak benang, benang asing yang telah digulung akan menjumpai benang loseng.

Benang loseng mempunyai rangkap ganjil dan genap yang nantinya akan digerakkan naik-turun selama proses penenunan. Langkah selanjutnya adalah menyongket benang, hal ini merupakan proses yang sangat sulit, di mana proses ini menggunakan sebuah alat yang diberi nama lido. “Lido merupakan alat yang digunakan untuk menyongket benang loseng tiga sampai lima lembar,” katanya.

Baca: Chicco Jerikho Ajak Anak Aceh Selamatkan Gajah

Tahapan akhir adalah proses menenun benang. Alat torak diisi dengan benang emas atau benang pakan yang dimasukkan ke bagian kiri dan kanan di antara celah banang loseng yang nanatinya akan mengikat corak yang dikehendaki oleh penenun hingga menjadi selembar kain songket.

Untuk menenun, Dahlia dan penenun lainnya menggunakan benang katun dan benang sutra. Benang katun ia dapati di pasaran lokal, sedangkan untuk benang sutra ia harus memesannya di Bandung, Jawa Barat.

Rumit memang, dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk belajar menenun songket. Terlalu banyak langkah dalam menghasilkan sebuah songket yang berkualitas tinggi. Mulai dari menyapuk, mengarak hingga menyongket benang, semuanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Di pemukiman itu, hanya Dahlia yang dapat melakukan proses menyongket. Para pekerjanya hanya dapat menenun songket yang telah dibuat oleh Dahlia sebelumnya.

Beberapa songket yang sudah jadi pun diperlihatkan Dahlia. Kebanyakan konsumen memesan songket berwarna merah dan kuning emas. Songket Aceh memang berciri khas perpaduan tiga warna, yakni kuning emas melambangkan kejayaan, warna merah melambangkan keberanian, dan warna hijau melambangkan kemakmuran.

Walaupun tidak wajib, saat ini songket Aceh banyak digunakan masyarakat sebagai bahan hantaran untuk prosesi lamaran perkawinan di Aceh. Penggunaannya pun mulai menjamur di kala keberadaan songket bukan hanya dapat digunakan sebagai sarung, namun dapat dijadikan sebagai bahan bakal baju.

Sayangnya, karena keterbatasan modal, indusri rumahan yang dikelola dDahlia saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan pasar. Dahlia berharap, usaha yang digelutinya itu mendapat perhatian pemerintah daerah. Selain mampu menampung tenaga kerja lokal, juga untuk menghidupkan kembali warisan budaya songket Aceh yang tengah mati suri.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Pabrik Tripleks Aceh Selatan Terancam Jadi Besi Tua
PABRIK mini plywood yang dibangun tahun 2008 di Gampong Jambo Manyang, Kecamatan Kluet Utara, Aceh Selatan, belum dimanfaatkan. Proyek yang menelan anggaran APBA 2008 Rp 411 Juta lebih ini terancam jadi besi tua. Foto: Hendrik Meukek.

Pabrik Tripleks Aceh Selatan Terancam Jadi Besi Tua