PM, Jakarta – Perombakan enam jajaran menteri di kabinet Presiden RI Joko Widodo seharusnya menjadi momentum perbaikan kinerja pemerintah, sekaligus menindak celah potensi korupsi yang kian mengkhawatirkan.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) menyoroti kasus korupsi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang berhasil diungkap dalam sebuah operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, akhir November lalu.
Setelah ditinggal menterinya, Edhy Prabowo, kementerian ini menyimpan banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan.
“Khusus untuk bisnis ekspor benur, menteri yang baru dilantik dituntut untuk berani menghentikan praktik eksploitatif yang hanya mengejar dollar dan merugikan nelayan lokal,” terang Susan Herawati dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), salah satu lembaga yang terlibat dalam koalisi ini, Rabu lalu (23/12/2020).
Tak hanya lobster, potensi perikanan Indonesia secara keseluruhan juga perlu dilindungi dari over-fishing. Ia mengatakan, Undang-Undang 31/2004 Jo. UU 45/2009 dipandang sudah cukup memberikan landasan, arah dan kemajuan kebijakan tata kelola perikanan Indonesia, namun pelaksanaannya dalam dua dekade terakhir belum cukup baik.
“Menteri KP yang baru harus tegas dalam mengimplementasikan aturan ini di lapangan,” desaknya.
Ia mengaku, periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2019) menunjukkan kemajuan dalam penegakan hukum di bidang perikanan tangkap, yakni dengan moratorium perizinan bagi kapal-kapal perikanan yang dibangun di luar negeri (eks asing dan asing).
Sayangnya, 5 Oktober lalu pemerintah justru mengesahkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang mempertahankan Pasal 40 UU 31/2004 yang membuka akses penangkapan ikan oleh kapal ikan asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
“Sebuah alarm lantang bagi Men-KP baru untuk memastikan potensi perikanan Indonesia tidak akan dikeruk pihak asing, namun dikelola secara lestari untuk nelayan dalam negeri,” ungkap Susan.
Undang-undang Cipta Kerja yang penuh penolakan ini, sambungnya menyimpan banyak halangan bagi Menteri KP yang baru untuk melaksanakan mandatnya mewujudkan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Di lain sisi, tugas melindungi anak buah kapal di kapal ikan asing juga menanti.
“Dalam kurun waktu November 2019 sampai Juni 2020 saja, Destructive Fishing Watch mencatat 31 ABK Indonesia mengalami kekerasan di kapal ikan asing, bahkan tujuh orang dinyatakan tewas, dan tiga hilang. Angka kasus kekerasan ini tentu tak ada apa-apanya dibanding total ABK perikanan Indonesia yang mengalami berbagai indikasi perbudakan di kapal ikan asing,” jelasnya.
KORAL juga mendesak negara, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan hadir melindungi para buruh migran sektor perikanan dari praktik perbudakan modern di lautan. Setelah dilantik hari ini, Men-KP baru harus mewujudkan sustainable ocean economy di Indonesia.
“Kurang lebih 2,7 juta nelayan Indonesia hidup di ambang garis kemiskinan dan sektor perekonomian pesisir yang menghadapi pelbagai persoalan menunggu kebijakan dari KKP yang berpihak pada mereka,” tandasnya.
Untuk diketahui, (KORAL) terdiri dari: IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative), Pandu Laut Nusantara, EcoNusa, KIARA, WALHI, Greenpeace Indonesia, ICEL (Indonesian Center of for Environmental Law), Destructive Fishing Watch (DFW) dan Yayasan Terangi. (*)
Belum ada komentar