Menolak Tim Mediasi Aceh

Menolak Tim Mediasi Aceh
Menolak Tim Mediasi Aceh

Pembentukan Tim Pusat Mediasi Aceh dinilai sebagai kebijakan akhir tahun yang cacat hukum. Elemen sipil meminta Gebernur Irwandi membubarkannya.

Sebulan lalu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 68 Tahun 2017 tentang Pembentukan Pusat Mediasi Aceh. Pergub yang dikeluarkan pada 10 November 2017 itu dijadikan dasar hukum pembentuakan Pusat Mediasi Aceh, sebuah lembaga nonstruktural yang bertanggung jawab kepada gubernur dan bersifat independen.

Lembaga ini bertugas membantu menyelesaikan sengketa hukum dalam masyarakat Aceh. Pergub Aceh ini lantas ditindaklanjuti dengan terbitnya SK Gubernur Aceh Nomor 180/1195/2017 tentang Pembentukan Tim Pusat Mediasi Aceh pada tanggal 17 November 2017. Dalam SK tersebut, ditunjuk susunan personalia Tim Pusat Mediasi Aceh.

Namun, tak lama sejak itu, keberadaan tim ini menjadi sorotan berbagai elemen sipil di Aceh. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyuarakan keprihatinannya terhadap pembentukan tim tersebut. Di antaranya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), dan Koalisi NGO HAM Aceh. Tim Pusat Mediasi Aceh yang dibentuk Irwandi Yusuf dinilai sebagai catatan kebijakan hukum akhir tahun yang justru cacat hukum.

Ketiga LSM ini juga membuat pernyataan sikap bersama pada 13 Desember 2017. MaTA yang dikomandoi Alfian, Koalisi NGO HAM yang dimotori oleh Zulfikar Muhammad, serta LBH Banda Aceh yang diketuai Mustiqal Syah Putra mendesak gubernur mebubarkan tim tersebut.

“Muncul beberapa pertanyaan mendasar terkait dengan terbitnya kedua produk gubernur ini. Patut dipertanyakanaApa urgensinya pembentukan Pusat Mediasi Aceh ini,” tutur Ketua LBH Banda Aceh Mustiqal Syah Putra.

Jika merujuk isi Pergub tersebut, Pusat Mediasi Aceh memiliki tujuh tugas pokok. Pertama adalah melakukan mediasi terhadap permohonan dan sengketa hukum yang dipandang perlu untuk diselesaikan. Kedua, melaksanakan konsultasi dan koordinasi dengan Lembaga Peradilan, Majelis Adat Aceh, dan Lembaga Peradilan Adat Aceh.

Pada poin ketiga disebutkan, tim itu bertugas membangun kerjasama dengan instansi, lembaga dan badan di tingkat kabupaten/kota terkait dengan kegiatan pelaksanaan mediasi di daerah kabupaten/kota. Poin empat, mereka diharuskan mengidentifikasi, merekrut dan mendidik tenaga potensial mediator. Poin lima, tim ini akan memfasilitasi training mediasi dengan Mahkamah Agung dan/atau lembaga terkait lainnya.

Selanjutnya di poin enam, tim ini akan bertugas membantu dan mendorong lahirnya Qanun Aceh tentang Pendirian Lembaga Mediasi Aceh. Terakhir, adalah menjalin kerjasama dengan lembaga mediasi nasional dan internasional.

Dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Pusat Mediasi Aceh dapat melakukan beberapa upaya. Salah satunya adalah melakukan mediasi terhadap sengketa hukum dalam aspek pertanahan, lingkungan hidup dan kehutanan, sengketa sosial dan keagamaan, serta sengketa keluarga.

Namun, pihak LSM mempertanyakan nilai urgensitas dari pembentukan Pusat Mediasi Aceh. Menurut Ketua LBH Banda Aceh Mustiqal Syah Putra, hal ini menjadi perhatian mereka karena telah banyak aturan hukum yang telah ditetapkan dan masih berlaku hingga saat ini yang telah mengatur tentang pelaksanaan mediasi.

“Pemerintah seharusnya memperkuat keberadaan mediator, bukan mengambil alih kewenangan profesi mediator dengan mendirikan Pusat Mediasi Aceh,” tuturnya.

Selanjutnya, yang menjadi soal menurut mereka, keberadaan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang secara tegas menyatakan bahwasanya pemerintah bukanlah merupakan subjek sebagai pemberi bantuan hukum.

“Yang menjadi subjek pemberi bantuan hukum berdasarkan UU adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum yang telah diverifikasi oleh Kementrian Hukum dan HAM. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Bantuan Hukum,” terang Mustiqal.

Hal lain yang menjadi keheranan pihak LSM adalah terdapat kontradiksi materi muatan yang diatur dalam Pergub tentang Pusat Mediasi Aceh dan SK Gubernur Aceh Nomor 180/1195/2017 tentang Pembentukan Tim Pusat Mediasi Aceh. Sebagaimana dalam Pasal 8 Pergub itu disebutkan bahwa keanggotaan Pusat mediasi Aceh terdiri dari unsur Pemerintah Aceh, mediator, akademisi, dan tokoh masyarakat. Selanjutnya, khusus keanggotaan dari unsur mediator, disyaratkan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang dibuktikan dengan adanya sertifikat sebagai mediator.

Kenyataannya, tambah dia, hampir seluruh susunan personalia yang menjadi bagian dalam Tim Pusat Mediasi Aceh diduga kuat tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan.

“Selain itu, Pasal 9 Pergub menyatakan bahwasanya salah satu syarat yang ditentukan untuk menjadi anggota Pusat Mediasi Aceh adalah tidak menjadi anggota partai politik. Hal ini juga berbanding terbalik dengan susunan personalia Tim Pusat Mediasi Aceh yang ditunjuk berdasarkan SK Gubernur Aceh, di mana secara jelas terlihat ada beberapa nama anggota DPR Aceh—yang secara jelas dan nyata merupakan kader partai politik—juga menjadi bagian dari tim tersebut,” beber Mustiqal.

D susunan personalia tim sebagaimana tercantum dalam SK Gubernur, lanjut dia, independensi kinerja Pusat Mediasi Aceh juga akan dipertanyakan dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa yang di dalamnya melibatkan pemerintah sebagai salah satu parapihak. Hal ini menurut dia, prinsip netralitas dan akuntabilitas pelaksanaan tugasnya sangat diragukan. Tak tertutup kemungkinan juga berpotensi menimbulkan konsekuensi yuridis di kemudian hari.

“Atas dasar itulah, LBH Banda Aceh, MaTA dan Koalisi NGO HAM Aceh mendesak Gubernur Aceh untuk mencabut Pergub Aceh Nomor 68 Tahun 2017 tentang Pembentukan Pusat Mediasi Aceh dan SK Gubernur Aceh Nomor 180/1195/2017 tentang Pembentukan Tim Pusat Mediasi Aceh serta membubarkan Pusat Mediasi Aceh,” ujar Mustiqal yang mewakili ketiga LSM ini.

Kerancuan SK Tim Mediasi Pusat Aceh ini menandakan kelemahan administrasi dan pemahaman hukum di Pemerintah Aceh. Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh dan para penasehat Irwandi dituding tidak memberikan informasi dan masukan seutuhnya kepada gubernur.

Sayangnya, meski terus menerus menuai tanggapan negatif dari sejumlah elemen sipil, sejauh ini belum ada tanggapan dari Pemerintah Aceh. Kelapa Biro Humas Pemerintah Aceh, Mulyadi Nurdin tak bersedia memberi tanggapan. Permintaan wawancara yang dikirimkan Pikiran Merdeka tak digubrisnya. Begitupula pesan yang dikirimkan melalui WhatsApp tak direspon meski diketahui sudah dibaca Mulyadi. Panggilan telepon juga tak disahut Mulyadi hingga Sabtu, 16 Desember 2017.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

WhatsApp Image 2021 01 13 at 16 44 57
Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali menerima paket vaksin yang akan didistribusikan ke seluruh puskesmas di Aceh Besar. (Foto/Media Center Aceh Besar)

5.080 Vaksin Sinovac Tiba di Aceh Besar