Menolak Baitul Asyi Dikelola Jakarta

Menolak Baitul Asyi Dikelola Jakarta
Salah Satu Hotel Hasil pengelolaan Wakaf Habib Bugak Asyi Di Makkah, Saudi Arabia.(Foto: IST http://validnews.co)

Tanah wakaf milik rakyat Aceh di Makkah diwacanakan akan jadi tempat investasi dana haji. Rencana pengelolaan Baitul Asyi oleh Pemerintah Indonesia ini muncul penolakan berbagai elemen di Aceh.

Jumat, 9 Maret pekan lalu, Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla menerima kunjungan anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu, serta Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Alwi Shihab.
Kedatangan keduanya di Istana Wakil Presiden untuk melaporkan rencana investasi BPKH di Arab Saudi.

Dalam pertemuan itu, Anggito melaporkan bahwa BPKH dalam waktu dekat akan melakukan kunjungan ke Arab Saudi untuk bertemu dengan Islamic Development Bank (IDB) dan beberapa investor. Pertemuan ini dalam rangka membahas peluang kerja sama investasi dan penempatan dana. Salah satu rencana investasi tersebut yakni membangun hotel di atas tanah wakaf milik Pemerintah Aceh yang ada di Mekah.

“Kami akan melakukan kerja sama dengan IDB dan juga akan bertemu dengan beberapa pihak investor di Arab Saudi, untuk melakukan administrasi yang paling dekat adalah dengan tanah wakafnya Aceh di Mekkah, kemudian ada beberapa kesempatan investasi Arab Saudi yang lain,” ujar Anggito seperti dilansir dari Republika.

Pemerintah Aceh memiliki tanah wakaf yang letaknya sekitar 400 meter dari Masjidil Haram. Tanah wakaf milik Aceh tersebut sudah diikrarkan untuk investasi. “Ikrar wakafnya sudah ada, dan sudah diinvestasikan oleh wakif di Arab Saudi, dan itu kita sedang proses negosiasi,” kata Anggito.

Anggito menuturkan, kerja sama antara BPKH dan IDB yakni untuk menempatkan dana tabungan haji dalam instrumen syariah. Penempatan dana ini diharap bisa menghasilkan return atau imbal hasil secara optimal yang nantinya akan dikembalikan kepada biaya operasional jamaah haji, maupun jamaah haji tunggu.

Dijelaskannya, dana haji yang sudah terkumpul saat ini yakni sekitar Rp102,5 triliun. Anggito mengatakan, wakil presiden mengarahkan agar BPKH dapat menginvestasikan dana haji di Arab Saudi karena bisa menghilangkan risiko valas, dan imbal hasilnya cukup besar. “Jadi sepuluh tahun itu kalau kita berinvestasi di Arab Saudi bisa dimanfaatkan dan mendapatkan return atau nilai manfaat,” ujar Anggito.

Anggito mengatakan, penandatanganan kerja sama antara BPKH dan IDB ini masih menunggu beberapa draft yang sedang finalisasi. Anggito belum bisa memastikan apakah investasi dana haji ini dapat mengurangi biaya haji. Kemungkinan tersebut harus dibicarakan lebih lanjut dengan Kementerian Agama.

“Tugas kami adalah mendapatkan imbal hasil dari dana yang ditimbulkan oleh jamaah haji dari setoran awal,” ujar Anggito.

Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Alwi Shihab memastikan, dana haji ini akan ditempatkan dalam instrumen syariah dengan skema bagi hasil. Menurutnya, investasi yang paling tepat adalah di Arab Saudi terutama yang menyangkut dengan jamaah haji. Mulai dari perumahan, penerbangan, dan layanan lainnya.

“Itu yang dilaporkan ke Wapres (wakil presiden) dan juga nanti ke presiden supaya langkah-langkah Pak Anggito dan kawan-kawan ini direstui dan juga didukung supaya bisa diaplikasikan dengan baik,” ujar Alwi.

Pengaturan investasi dana haji ini telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 yang terbit pada 19 Februari 2018 lalu. Dalam peraturan tersebut, porsi dana haji yang bisa diinvestasikan sebesar 20 persen dari total dana haji.

Peraturan pemerintah ini juga mengatur investasi yang dapat disebar sebanyak 50 persen pada instrumen perbankan melalui bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS). Kemudian 20 persen di sukuk, 5 persen di emas, 15 persen di investasi langsung, dan 10 persen di investasi lainnya.

KECAMAN BERDATANGAN

Rencana Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk berinvestasi di atas tanah wakaf rakyat Aceh di Mekkah menuai protes dan kecaman. Forum Komunikasi Anak Bangsa (Forkab) Aceh dengan tegas menolak rencana pemeritah pusat yang ingin mengambil alih pengelolaan tanah yang diwakafkan oleh ulama Aceh, Habib Abdurrahman Al Habsy atau yang lebih dikenal dengan Habib Bugak.

Polem Muda Ahmad Yani

Ketua DPP Forkab Aceh Polem Muda Ahmad Yani mengatakan, jika pengambilalihan pengelolaan tanah waqaf Baitul Asyi jadi dilakukan, maka sama saja pemerintah pusat telah merusak niat baik seorang ulama Aceh, yang ingin mewakafkan hasil dari tanah tersebut untuk rakyat Aceh yang pergi haji dan menempuh pendidikan di tanah suci.

“Tanah wakaf tersebut diikrarkan satu setengah abad sebelum Indonesia lahir. Dan di dalam ikrar yang dibacakan di depan Mahkamah Syar’iyah pada zaman kerajaan Utsman, tanah wakaf tersebut diperuntukkan bagi rakyat Aceh yang datang menginap, tinggal di tanah suci serta bagi rakyat Aceh yang sedang menunaikan ibadah haji,” ujarnya.

“Kita tidak menemukan alasan masuk akal yang dapat digunakan pemerintah Indonesia, guna mengambil alih pengelolaan wakaf ulama Aceh tersebut,” tambahnya.

Sejauh ini, lanjut dia, pihak Pemerintah Arab Saudi serta badan pengelola wakaf sangat amanah. Terbukti, ketika tanah wakaf yang terkena proyek pelebaran Masjidil Haram, Pemerintah Saudi kala itu mengganti dengan harga yang mahal. Sehingga, badan yang mengelola wakaf dapat membeli dua persil tanah lain yang letaknya juga masih dekat dengan Masjidil Haram.

“Kita seperti kehilangan kata-kata guna melukiskan kekesalan terhadap niat Pemerintah Pusat. Rezim ini jangan terlalu serakah ingin menggarap semua potensi yang dimiliki Aceh,” ucapnya.
Dia bahkan meragukan terhadap kejujuran pemerintah yang ingin mengelola tanah wakaf tersebut.

SARAN NASIR DJAMIL

Salah satu anggota DPR-RI asal Aceh Nasir Djamil meminta Pemerintah Aceh untuk menolak rencana tersebut. “Saya rasa ini merupakan isu yang sangat sensitif bagi masyarakat Aceh. Kalau benar rencana BPKH itu, maka gubernur sebagai Kepala Pemerintahan Aceh wajib menolaknya,” ujar Nasir, Sabtu pekan lalu.

M. Nasir Djamil

Menurut Nasir, BPKH harusnya paham dan mengerti sejarah terkait peruntukkan tanah wakaf ini sebelum mengajukan rencana investasi. Sebab, kata dia, tanah wakaf itu punya historis dan hubungan emosional yang sangat kuat dengan rakyat Aceh.

“Selama ini jamaah haji asal Aceh selalu mendapatkan hadiah berupa uang dari hasil pengelolan tanah wakaf tersebut. Jika rencana investasi tidak sesuai dengan ikrar wakaf dan peruntukannya maka rakyat Aceh berhak menolaknya,” tegas anggota Komisi III DPR-RI ini.

Menurut Nasir, dalam berbagai sumber dapat dipahami bahwa ikrar wakaf Baitul Asyi ini yang dilakukan pada tahun 1224 H atau 1809 M di hadapan Mahkamah Syar’iyah jelas diperuntukkan untuk jamaah haji asal Aceh atau jika tidak ada orang Aceh di Mekkah boleh diperuntukkan untuk pelajar dari Nusantara.

Hal ini yang harusnya menjadi patron dari BPKH dalam rencana investasi terhadap tanah wakaf milik Aceh di Mekkah. Di samping itu, politisi PKS ini juga meminta BPKH lebih sensitif terhadap perasaan masyarakat Aceh.

“Hal ini penting dikarenakan ingatan kolektif masyarakat Aceh terkait wakaf dan sumbangan yang diserahkan dan atau dikelola oleh Pemerintah Pusat, dalam sejarahnya selalu melahirkan kekecewaan bagi masyarakat Aceh,” Nasir mengingatkan.

Oleh karenanya, menurut Nasir, jangan sampai nantinya investasi terhadap tanah wakaf milik Aceh menjadi sebab lahirnya kekecewaan yang baru karena tidak adanya ruang keadilan atau keuntungan secara materi dan immateri bagi masyarakat Aceh.

Dia juga meminta BPKH agar khusus untuk pengelolaan dan skema investasi terhadap tanah wakaf milik Aceh tetap dikelola oleh Pemerintah Aceh agar sesuai dengan ikrar wakaf dan peruntukkannya.

“Sebenarnya ada banyak rencana investasi BPKH di Arab Saudi, salah satunya ialah terhadap tanah wakaf milik Aceh. Sehingga untuk menghindari polemik dan isu-isu miring lainnya, baiknya terkait tanah wakaf milik Aceh diserahkan sepenuhnya pengelolaannya kepada Pemerintah Aceh saja, tentu dengan supervisi dari BPKH untuk menjamin keselarasan program-program investasi Indonesia lainnya di Arab Saudi,” terang Nasir.

Nasir Djamil juga meminta kepada Pemerintah Aceh segera membentuk tim kerja terkait dengan tanah wakaf milik rakyat Aceh di Mekkah guna melakukan antisipasi rencana BPKH tersebut.

“Saya yakin, Pemerintah Aceh tidak gegabah memutuskan tanah wakaf tersebut. Investasi tentu boleh saja di atas tanah wakaf itu, tapi jangan sampai yang pegang kendalinya adalah BPKH,” ujarnya.
Menurut dia, apabila Pemerintah Aceh setuju terhadap investasi itu, haruslah Aceh yang memiliki otoritas memutuskan dan berdaulat dalam pengelolaannya, bukan BPKH.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Kautsar, secara tegas menolak wacana BPKH yang ingin mengambil alih pengelolaan tanah waqaf Aceh di Arab Saudi.

Anggota Komisi VII yang membidangi masalah agama dan budaya ini, merasa DPRA perlu mengirim dua surat keberatan terkait wacana tersebut. “Satu untuk BPKH dan satu untuk wazir di Mekkah,” kata politisi Partai Aceh ini, Sabtu, 10 Maret 2018.

Tak hanya DPRA, Kautsar mendesak Gubernur Aceh atas nama Pemerintah Aceh untuk melakukan hal sama. Begitu pula Forum Bersama(Forbes) yang berisi anggota DPR RI asal Aceh di Senayan juga segera bersikap. “Forbes Aceh perlu juga bersikap sama dan mendorong pimpinan DPR RI berpandangan yang sama dengan DPRA dan Pemerintah Aceh,” kata dia.

Dalam waktu dekat, diakui Kautsar, Komisi VII DPRA akan menggelar rapat terkait issue tersebut. “Saya sudah lapor pimpinan Komisi VII dan menunggu arahan rapat terkait hal itu,” tutupnya.

MASIH MENGKAJI

Sementara itu, Pemerintah Aceh belum bersikap secara resmi terkait wacana tersebut. Kepala Biro Humas Provinsi Aceh, Mulyadi Nurdin mengatakan pihaknya akan mempelajari wacana investasi aset wakaf Baitul Asyi oleh Pemerintah Indonesia.

Mulyadi Nurdin

“Kita harus pelajari dulu bagaimana pola pengelolaan tanah wakaf Aceh yang akan dilakukan oleh pemerintah RI, karena wacana yang berkembang adalah pengelolaan dana setoran dari jamaah haji Indonesia secara keseluruhan,” kata Mulyadi.

Dia juga menyampaikan terkait kerjasama tersebut, Aceh wajib dilibatkan dalam prosesnya supaya hasil keputusan tersebut bisa dijelaskan kepada rakyat Aceh nantinya. “Kalau pun nanti ada kerjasama investasi antara pemerintah Indonesia dengan pengelola majmuah waqaf Asyi di Arab Saudi, kalau bisa melibatkan Pemerintah Aceh dalam prosesnya, supaya bisa dijelaskan kepada rakyat Aceh bagaimana perkembangannya nanti,” ujarnya.

Meskipun kini muncul wacana Pemerintah RI akan mengelola aset waqaf tersebut, ia mengatakan semua hasil keuntungan dari pengelolaan aset Waqaf Asyi harus diberikan kepada rakyat Aceh. Apalagi, pengelolaan tanah dan aset waqaf Baitul Asyi tersebut selama ini sudah berjalan dengan baik.

“Kita harap ke depan lebih baik lagi. Yang penting tidak melenceng dari akad waqif itu sendiri, yaitu kemaslahatan jamaah Aceh. Itu sesuai dengan akad dari pemberi waqaf tanah tersebut,” kata Mulyadi.

Terakhir, dia juga meyakini pihak pengelola Baitul Asyi tidak sembarangan menerima tawaran dari pemerintah Indonesia jika tidak sesuai dengan akad dari waqaf tanah tersebut.[]dsb/*

Sejarah Baitul Asyi dan Kedermawanan Habib Bugak

Badan Pengelola Keuangan Haji berencana menginvestasikan dana jemaah asal Indonesia yang terkumpul. Dana sebesar Rp102,5 triliun itu rencananya antara lain akan diinvestasikan ke tanah milik di Mekkah.

Belum disebutkan jenis investasi yang direncanakan. Dikutip dari kumparan.com, Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji, Anggito Abimanyu, hanya mengatakan, dasar hukum untuk investasi itu sudah terbit. Saat ini prosesnya sedang dinegosiasikan dengan Pemerintah Arab Saudi.

Anggito tidak menyebut jelas tanah wakaf mana yang dimaksud. Direktur Pusat Kajian Peradaban dan Budaya Aceh M Adli Abdullah, dalam tulisannya yang terbit di Harian Serambi Indonesia pada 2010 lalu, menyatakan, ada beberapa tanah wakaf milik orang Aceh yang pernah bermukim di Arab Saudi tersebar di Mekkah.

Namun, ada satu tanah wakaf yang sering disebut yaitu milik Habib Abdurrahman Al-Habsyi alias Habib Bugak Asyi. Setiap tahun jamaah haji asal Aceh menerima uang wakaf yang berjumlah jutaan rupiah dari hasil pengelolaan tanah itu.

Habib Bugak Al-Asyi adalah sosok darmawan yang telah mewakafkan tanahnya untuk dimanfaatkan warga Aceh yang pergi berhaji atau menempuh pendidikan di tanah suci.

Dikutip validnews.co, Habib Bugak asal Aceh yang datang ke Makkah tahun 1223 hijriah itu membeli tanah sekitar daerah Qusyasyiah yang sekarang berada di sekitar Bab Al Fath (antara Marwah dan Mesjid Haram). Saat itu, masa Kerajaan Ustmaniah.

Namun, kemudian Pemerintah Arab Saudi pada masa Raja Malik Sa’ud bin Abdul Azis, melakukan pengembangan Masjidil Haram. Tanah wakaf Habib Bugak untuk masyarakat Aceh terkena proyek tersebut. Rumah Habib Bugak digusur dengan pemberian ganti rugi.

Badan pengelola tanah wakaf itu kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli dua lokasi lahan yakni di daerah Ajyad, sekitar 500 dan 700 meter dari Masjidil Haram. Kedua tanah ini kemudian menjadi aset wakaf.

Lahan pertama dengan jarak 500 meter dari Masjidil Haram dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 350-an unit. Di lahan kedua dengan jarak 700 meter dari Haram, dibangun hotel bintang lima dengan kamar sekitar 1.000 unit.

Dari keuntungan lainnya, Nazhir membeli dua areal lahan seluas 1.600 meter persegi dan 850 meter persegi di Kawasan Aziziah. Tahun 2009 di kedua lahan ini dibangun pemondokan khusus untuk jamaah asal Embarkasi Aceh.

Hasil keuntungan pengelolaan harta wakaf inilah yang sejak tahun 2006 dibagikan ke jamaah haji asal Aceh. Pada tahun 2008, Pemerintah Aceh menerima Rp14,54 miliar dari Baitul Asyi sebagai uang pengganti sewa rumah bagi 3.635 jamaah haji asal Aceh. Per jamaah mendapat sekitar Rp4 juta-an.

ASAL MUASAL WAKAF

Dua tokoh Aceh, Prof Dr Al Yasa’ Abubakar, mantan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh dan Dr Azman Isma’il MA, Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pernah mengeluarkan surat pernyataan tentang asal muasal waqaf Habib Bugak Asyi.

Menurut akta ikrar waqaf yang disimpan dengan baik oleh Nadzir, waqaf tersebut diikrarkan oleh Habib Bugak Asyi pada tahun 1222 Hijriyah (sekitar tahun 1800 Masehi) di depan Hakim Mahkamah Syar’iyah Mekkah. Di dalamnya disebutkan bahwa rumah tersebut diwaqafkan untuk penginapan orang yang datang dari Aceh untuk menunaikan haji, serta orang Aceh yang menetap di Mekkah.

Dalam ikrar wakaf disebutkan, “Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke Mekkah untuk naik haji maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para pelajar (santri, mahasiswa) Jawi (nusantara) yang belajar di Mekkah.
Sekiranya karena sesuatu sebab mahasiswa dari Nusantara pun tidak ada lagi yang belajar di Mekkah maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal mahasiswa Mekkah yang belajar di Masjid Haram.
Sekiranya mereka ini pun tidak ada juga maka wakaf ini diserahkan kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram.”
Habib Bugak telah menunjuk Nadzir (pengelola) salah seorang ulama asal Aceh yang telah menetap di Mekkah. Nadzir diberi hak sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Pada tahun 1420 H (1999 M) Mahkamah Syar’iyah Mekkah mengukuhkan Syekh Abdul Ghani bin Mahmudbin Abdul Ghani Asyi (generasi keempat pengelola wakaf) sebagai Nadzir yang baru.

Sejak tahun 1424 H (2004 M) tugas Nadzir dilanjutkan oleh sebuah tim yang dipimpin anaknya bernama Munir bin Abdul Ghani Asyi (generasi kelima) serta Dr Abdul Lathif Baltho.

SIAPA HABIB BUGAK?

Banyak orang Indonesia, bahkan warga Aceh terutama generasi saat ini yang mungkin tak mengenal sosok ini. Apalagi, tak banyak pula literatur yang menuliskan soal Ulama keturunan langsung Nabi Muhammad Sahallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ini.

Habib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi atau Habib Bugak Al Asyi. (Foto: IST http://validnews.co)

Untuk mengetahu siapa sosok sebenarnya Habib Bugak Asyi, sejak tahun 2007, Ustadz Hilmy Bakar Alhasany Almascaty, Direktur Nasional Red Crescent telah membentuk tim peneliti untuk mengungkap sejarah hidup dan perjuangan Habib Bugak. Di bulan Ramadan 1431 H lalu, ia juga sempat menemui langsung dengan Syekh Munir Abdul Ghani Ashi yang menjabat Direktur Pengelola (Nadzir) Wakaf Habib Bugak di Mekkah.

Menurut Hilmi, Habib Bugak hanya nama samaran yang digunakan oleh pewakaf untuk menjaga keikhlasan hati dalam beribadah. Syekh Munir menyebutkan Habib adalah gelar untuk Sayyid atau keturunan Rasulullah yang umum digunakan di Mekkah pada masa itu, yakni sebelum berkuasanya Dinasti Ibnu Saud, penguasa Kerajaan Saudi sekarang.

Sementara Bugak Asyi adalah nama sebuah daerah di Kerajaan Aceh pada tahun 1800 M lalu, ketika wakaf diikrarkan. Sehingga adanya simpang siurnya sosok Habib Asyi ini, mulai ada oknum yang merekayasa berbagai cerita untuk keuntungan pribadi.

Bugak Asyi dalam bahasa Arab artinya daerah Bugak dalam wilayah Aceh. Dalam tulisan Arab, Bugak terdiri atas huruf:ba, waw, jim dan a’in sebagaimana ditulis dalam ikrar wakaf, sementara dalam tulisan Arab-Melayu Aceh: ba, waw, kaf, alif dan hamzah sebagaimana tertulis dalam Sarakata Sultan Kerajaan Aceh.

Maka harus ditelusuri sebuah wilayah, daerah, kampong atau mukim yang bernama Bugak dengan huruf-huruf di atas dalam seluruh Aceh, terutama yang termasuk dalam wilayah Kerajaan Aceh Darussalam pada sekitar tahun 1800-an, atau tahun dibuatnya ikrar wakaf.

“Setelah penelitian, saya dan tim peneliti lebih cenderung memilih Bugak yang masuk dalam wilayah Peusangan (sekarang Kecamatan Jangka), Matangglumpangdua, Kabupaten Bireuen,” kata Hilmi.

Dari sejarah, nama Bugak—jadi bagian Kecamatan Jangka—dahulunya adalah sebuah pusat kota berdekatan dengan daerah pesisir Kuala Peusangan dan Monklayu. Bugak menjadi pertemuan dari kedua kota pelabuhan tersebut dan berkembang menjadi kota maju yang dapat dilihat bekas-bekas peninggalannya hingga kini berupa rumah besar dan mewah serta toko tua yang menjadi tempat tinggal para hartawan yang berprofesi sebagai tuan tanah, saudagar, dan lainnya.

Menurut dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1278 H lengkap dengan cap sikureng, disebutkan satu wilayah bernama Bugak menjadi wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Di antara kata Bugak disebutkan pula beberapa nama wilayah lain seperti Glumpang Dua, Keujrun Kuala, Bugak, Pante Sidom, Peusangan, Monklayu dan lainnya. Sebagian nama-nama tersebut memang masih eksis sampai kini dan menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Peusangan, Kecamatan Jangka, dan Kecamatan Gandapura yang terletak di sekitar Matang atau Kabupaten Bireuen.

KETURUNAN DI BUGAK

Gelar Habib sejatinya hanya disematkan untuk ahlul bait (keturunan) Rasulullah dari keturunan Sayyidina Husein bin Ali ataupun dari keturunan Sayyidina Hasan bin Ali. Biasa juga disebut dengan Sayyid atau Syarief.

Gelar Habib biasanya hanya diberikan kepada para pemuka atau tokoh yang memiliki pengetahuan serta keistimewaan dalam masyarakatnya. Di sekitar daerah Bugak, terdapat banyak sayyid, terutama dari keturunan Jamalullayl, al-Mahdali, Alaydrus dan mayoritasnya adalah Al-Habsyi. Keturunan Al-Habsyi sangat mendominasi, terutama yang berasal dari sekitar Monklayu.

Menurut penelitian dan penelusuran, kebanyakan Sayyid di sekitar Bugak adalah dari keturunan Al-Habsyi. Keturunan ini berasal dari Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang hingga saat ini sudah turun temurun menjadi delapan generasi.

Menurut Urueng Tuha di sekitar Bugak, Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi adalah seorang yang pertama membuka Bugak dan memiliki kedudukan terhormat sebagai wakil Sultan. Hal ini diperkuat dokumen yang dikeluarkan Sultan Mansyur Syah bertahun 1270 H yang menyebutkan dengan terang nama Habib Abdurrahman dengan Bugak.

Menurut tradisi kaum Hadramiyin (bangsa Arab) yang datang ke Nusantara, biasanya mereka memiliki kunyah (nama gelar) yang kadangkala dinisbatkan kepada tempat tinggal ataupun makamnya seperti misalnya Sunan Bonang, Sunan Ampel, Pangeran Jayakarta, Habib Chik Dianjong dan dikuti oleh ulama, termasuk di Aceh seperti Maulana Syiah Kuala dan lainnya. Demikian pula dengan Habib Abdurrahman, menurut tradisi memiliki nama gelar yang dikenal oleh kaum keluarganya sebagai Habib Bugak, karena beliau tinggal di Bugak.

Hasil penelitian di sekitar Bugak dan wilayah yang berdekatan dengannya, tidak ada seorang Habib yang melebihi kemasyhuran Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi. Beliau adalah Tengku Chik atau Tengku Habib dan kepercayaan Sultan Aceh untuk wilayah Bugak dan sekitarnya yang memiliki wewenang pemerintahan sekaligus wewenang keagamaan, yang jarang diperoleh seorang pembesar sebagaimana tercantum dalam dokumen sultan tahun 1206 H dan lainnya.

Adapun ikrar wakaf Habib Bugak di Mekkah terjadi pada tahun 1222 H. Sementara dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah pada tahun 1206 H dan dokumen Kerajaan Aceh yang ditandatangani oleh Sultan Mansyur Syah pada tahun 1270 H menyebutkan dengan tegas nama dan tugas Sayyid Abdurrahman bin Alwi atau Habib Abdurrahman bin Alwi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Habib Abdurrahman pernah hidup di Bugak sebagai orang kepercayaan Sultan Aceh Darussalam antara tahun 1206 H sampai dengan tahun 1270 H, hampir bersesuaian dengan tahun wakaf dibuat pada tahun 1222 H.

Setelah mewakafkan hartanya, Habib Bugak Asyi menunjuk Nadzir pertama bernama Syeikh Muhammad Shalih bin Abdussalam Asyi yang diketahui dari keturunan ulama ternama Syeikh Abdullah al-Baid.
Syeikh ini dan penerusnya Syeikh Abdurrahim bin Abdullah al-Baid Asyi dikenal sebagai Tgk Chik Awe Geutah yang kompleks dayahnya masih terpelihara di Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Bireuen.

Tempat ini berdekatan dengan Bugak yang menjadi asal dari Habib Bugak Asyi. Menurut catatan Rabithah Alawiyah Kerajaan Aceh, Syekh Abdullah al-Baid adalah ulama dari Mekkah yang datang serombongan bersama dengan Habib Abdurrahman Al-Habsyi dari Mekkah, bertugas di Bandar Aceh Darussalam dan kemudian menetap di sekitar daerah Bireuen atas titah Sultan Aceh Darussalam.

Hal ini sebagaimana disebutkan Sarakata Sultan Aceh yang tersimpan rapi pada keturunan Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Kemudian, Habib Abdurrahman Al-Habsyi bermukim di Monklayu dan wafat di Bugak, sementara Syekh Abdullah al-Baid bermukim di Awe Geutah dengan mendirikan dayah dan wafat di sana.

Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Habib Bugak Asyi, setelah mewakafkan hartanya kemudian menunjuk Nadzir dari kalangan ulama yang sangat dekat hubungan dengannya, bahkan tinggal satu daerah yang berdekatan.

Menurut anak cucu Habib Abdurrahman Al-Habsyi, mereka memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Tgk Chik Awe Geutah, bahkan memiliki hubungan kekerabatan karena tali perkawinan. Fakta ini secara jelas menunjukkan siapa sebenarnya Habib Bugak Asyi itu, yang tidak diragukan adalah seorang Habib yang berasal dari Bugak yang berdekatan dengan asal Nadzir di Awe Geutah Peusangan.

REKONSILIASI ACEH

Selain mewakafkah hartanya, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Syekh Al-Habsyi atau Habib Bugak Asyi sejatinya juga salah seorang tokoh Aceh yang memiliki peranan penting dalam sejarah rekonsiliasi masyarakat Aceh. Terutama saat terjadinya ketegangan yang timbul pada awal abad ke 18 Masehi.

Ketegangan tak terlepas dari pemberhentian Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada tahun 1699 yang digantikan oleh suaminya Sultan Badrul Alam Sayyid Ibrahim Syarif Hasyim Jamaluddin Syah Jamalullayl (1699-1702) atas fatwa dari Ketua Mufti Syarief Mekkah setelah wafatnya Mufti-Qadhi Malikul Adil Maulana Syiah Kuala.

Fatwa ini telah mengantarkan para Sayyid sebagai Sultan Aceh selama hampir 30 tahun. Naiknya kembali keturunan garis Sultan asal Pasai dari keturunannya di Bugis, Sultan Alaidin Ahmad Shah (1733) dan para pelanjutnya telah menimbulkan kegusaran dan ketakutan dari keturunan para sayyid, terutama keturunan dari garis Sultan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik.

Saat imperialisme kolonial barat masuk ke Aceh, para tokoh sayyid di Aceh meminta Syarief Mekkah yang masih memiliki otoritas keagamaan atas Aceh agar mengirim para tokoh kharismatis, habib dan ulama yang dapat membawa kedamaian dan rekonsiliasi masyarakat Aceh. Di antara utusan yang datang dari Mekkah adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi yang kemudian dikenal dengan Habib Teuku Chik Monklayu, yang juga dikenal dengan Habib Bugak Aceh, karena beliau tinggal di Pante Sidom, Bugak, Bireuen.

Habib Abdurrahman Al-Habsyi Bugak adalah seorang ulama faqih, sufi dan seorang bentara-laksamana serta pemimpin masyarakat yang dipercaya oleh Sultan Aceh sebagai Teuku Chik yang kekuasaannya terbentang dari desa-desa di sekitar Jeumpa, Peusangan, Monklayu, Bugak sampai Cunda dan Nisam sebagaimana yang dituangkan dalam surat keputusan Sultan Mahmudsyah dalam surat bertahun 1224 H (1800 M)

Menurut Syekh Munir, kini Habib Bugak Asyi telah mewariskan kepada masyarakat Aceh harta wakaf berharga lebih 300 juta Riyal Saudi atau sekitar Rp7,5 triliun. Aset yang ada berupa 2 buah hotel, Ajyad (Funduk Ajyad) bertingkat 25 sekitar 500 meter dari Masjidil Haram dan Menara Ajyad (Burj Ajyad) bertingkat 28 sekitar 600 meter dari Masjidil Haram.

Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7.000 jamaah yang dilengkapi dengan infrastruktur lengkap. Selain hotel, ada juga apartemen dan tanah kosong berjumlah lebih 10 unit.

Pada musim haji tahun 1427 lalu, Nadzir (pengelola) Wakaf Habib Bugak Asyi telah mengganti sewa rumah jamaah haji asal Aceh selama di Mekkah sebesar sewa yang telah dibayar Pemerintah Indonesia kepada pemilik pemondokan atau hotel yang ditempati para jamaah haji asal Aceh. Besarnya sekitar antara SR1.100 sampai SR2.000, dengan jumlah total Rp13,5 miliar.

Nadzir Waqaf Habib Bugak juga sedianya akan membangun Kompleks Pemondokan Haji yang mampu menampung 5.000 jamaah yang berasal dari Aceh. Hasil wakaf juga digunakan untuk menyewakan beberapa bangunan lainnya untuk kepentingan masyarakat Aceh.

Menurut catatan, setelah kembali dari Mekkah, Habib Bugas Asyi bermukim dan dimakamkan di Pante Sidom, Kemukiman Bugak, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen. Terlepas dari catatan sejarah yang masih perlu disempurnakan, sosok Habib Bugak ini memang menjadi sesuatu yang dirindukan. Terbukti, sudah lebih dari 200 tahun ia wafat, sampai kini amalnya pun terus bermanfaat.[]dsb/*

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait