PM, Blangkejeren – Hutan Leuser—sebutan masyarakat Gayo Lues untuk Taman Nasional Gunung Leuser—yang kaya alamnya tidak menjamin kesejahteraan penduduk yang bermukim di lereng-lereng perbukitan. Daerah yang masuk dalam kawasan paru-paru dunia itu menyimpan banyak cerita duka bagi penduduknya.
Anggaran dari pemerintah pusat dan dari luar negeri untuk TNGL yang sering didengar penduduk daerah berjuluk Negeri Seribu Bukit itu tidak pernah menyentuh masyarakat. Konon, bantuan bagi masyarakat dari Pemerintah Pusat agar penebangan Hutan Leuser terhindar, nyaris tidak ada.
Untuk menopang hidup saja, sebagian warga yang tinggal di pedalaman Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh ini harus meniti maut demi mendapatkan sebambu beras, sekilo minyak goreng, dan satu ons ikan asin.
“Kami harus melewati lumpe untuk menyeberangi sungai, di sana ada areal perkebunan kami. Kami menanam cabai dan mengambil hasil alam dari Hutan Leuser, tapi sudah bertahun-tahun belum juga mendapatkan kesejahteraan,” kata Arwin pemuda Desa Kacang Retak Kecamatan Putri Betung, Gayo Lues, Senin, 8 Februari 2016.
Lumpe ialah jembatan tali terbuat dari kawat. Meniti lumpe bukan perkara mudah. Kedua kaki harus berjalan di atas kawat beronjong yang sudah dibentuk, sedangkan kedua tangan harus menggenggam erat-erat tali kawat di atasnya. Salah sedikit langsung jatuh ke dasar sungai atau ke atas batu yang ada di bawah lumpe tersebut.
Meskipun meniti maut, warga yang tinggal di kaki Hutan Leuser tidak menyerah begitu saja. Demi menghidupi anak-anaknya, warga harus rela meniti lumpe agar bisa mengangkut hasil alam ke tempat tinggal yang kemudian di jual ke pusat kota, Blangkejeren.
“Kalau sudah biasa tidak takut lagi, bahkan saya bisa meniti lumpe dengan sebelah tangan dan membawa cabai 30 kg di atas kepala, dan menggendong sayur-sayuran dengan cara diikat di tubuh bagian belakang (bejangkat),” tutur Arwin saat ditemui di Kota Blangkejeren, terkait pekerjaannya sehari-hari.
Saat hasil perkebunan sedang tidak ada, Arwin mengaku tetap pergi ke sebrang sungai Agusen itu untuk mencari hasil hutan. Apapun jenis hasil alam yang laku dijual akan dicarinya meskipun harus menanjak gunung dan berhadapan dengan binatang buas.
“Keseringan saya mengambil rotan untuk dijual ke pasar, selebihnya mencari getah pohon ramung (rambung_red), getah pohon ini dimasak untuk dijual di Blangkejeren, kegunaanya untuk menjerat burung-burung yang ada disawah,” ceritanya.
Saban hari, pekerjaan seperti itu selalu dilakoni Arwin. Pemuda yang tidak tamat SD ini pernah mencoba berdagang namun tidak mendapatkan hasil sehigga tidak bisa menghidupi keluarganya. Kekurangan modal menjadi penyebab ia harus “membuang diri” ke tengah hutan belantara dan harus berpisah dengan masyarakat kampung demi menghidupi orang tuanya yang sedikit keterbelakangan mental.
Ia berharap Pemerintah memperhatikan orang-orang yang benar-benar membutuhkan perhatian, bukan diberikan perhatian kepada orang yang tidak butuh perhatian tetapi meminta diperhatikan.
“Kalau memang ada bantuan, benar-benarlah dilakukan pendataan. Berikan bantuan itu kepada yang sangat membutuhkan, bukan kepada orang yang selalu minta bantuan,” tegasnya.
Di Kabupaten Gayo Lues, orang yang selalu meniti maut di lumpe bukan hanya Arwin tetapi masih banyak “Arwin-Arwin” lainnya yang memang menggantungkan hidup dari hasil Hutan Leuser yang nyaris tidak mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah.
Tercatat, jembatan lumpe dua tali yang ada di Gayo Lues terdapat di Desa Agusen, Kacang Retak, wilayah Kecamatan Putri Betung, Rikit Gaib, Pantan Cuaca, dan Kecamatan Tripe Jaya. Dan selama ini, warga hanya membangun lumpe sendiri demi bisa menyeberangi sungai tanpa meminta bantuan pembangunan jembatan gantung dari Pemerintah Daerah setempat. [PM004]
Belum ada komentar