Menilik Persaingan Sukhoi-Boeing di Indonesia

pesawat sukhoi
Menilik Persaingan Sukhoi-Boeing di Indonesia

pesawat sukhoi

Jakarta—Hubungan Rusia dengan Indonesia, relatif tidak terlalu dekat selama masa pemerintahan Orde Baru. Penyebabnya antara lain, karena Rusia sebagai negara induk bekas Uni Soviet, selama Perang Dingin (1948 – 1991) merupakan penganut ideologi sosialis komunis. Sementara Indonesia merupakan negara yang melarang eksisnya Partai Komunis Indonesia berikut ideologi komunismenya.

Boleh dibilang baru satu dekade belakangan ini citra Rusia di Indonesia berubah bersamaan dengan keberhasilan reformasi di negara itu. Perubahan inilah yang kemudian mendorong Indonesia mulai menyambut tawaran kerja sama dari negara tersebut. Satu di antaranya dengan pembelian pesawat tempur Sukhoi di era Presiden Megawati (2003).

Pembelian itu sangat berbeda dengan sistem jual beli dengan negara-negara Barat. Pembelian Sukhoi dirundingkan oleh Kepala Badan Urudan Logistik (Bulog) ketika itu, Wijanarko Puspoyo. Kabarnya tidak semua pembayaran dalam bentuk tunai. Tapi ada imbal beli.

Setelah pembelian Sukhoi di era Megawati, Presiden SBY yang di 2003 sudah menduduki posisi Menko Polkam, melanjutkannya dengan menambah 6 unit pembelian pesawat tempur di 2010. Format jual belinya, sudah berbeda. Semuanya dibayar dengan dana segar. Tapi perlengkapan pesawat Sukhoi yang dibeli di era SBY pun, jauh lebih lengkap. Semua persenjataan yang memang melekat dalam Sukhoi, diberikan secara lengkap oleh pabrikan.

Itu sebabnya harga per unitnya pun mencapai lebih dari setengah triliun rupiah yang kemudian mendorong pihak ICW mencurigai pembelian itu dengan mengatakan, telah terjadi pengelembungan harga yang cukup signifikan.

Di luar isu pengelembungan harga, pembelian Sukhoi di era Presiden SBY masih dihadang oleh masalah tehnis. Misalnya pada September 2010, tiga orang teknisi Rusia yang khusus datang ke Makassar, Sulawesi Selatan meninggal mendadak di tempat penginapan mereka. Padahal tugas mereka untuk merakit Sukhoi-sukhoi tersebut supaya pesawat tempur itu bisa digunakan untuk demo pada hari TNI 5 Oktober 2010.

Tidak heran jika kematian para teknisi Sukhoi itu telah memancing berbagai rumor, isu dan spekulasi. Salah satunya menyebutkan, para teknisi itu sengaja diracun oleh kelompok tertentu, agen dari perusahaan yang merupakan saingan pabrikan Sukhoi. Hanya saja tidak disebutkan apakah pesaing itu berasal dari Rusia juga atau negara lain.

Spekulasi ini muncul sebab kematian para teknisi itu dianggap tidak wajar. Sesuai keterangan otoritas Indonesia, para teknisi itu meninggal dunia akibat malam sebelumnya mereka mengkonsumsi minuman keras melebihi takaran.

Kecurigaan dan spekulasi atas kematian teknisi Rusia itu sudah berhenti sekalipun masih ada yang kurang percaya. Kekurang percayaan mencuat sebab para teknisi Sukhoi itu, di negara mereka dikenal sebagai pengkonsumsi minuman keras yang kadar alkoholnya sangat tinggi yaitu Vodka yang dikonsumsi sehari-hari oleh orang Rusia.

Pada 2012 ini, kembali hubungan Rusia-Indonesia dihadang oleh persoalan teknis. Yaitu ketika pesawat komersil Sukhoi Super Jet 100 (SSJ 100) mengalami kecelakaan ketika melakukan promosi. Akibat kecelakaan tersebut, diperkirakan kepercayaan konsumen (Indonesia) terhadap produk Rusia bakal menurun.

Yang tidak kalah menariknya, sama dengan kematian tiga teknisi pesawat tempur Sukhoi, kecelakaan pesawat komersil kali ini juga diganggu oleh rumor dan spekulasi. Misalnya pesawat itu dibajak oleh teroris kemudian mengalami kecelakaan.

Boleh jadi ketika teroris melakukan aksinya, kata spekulasi itu, terjadi perlawanan dari pihak kru Sukhoi. Sebab kru Sukhoi pesawat komersil tersebut merupakan tenaga yang terlatih secara militer. Selain itu, penerbangnya seorang bekas penerbang pesawat tempur Angkatan Udara Rusia (Uni Sovyet).

Dalam tragedi SSJ 100 ini, 8 warga Rusia ikut menjadi korban. Hanya saja memang tidak diidentifikasi, asal usul teroris itu. Bantahan atas spekulasi ini, sudah dilakukan oleh otoritas Indonesia maupun Rusia.

Disadari atau tidak, yang pasti akibat kecelakaan Sukhoi kali ini, Presiden Rusia, Vladimir Putin, bekas orang top KGB (Dinas Rahasia Uni Sovyet), terpaksa menelpon Presiden SBY. Selain itu, Putin yang juga baru berganti posisi dengan Dmitry Medvedev (dari Presiden menjadi Perdana Menteri), tak lupa menyampaikan ucapan turut belangsungkawa sekaligus meminta agar Indonesia melakukan investigasi atas penyebab kecelakaan tersebut.

Bisa dipahami kerisauan Moskow dan Vladimir Putin akibat terjadinya kecelakaan pesawat komersil Sukhoi. Rasa kurang percaya Indonesia pada Rusia, otomatis berkurang.

Lagi pula pada November 2011 lalu, Putin selaku Perdana Menteri Rusia, secara mendadak membatalkan kehadirannya di KTT Asia Timur yang diselenggarakan di Bali. Alasannya, ia sedang sibuk menghadapi penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Alasannya tidak mengada-ada. Hanya saja, Pemilu Rusia itu sebetulnya baru diselenggarakan 4 Maret 2012. Maksudnya antara penyelenggaraan KTT 2011 di Bali dan Pemilu Rusia, jaraknya masih terlalu jauh.

Itu sebabnya kendati Indonesia atau Presiden SBY tidak menyatakan kekecewaannya atas absennya wakil Rusia di KTT Bali, namun ketidak hadiran itu sedikit-banyak telah mengurangi simpati ataupun empati dari pihak Indonesia.

Setidaknya ada kesan bahwa Rusia belum melihat Indonesia sebagai sahabat penting. Kalaupun kesan itu tidak diutarakan secara eksplisit, tetapi sikap dingin pemimpin Rusia itu setidaknya ikut mempengaruhi rasa percaya dalam berinteraksi ataupun berbisnis.

Kalau pun sekarang ada tanda-tanda Rusia mau meyakinkan Indonesia melalui jalur bisnis penjualan pesawat, usaha itu tetap tidak akan mudah berhasil. Karena bagaimanapun Amerika Serikat sudah keburu lebih dulu merangkul dan meyakinkan Indonesia.

Adalah Presiden Barack Obama sendiri yang campur tangan dalam transaksi pembelian pesawat Boeing oleh Lion Air, perusahaan penerbangan swasta Indonesia. Bayangkan, dengan pihak swasta saja, Obama sudah begitu percaya. Presiden Barack Obama sampai harus menyaksikan penandatanganan pembelian 230 unit pesawat Boeing di Bali 18 November 2011.

Transaksi itu bernilai US$2,17 miliar atau setara dengan sekitar Rp19,5 triliun. Transaksi itu merupakan jual beli terbesar dalam industri penerbangan pabrikan Boeing. Jangan heran kali Sukhoi makin sulit bersaing di Indonesia, sama sulitnya menemukan lokasi jatuhnya pesawat SSJ 100 berikut evakuasi para korban.[derekm/inc]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Wapres di Aceh
Wakil Presiden Boediono dan istrinya melambai tangan kepada wartawan usai melakukan kunjungan singkat di Pendopo Gubernur Aceh, Jumat (13/4).(Andi Ibnu G)

Pengeras Suara di Masjid Biar Diatur Masyarakat