Menguak Pro-Kontra Wacana Hukum Qishash

Menguak Pro-Kontra Wacana Hukum Qishash
ILUSTRASI

Isu pemberlakuan hukuman pancung atau qishash di Aceh mendapat respon beragam. Tak sedikit dukungan mengalir deras di tengah penentangan pegiat HAM ala Barat.

WACANA pemberlakuan hukuman qishash atau pancung terhadap pelaku pembunuhan menuai pro-kontra di tingkat nasional dan internasional. Salah satunya dari Jaksa Agung M Prasetyo. Dia menegaskan, hukuman mati dilaksanakan di depan regu tembak bukan dipancung, sesuai dengan ketentuan perundangan yang diatiur dalam UU Darurat Tahun 1964.

“Ditembak oleh regu tembak, tapi jaksa yang memimpin pelaksanaannya sebagai eksekutor. Tidak ada yang lain,” kata Prasetyo menjawab soal pro-kontra hukuman qishash, Sabtu (17/3), sebagaimana dikutip dari poskotanews.com.

Alasan Prasetyo kenapa hukuman mati di depan regu tembak, adalah karena hukum positif tidak mengatur hukuman mati melalui pancung. “Kita melaksanakan hukuman mati di depan regu tembak mengacu pada UU Darurat Tahun 1964. Itu yang menjadi acuan kita,” jelas Prasetyo yang juga Mantan Jaksa Agung Muda Pidana Umum, 2005 – 2006.

Respon Jaksa Agung itu terkait rencana Dinas Syariat Islam (DSI) Provinsi Aceh memberlakukan hukuman yang bersumber dari Al-quran ini ramai menghiasi seluruh media nasional. Padahal, statemen yang keluar dari mulut Kabid Bina Hukum Syariat Islam dan Hak Asasi Manusia DSI Aceh, Dr Syukri, Rabu pekan lalu, terkait pemberlakuan qishash itu sendiri baru bersifat wacana.

Dalam penjabarannya, Syukri menjelaskan bahwa penerapan hukuman itu terlebih dahulu dikaji dan diteliti DSI. Prosespenerapannya masih sangat panjang karena pengkajian secara mendalam akan berlansung hingga akhir 2018.

“Tidak langsung simsalabin jadi. Kita akan melakukan dengan penuh pertimbangan. Setelah hasil penelitian itu, baru kita upayakan ke penyusunan naskah akademik dan draf dari hukum itu sendiri,” kata Syukri kepada wartawan di Pendopo Gubernur Aceh, Rabu, 14 Maret 2018.

Qishash sendiri merupakan hukuman yang setimpal diberikan kepada pelaku kejahatan atau dikenal dengan istilah hutang nyawa dibayar nyawa. Penerapan hukuman ini diberikan kepada pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan sadis dan berencana.
Dalam Alquran, Syukri menjelaskan, Allah telah menyebutkan bahwa hukum qishash terdapat jaminan bagi orang-orang yang berakal.
Jaminan kehidupan yang dimaksud yakni, dengan berlakunya hukum syariat maka akan terjamin tidak akan melayang lagi nyawa-nyawa orang.

“Ketika orang sudah takut membunuh orang lain maka semua manusia akan selamat, begitu juga dengan orang atau pelaku itu sendiri,” terangnya.

Dari penuturan Syukri, wacana hukum qishash ini baru akan direalisasikan jika mendapat respons positif dari masyarakat. Sebaliknya, hukum pancung bisa saja urung diterapkan jika rakyat Aceh tidak menyetujuinya. “Jadi semuanya tergantung hasil penelitian nanti,” ujar dia seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Wacana penerapan hukum qishash ini dilatari keinginan Pemprov Aceh untuk mencegah dan mengantisipasi kejahatan pembunuhan di masyarakat. Hukum pancung dipilih setelah pihaknya melihat penerapan hukuman tersebut di sejumlah negara.

“Jadi hukuman ini bukan malah untuk membunuh, tapi untuk menghindari, untuk mengantisipasi kejahatan pembunuhan,” tegas Syukri.

Ia menyatakan belum mengkomunikasikan wacana penerapan hukum pancung ini dengan pemerintah pusat. Hukum pancung, disebut Syukri sebagai jalan terakhir yang dipilih Pemprov Aceh untuk menekan angka pembunuhan.

“Karena ini masih berupa wacana. Masih belia. Jadi ngapain dikomunikasikan? Bisa saja batal kalau masyarakatnya tidak setuju. Dan ini (hukuman pancung) jalan terakhir, cara lain adalah menyadarkan masyarakat,” kata dia lagi.

Pemprov Aceh melalui DSI diakuinya telah melakukan langkah-langkah persuasif untuk mencegah kejahatan pembunuhan di masyarakat. “Dalam Syariat Islam, yang dikedepankan adalah pendekatan persuasif, soft. Itu sudah kami lakukan. Berkomunikasi dengan masyarakat,” tutur dia.

WACANA QISHASH BERMULA

Wacana penerapan hukuman qishash di Aceh dilatarbelakangi banyaknya kasus pembunuhan dalam waktu akhir-akhir ini. Menurut Syukri, jika pemerintah konsisten dalam penerapan hukum syariat di Aceh, maka angka kriminalitas akan menurun.

Bahkan kejahatan pembunuhan diyakini akan hilang. Dirinya mencontohkan, Arab Saudi yang menerapkan hukuman tersebut secara ketat sehingga angka kejahatan pembunuhan menurun dan hampir tidak ada lagi.

“Hal itu dikarenakan mereka tahu bahwa dalam suatu kasus bila dihukum dengan hukuman yang sangat berat, mereka akan menyadari dan menahan diri untuk melakukan kejatahan itu,” ungkapnya.

Dikatakan Syukri, menjamurnya kasus pembunuhan di Indonesia dan khususnya di Aceh, lebih dikarenakan pelaku pembunuhan itu hanya dihukum beberapa tahun penjara, tidak setimpal dengan apa yang dilakukan. Maka jika seseorang masih memiliki niat jahat, akan kembali melakukan pembunuhan, dan begitu juga dengan kejahatan lain.

”Jika seseorang menahan diri untuk membunuh maka nyawa orang lain akan selamat, begitu juga dengan dia atau pelaku yang ingin melakukan kejahatan. Ini sebetulnya logika, jangan kita terus merasa alergi saat berbicara hukum qishash,” sebutnya.

Selain itu, dalam pelaksanaanya hukum qishash tidak hanya asal-asalan, sama dengan penerapan hukum syariat yang berlaku selama ini di Aceh. Sebelum dieksekusi, tentu ada proses mulai penyelidikan hingga putusan pengadilan. Dan jika semua unsur telah dijajaki dan terbukti melakukan kejahatan maka akan dijatuhi hukuman qishash.

PERNAH SINGGUNG GUBERNUR

Berdasarkan catatan Pikiran Merdeka, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Kejati Aceh di Hotel Grand Aceh Syariah, Banda Aceh, Selasa, 9 Januari 2018, pernah meminta kejaksaan di Aceh agar menuntut pelaku pembunuhan berencana hukuman maksimum yaitu hukuman mati.

Ia lalu menyinggung soal penerapan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan jika hukum positif di Indonesia tidak bisa memberi efek jera bagi pelaku. “Kalau ada kasus pembunuhan di Aceh maka harus dihukum maksimum yaitu mati,” katanya di hadapan Kajari se-Aceh seperti dilansir dari acehtribunnews.com.

Dia pun mengapresiasi putusan Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan yang memvonis mati Edi Syahputra (25), terdakwa pembunuhan sadis dua anak dan ibu mertua dari Mulyadi, pejabat Pemkab Aceh Barat Daya (Abdya).

Kala itu, Irwandi juga berharap pelaku pembunuhan terhadap tiga warga turunan Tionghoa di Kuta Alam dapat dihukum mati. Menurutnya, dalam hukum Islam, membunuh dengan sengaja baik kepada muslim maupun nonmuslim (zimmi) maka pelakunya tetap diganjar dengan hukuman mati.

“Hukum Islam menerapkan hukuman mati kepada pembunuh berencana. Hukum nasional pun memerintahkan seperti itu untuk melindungi orang hidup. Di Aceh perlu dilakukan penuntutan dan vonis maksimum terhadap pembunuh berencana,” ujar dia.

Apabila hukum positif tidak bisa menuntut atau memvonis hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan, Irwandi berencana akan menerapkan hukuman qishash di Aceh. “Aceh diberikan wewenang dalam menerapkan syariat Islam,” ucap Irwandi.

Tujuan penerapan hukuman tersebut, agar masyarakat tidak mudah membunuh karena hal sepele. “Jangan sikit-sikit bunuh orang. Sengketa sawah bunuh orang, saling ejek bunuh orang. (Penerapan hukum mati bagi pembunuh) agar masyarakat kita dapat hidup dengan penuh kepastian,” ungkap dia.

Gubernur berharap, Aceh menjadi pionir dalam hal penerapan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan. Selama ini, katanya, tuntutan terhadap pembunuh belum maksimal. “Harapan saya, (penerapan hukuman) ini diikuti oleh provinsi lain di Indonesia,” pungkas Irwandi.

DUKUNGAN MUI

Meski baru sebantas wacana, dukungan dan lampu hijau sudah keluar dari Majelis Ulama Indonesia. Ketua Komisi Hukum MUI, Ikhsan Abdullah menyebutkan bahwa hukum qishash sangat memungkinkan diterapkan di Aceh. Hal tersebut lantaran Aceh merupakan wilayah yang telah bersendikan syariat Islam.

“Menurut kami ini boleh saja, karena sudah menjadi konsekuensi bagi Aceh yang telah menerapkan prinsip syariat Islam maka sebenarnya prinsip (qisas) itulah yang harus diterapkan,” ujar Ikhsan seperti dikutip dari Okezone, Kamis pekan lalu.

Ikhsan menjelaskan, sebelum hukuman qishash tersebut diterapkan, maka antara pelaku dan keluarga korban harus melakukan upaya perdamaian terlebih dahulu. Jika kesepakatan berdamai dicapai, maka pelaku harus membayar sejumlah denda kepada keluarga korban. Namun, jika keluarga korban tidak bersedia berdamai maka barulah hukum qisas diberlakukan.

“Jadi, penerapannya tidak serta merta ada pelaku pembunuhan misalnya, lalu langsung di-qishash. Tapi ada rangkaian upaya perdamaiannya,” kata Ikhsan.

Meski demikian, dalam wacana penerapan hukum qishash tersebut Pemerintah Aceh harus benar-benar mempersiapkan semua fasilitas yang mendukung. Menurut Ikhsan, hal pertama yang perlu disoroti adalah terkait hak pelaku atau terpidana untuk mengajukan upaya banding dan kasasi.

Sebelum hukum qisas benar-benar diterapkan di Aceh, Ikhsan meminta agar pemerintah mampu mempersiapkan terlebih dahulu fasilitas pendukung. Sehingga, jangan sampai wacana tersebut justru hanya berjalan setengah-setengah dan tidak maksimal.

“Kalau kasasi itu harus dilakukan di Mahkamah Agung, sedangkan disana belum ada kamar peradilan Islam, hanya kamar peradilan agama yang masih berlandaskan sesuai KUHP. Ini yang harus difasilitasi, bagaimana upaya pemerintah untuk menyediakan kamar peradilan Islam yang sesuai dengan syariat Islam,” paparnya.

Ikhsan juga mengimbau kepada masyarakat di Aceh untuk dapat mentaati apapun hasil akhirnya dari wacana pemberlakuan hukuman qisas tersebut, apakah benar-benar akan diterapkan atau tidak.
“Kami mengimbau kepada masyarakat untuk dapat menaati segala keputusan akhirnya, ini sudah konsekuensi. Kalau mau tinggal di suatu wilayah maka ya harus mengikuti segala aturan yang berlaku di dalamnya, apapun itu,” tandasnya.

Selain Ikhsan, Ketua Komisi Dakwah MUI, Cholil Nafis sepakat atas rencana penerapan hukum qishash bagi pembunuh. Menurutnya, Aceh termasuk daerah khusus. Sejauh aturan tersebut bisa disepakati oleh masyarakat dan ditetapkan oleh undang-undang itu dapat dibenarkan.

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU) itu mengatakan hukum pidana, termasuk hukum qisas itu pada prinsipnya menjunjung tinggi aspek jera dan preventif (mawani’ wa zawajir).

“Hukuman itu agar pelakukanya jera dan tak mengulangi lagi. Orang lain jadi takut melakukannya karena ada hukuman yang setimpal,” tutur Cholil yang dikutip dari CNNIndonesia.com, Kamis (15/3).

Sementara itu, dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan pihaknya akan memantau dan memperhatikan perkembangan rencana penerapan qishash di Aceh.

Zainut belum mau berkomentar banyak karena MUI harus mengonfirmasi terlebih dahulu maksud penerapan qisas di provinsi yang juga dikenal sebagai Serambi Mekkah tersebut dengan Majelis Permuwsyaratan Ulama (MPU) di Aceh. “Pasti MUI akan mencermati kalau ini kemudian menjadi perhatian umat,” kata dia.

KLARIFIKASI SYUKRI

Setelah wacana qishash ini bergulir selama dua hari dan menjadi santapan empuk media nasional dan aktivis HAM serta mendapat dukungan MUI, Kabid Bina Hukum Syariat Islam dan Hak Asasi Manusia DSI Aceh, Dr Syukri akhirnya mengklarifikasi keterangannya atas wacana tersebut.

Syukri membantah pemberitaan bahwa DSI Aceh tengah menggodok qanun qishash dan akan segera diterapkan di Aceh. Dirinya mengaku pernyataan itu atas nama pribadi sebagai akademisi, bukan mengatasnamakan sebagai jabatan yang diemban dalam Dinas Syariat Islam Aceh.

Pernyataan itu disampaikan Syukri melalui Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Aceh Mulyadi Nurdin, Jumat (16/3/2018). Dalam pernyataannya, Syukri menuliskan empat poin pernyataan klarifikasi.

Pertama, ia mentatakan tidak pernah menyatakan Aceh akan berlakukan hukum pancung. Yang disampaikannya beberapa waktu lalu adalah wacana untuk melakukan penelitian terlebih dahulu untuk melihat tanggapan masyarakat Aceh jika hukum qishash mau diberlakukan. “Itu sangat normatif.”

“Saya menyampaikan wacana tersebut atas kapasitas pribadi atau sebagai akademisi dan tidak mewakili Pemerintah Aceh,” tulisnya di point kedua.

Di point ke tiga, ia juga menjelaskan bahwa wacana penelitian tentang hukum qisas sejauh ini belum masuk dalam program Pemerintah Aceh.

“Berita yang beredar yang seolah-olah saya keluarkan statemen bahwa Aceh akan terapkan hukum pancung itu sangat merugikan saya sendiri dan juga Pemerintah Aceh, untuk itu saya mohon diklarifikasi,” pinta Syukri di point terakhir.[]

Mungkinkah Qishash Jadi Hukum Positif di Indonesia?

Penerapan hukuman qishahs atau hukuman pancung bisa saja diberlakukan di Indonesia untuk menggantikan hukuman mati dengan cara ditembak.

Wacana penerapan hukum qishash bagi pelaku pembunuhan berencana di Aceh yang pada dasarnya masih prematur memang membuat heboh di tingkat nasional. Tak hanya Jaksa Agung yang meresponsnya, isu tersebut mendapat perhatian serius dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dia menilai hukuman mati melalui metode pancung kepada pelaku kejahatan tidak bisa diterapkan jika hanya diatur dalam peraturan daerah atau qanun.

Menurut dia, aturan tentang hukuman pancung seharusnya diakomodasi dalam undang-undang. “Kalau Perda tidak bisa,” kata Yasonna seperti dikutip dari Liputan6.com, Kamis (15/3/2018).

Yasonna mengatakan hukuman kepada pelaku pidana sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam aturan itu, kata dia, berisi tentang hukuman mati yang dilaksanakan oleh Jaksa Agung.

Meski demikian, Yasonna mengaku untuk hukuman pancung ini, ia masih mempelajarinya lebih lanjut. Yang pasti, aturan itu harus diakomodasi dalam peraturan setingkat UU.

“Ya kan UU lebih tinggi kan, KUHP. Kan dia tingkatnya UU. kalau perda kan tidak sampai begitu. Tapi nanti kita lihatlah bagaimana UU khusus di Aceh. Kalau dia perda enggak bisa. Karena ada batasan yang dibuat penentuan hukuman di perda,” ucap Yasonna Laoly.

Tak hanya Menkumham, Mabes Polri juga ikut merespons isu tersebut. Diilansir dari Vivanews, Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menyatakan pihaknya akan mendahulukan hukum nasional dalam penerapannya.

“Aceh memang daerah khusus tetapi yang berlaku masih hukum nasional. Selama hukum nasional itu diberlakukan di sana dan di sana ada aturan syariah, dan tidak bertentangan dengan situasi masyarakat berbangsa dan bernegara, saya kira kita berlakukan hukum nasional,” ujar Setyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis 15 Maret 2018.

Selama ini, kata Setyo, memang sudah ada pemberlakuan hukum lokal yang diterapkan di Aceh, semisal hukuman cambuk. Namun, khusus hukuman qishash, Polri harus terlebih dulu melihat dan mengkajinya. Sebab di dalam filosofi hukum di Indonesia, hukuman diberlakukan bukan untuk balas dendam.

“Di dalam UU kita hukuman itu bukan balas dendam tetapi adalah untuk pembinaan. Kita kembali ke esensi filosofi hukum di Indonesia bukan balas dendam. Darah dibalas darah, kepala dibalas kepala. Bukan gitu. Tapi hukum di Indonesia untuk pembinaan. Makanya namanya lembaga pemasyarakatan dan akan dikembalikan ke masyarakat,” katanya.

Setyo mengatakan sudah ada pembagian khusus terkait pelanggaran di Aceh. Penerapan jenis hukum, lanjut dia, tergantung pihak yang terlebih dahulu menangani suatu kasus. “Kalau polisi (lebih dulu), kami hukum nasional,” ujar Setyo.

Dia memberi contoh kasus pacaran. Kata Setyo, polisi tak pernah menangkap pasangan berpacaran di Aceh. Pihak yang menangkap adalah polisi syariah. Begitu pun dengan kasus judi yang melanggar hukum syariah dan hukum nasional. Dalam kasus ini, hukum nasional akan diterapkan jika polisi lebih dulu menanganinya.

LEBIH EFEKTIF

Sementara ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakkir berpendapat, wacana penerapan hukum qishash di Aceh sebaiknya diatur dalam undang-undang. Menurutnya, tak tepat bila hukum pancung diatur dalam regulasi setingkat pemerintah daerah.

“Jangan diatur di Perda, tapi undang-undang. Kalau dasarnya Perda itu enggak boleh,” ujar Muzakkir sebagaimana dikutip dari CNNIndonesia.com, Kamis (15/3).

Muzakkir mengatakan Aceh saat ini masih memberlakukan hukum cambuk atau qanun yang diatur dalam Perda Syariat Islam. Hukum cambuk itu, menurutnya, masih bisa disetarakan dengan hukum penjara yang berlaku di daerah lain. Berbeda dengan hukum pancung yang semestinya masuk dalam aturan hukuman mati.

“Cambuk secara fisik masih bisa ditoleransi. Tapi kalau pancung, itu mestinya masuk cara eksekusi di hukuman mati,” katanya.
Muzakkir menuturkan, pancung bisa diatur dalam undang-undang tentang ketentuan hukuman mati. Pemerintah Provinsi Aceh, menurutnya, bisa mengusulkan langsung ke pemerintah pusat terkait ketentuan tersebut.

“Selama ini kan hukuman mati ditembak. Dengan wacana ini, Gubernur Aceh bisa usul untuk eksekusi mati dengan tembak atau pancung. Jadi orang bisa pilih mau mati dengan cara yang mana dan itu legal,” tutur Muzakkir.

Di sisi lain, hukum pancung juga dinilai lebih efektif daripada tembak mati. Sebab, orang yang dipancung akan langsung mati tanpa merasa sakit. “Kalau ditembak di jantung ada sekian menit rasa penyiksaan. Tapi kalau dipancung, kan enggak terasa,” pungkasnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait