Yayasan Tabina Aceh ditengarai mendapat bantuan Kemensos Rp3,8 miliar. Namun operasional yayasan milik istri Wagub Aceh nonaktif ini terhenti di tengah jalan.
Bangunan berlantai dua di Garot, Darul Imarah, Aceh Besar, itu tampak tak berpenghuni, Kamis pekan lalu. Kecuali lalu-lalang pengendara motor dan mobil yang melintasi jalan, tak tampak orang yang berada di sekitar kawasan tersebut. Pintu pagarnya pun terkunci rapat.
Pusat Rehabilitasi Napza Yayasan Tabina Aceh itu sebelumnya dihuni para residen penyalahgunaan narkoba. Namun, sejak Desember 2016 telah berhenti beroperasi.
Plang nama di depan asrama yayasan tersebut ditutupi dengan spanduk yang menginformasikan bahwa kegiatan rehabilitasi di yayasan tersebut ditutup sementara hingga 31 Maret 2017 dan dibuka kembali pada 1 April 2017. Alasannya, karena akan direnovasi.
Berhentinya operasi yayasan milik Marlina Usman, istri Wakil Gubernur Aceh nonaktif, Muzakir Manaf yang terkesan mendadak dan dipaksakan ini menimbulkan tanda tanya berbagai pihak, terutama para residen dan keluarganya.
Sejumlah permasalahan pun mulai mencuat ke permukaan. Di antaranya, terkait bantuan dana dari Kementerian Sosial (Kemensos) RI dalam jumlah besar.
Mantan General Manager Yayasan Tabina Aceh, dr Natalina Christanto menuturkan, ia baru mengetahui perihal bantuan dana tersebut dari salah seorang staf Kemensos RI yang mendampingi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI saat melakukan audit pada 23-25 November 2016.
“Di situ saya dikasih tahu, besar lho dana yang didapat sama Yayasan Tabina. Dia bilang, sampai Rp3,8 miliar,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Berdasarkan penuturan staf tersebut, ada dua Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang mendapatkan dana dimaksud, yaitu Yayasan Tabina Aceh dan Yakita. Tapi, perbedaan bantuan keduanya timpang sekali. Yakita hanya mendapatkan sekitar Rp140 juta, sementara Yayasan Tabina Aceh sebesar Rp3,8 miliar.
Namun, Natalina heran. Dengan kucuran dana sebesar itu, operasional yayasan yang diketuai dr Arief El Habibie ini tetap tak menunjukkan perbaikan kualitas. Malah, lanjut dia, biaya untuk kebutuhan bulanan residen masih dibebankan kepada keluarga residen sendiri.
Baca: Menelisik Hibah untuk Yayasan Istri Kepala Daerah
Karena hal itu, BPK RI datang melakukan audit ke yayasan tersebut pada akhir November 2016. Natalina mengatakan pihak BPK RI memeriksa para staf yayasan. Sementara dirinya sendiri hanya dihubungi melalui telepon.
Dalam laporan pertanggungjawaban yayasan kepada BPK RI disebutkan bahwa kebutuhan makanan residen disuplai katering. Namun, ia membantah. Tak ada katering, yang ada hanya tukang masak yayasan yang belanjanya bersumber dari biaya bulanan residen sendiri.
“Yang kita alami selama ini, uang makan para residen pun diambil dari uang yang dikasih keluarganya, Rp300 ribu per bulan,” kata Natalina.
Terkait belanja pengadaan obat, Natalina mengaku yayasan hanya mengeluarkan dana Rp1 juta untuk pembelian obat pada Oktober 2016 di Apotik Restu, Peuniti, Banda Aceh. Sementara dalam laporan yayasan disebutkan pembelanjaan obat mencapai Rp193 juta.
BPK juga menanyakan Natalina terkait laporan adanya bon biaya pembuatan seragam di Butik Rosalina. “Kalau jahit seragam staf itu bukan di Rosalina, tapi di Go Print. Itu pun kami bayar masing-masing Rp150 ribu. Jadi nggak ditanggung yayasan,” ujarnya.
Pelaksanaan tes urin juga diklaim yayasan sebanyak tiga kali. Padahal, kata Natalina hanya dilakukan sekali. Begitu pula terkait honor para staf yayasan, dalam laporan disebutkan 60 orang. Kenyataannya, hanya 40 orang. Itu pun banyak yang belum dibayar.
Begitu tahu perihal pengelolaan anggaran yang tak becus dan mengebiri hak-hak mereka, para residen marah dan melakukan demo pada akhir November 2016. Mereka minta berjumpa dengan ketua yayasan, Arief El Habibie.
Ketika Arief datang menemui mereka, para residen menuntut apa saja yang menjadi hak-hak mereka selama berada di yayasan.
“Dia menjawab ada hak makan dua puluh lima ribu sehari. Ditanya lagi, dibilang ada hak untuk outbound, alat kebersihan, dan lain-lain. Jadi ketika dapat tekanan dari residen seperti itu, keluar semua dari mulutnya itu. Habis itu, dia pergi,” tuturnya.
Baca: Ancaman DBD Meluas di Banda Aceh
Setelah pertemuan tersebut, Arief pergi begitu saja dan tak juga memenuhi hak para residen sebagaimana disebutkannya.
Natalina menyayangkan belum adanya perbaikan pelayanan dari pihak yayasan, padahal bantuan dana yang diterima tak sedikit jumlahnya. “Dengan adanya subsidi sebesar itu, kok kayaknya tidak melihat ada sejumlah itu di sini,” katanya.
Pengelolaan uang yang tak jelas oleh bendahara yayasan juga dipertanyakan Natalina. Bendahara harian yayasan, Ihsan yang merupakan adik ipar Ketua Umum Yayasan Tabina Aceh, Arief El Habibie dinilai tidak transparan dalam mengelola keuangan.
Belum ada komentar