Tanpa was-was, umat hindu melaksanakan perayaan hari-hari besar keagamaannya di bumi Syariat Islam. Kaum minoritas ini sangat merasakan toleransi umat beragama di Aceh.
Jumat (6/4) pagi menjelang siang, sebuah rumah ibadah umat hindu, Kuil Palani Andewar, di Gampong Keudah, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, tampak lebih ramai dari hari-hari biasa.
Rada Khrisna, pengelola kuil, tengah mempersiapkan persembahan untuk Dewi Murugan. Ia duduk merapikan persembahan yang ditempatkannya dalam talam-talam. Rada menyiapkan kurma, kismis, dan rempah-rempah sebagai persembahan.
Semua persembahan itu diletakkan di depan Homokundom. Sebuah tempat berbentuk persegi yang di dalamnya diisi dengan tanah dan kunyit yang kemudian menjadi tempat untuk perapian saat proses pemujaan.
Rada tidak sendiri. Beberapa umat hindu lainnya membantu proses persiapan pemujaan. Pada Minggu (8/4), etnis Thamil di Aceh ini akan mengadakan upacara Thaipusam. Sebelum melakukan upacara, mereka terlebih dahulu melakukan sembahyang.
Persiapan pemujaan selesai sekira pukul 12.40 WIB. Suara Azan terdengar dari Mesjid Tgk Dianjong yang juga berada tidak jauh dari kuil. Rada dan umat hindu lainnya berhenti dan balik ke rumahnya yang berada tepat di seberang jalan kuil.
Di rumahnya, puluhan umat hindu sudah berkumpul untuk memeriahkan upacara Thaipusam. Sebagian penganut hindu itu datang dari Medan. Kepada Pikiran Merdeka, Rada berkata saat ini hanya ada 15 penganut hindu yang berada di Aceh. “Kebanyakan dari mereka sudah meninggal karena musibah tsunami tahun 2004 lalu,” ujarnya.
Untuk merayakan upacara besar tersebut, Rada selaku pemuka agama hindu di Aceh mengaku harus mengundang umat-umat hindu yang berada di daerah lain. “Komunitas kita sudah sedikit sekali. Kita mengundang saudara-saudara kita yang lain untuk memeriahkan acara ini,” kata Rada yang juga umat hindu asli Aceh.
Sembari menunggu umat muslim selesai melaksanakan ibadah salat Jumat, Rada dan rekan-rekannya berbicang-bicang sambil bersenda gurau. “Ini dia orang yang akan disembelih esok hari,” kata Rada bercanda.
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Rada dan rekan-rekannya kembali ke kuil. Di sana sudah ada Tiruna, seorang pendeta di kuil tersebut. Dibalut kaus kuning dan selembar kain oranye yang diikatkan di pinggangnya, Rada duduk bersila melakukan ibadah. Pendeta kemudian membacakan puja-puji pada dewi.
Bibir Tiruna terus bergerak, tak henti puja-puji meluncur deras dari bibirnya. Di tengannnya ada sebuah talam kecil yang di atasnya terdapat sumbu api. Tiruna terus memutar-mutar talam tersebut. Seketika talam kecil berisi sumbu api disodorkannya ke Rada. Dengan mata tertutup, Rada mengusapkan tangannya ke sumbu api, kemudian kedua telapak tangan dikatupkan ke depan muka.
Seluruh jemari menghadap ke langit-langit. Kecuali kedua jempol yang menunjuk ke arah hidung.
Sedikit berada di luar kuil. Rada, Tiruna, dan Silla kembali duduk bersila di depan Homokundom. Bara api yang lebih besar telah mereka persiapkan. Sementara umat hindu lainnya berdiri di sekeliling mereka.
Tidak hanya umat hindu, ritual tersebut juga disaksikan umat Islam yang tinggal tidak jauh dari kuil. Mereka berbondong-bondong ke kuil untuk menyaksikan ritual umat hindu. Tanpa mengganggu, sejumlah muslim pribumi memperhatikan ritual umat hindu dan berdiri di samping tembok kuil.
Suasana toleransi jelas terlihat. Umat hindu pun terus melakukan ibadahnya tanpa meraa terganggu dengan kehadiran umat Islam.
Tiruna terus mengucapkan puja-puji. Di tangannya ada sendok panjang yang digunakan untuk mengambil mentega yang kemudian dituangkan sedikit demi sedikit ke bara api. Tiruna yang tadinya duduk kemudian berdiri untuk berpindah posisi.
Ia menghadap patung dewi dan bara api yang membelah buah labu menjadi empat bagian. Empat bagian labu tersebut kemudian ditaburi sindur, serbuk merah yang khusus digunakan umat hindu saat pemujaan.
Seorang umat hindu kemudian menarik daun kelapa yang sudah kering untuk diberikan kepada Tiruna. Ia membakarnya dan kemudian mengitari api itu pada sekeliling kuil. Menurut mereka, hal itu dilakukan untuk menjaga kuil dari pengaruh jahat.
Ritual itu dilakukan tepat sebelum upacara penaikan bendera. Rada menjelaskan, sebelum Thaipusam berlangsung, etnis Thamil terlebih dahulu melakukan beberapa ritual. Diawali penaikkan bendera, pertanda mereka sudah tidak bisa kemana-mana lagi. Pada malam selanjutnya mereka akan membawa patung Dewi Murga untuk diarak berkeliling kampung.
“Dewi akan diarak keliling kampung untuk melihat dunia luar dan memberikan berkah kepada umat hindu lainnya yang akan melakukan upacara Thaipusam,” jelasnya.
Thaipusam sendiri merupakan festival yang dirayakan orang Tamil pada bulan purnama pertama di bulan Thai dalam kalender Tamil. “Thaipusam ini bisa disebut seperti Maulid. Kalau orang Islam merayakan Maulid selama berbulan-bulan, kami juga ada perayaan Thaipusam yang boleh dirayakan kapan saja asal masih di bulan Thai itu,” tuturnya.
Hari Thaipusam juga disebut sebagian umat Tamil sebagai hari membayar nazar. Pada perayaan Thaipusam seluruh umat Tamil yang sudah berniat, tubuhnya akan ditusuk dengan besi-besi tajam.
Para perempuan akan membawa susu putih yang dimasukkan dalam belanga, untuk selanjutnya diletakkan di atas kepala mereka.
Sebelum perayaan tersebut, banyak pantangan harus dilakukan umat hindu. Seperti berpuasa, memakan makanan vegetarian, tidak berkunjung ke kuburan, tidak keluar rumah, dan bagi laki-laki yang sudah berniat tidak dibolehkan menyentuh perempuan dan lain sebagainya.
“Supaya tidak terjadi apa-apa pada saat ditusuk besi itu, jiwa mereka memang harus betul-betul bersih,” kata Rada.
Hendra, salah satu pria Tamil, pada perayaan Thaipusam tersebut tubuhnya akan ditusuk dengan besi-besi runcing. Ia mengaku tidak pernah merasa kesakitan saat melakukan ritual itu. “Sudah dua kali saya melakukannya,” kata Hendra.
Sebelumnya, Hendra juga telah berpuasa selama empat hari. “Semua tergantung niat. Ada yang lain berpuasa selama satu minggu bahkan satu bulan. Tapi saya melakukannya empat hari saja,” kata Hendra.
Perayaan Thaipusam di Aceh sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Rada Khrisna mengaku tidak ada yang keberatan terhadap perayaan yang mereka lakukan. “Masyarakat Aceh sangat toleran. Bahkan mereka juga ikut melihat perayaan yang kami lakukan.”
Saat ini, hanya Thaipusam saja yang dirayakan oleh umat hindu di Aceh. Upacara-upacara adat lainya sudah ditiggalkan sebab minimnya umat hindu yang tinggal di Aceh.
“Kita sedikit kali orang, jadi hanya perayaan-perayaan besar saja yang kita lakukan. Dulu, sebelum tsunami pernah ada perayaan yang hampir serupa dengan As-Syuraa kalau umat Islam bilang. Kami masak bubur lalu bagikan ke tetangga-tetangga, kemudian tetangga memberikan sedekah ala kadarnya. Tapi sekarang itu tidak dilakukan lagi,” tutur Rada.()
Belum ada komentar