Pengusutan kasus korupsi Kemenag Aceh di Kejari Banda Aceh mulai memperlihatkan progress. Penyidik mengincar aktor intelektual sebagai tersangka baru
Daud Pakeh buru-buru meninggalkan gedung Kejari Banda Aceh pada Senin siang, pekan lalu. Pakeh menolak bicara panjang lebar kepada wartawan yang sudah menunggu selama hampir empat jam. Kepala Kanwil Kementerian Agama (Kankemenag) Wilayah Aceh ini diperiksa dalam kapasitasnya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek yang sedang ditangani Kejari Banda Aceh.
“Sebagai warga negara, maka saya memenuhi panggilan jaksa. Selebihnya tanyakan saja kepada jaksa,” jawab Pakeh singkat. Ia nyelonong begitu saja dan masuk ke mobil dinasnya.
Daud Pakeh tiba di Kejari sekira pukul 10.00 WIB. Ia diperiksa sekitar 4 jam oleh penyidik kejaksaan. Pemanggilan tersebut merupakan kali ketiga untuk Pakeh. Pada dua panggilan sebelumnya, Daud Pakeh mangkir. Pemanggilan pertama Pakeh tidak hadir dengan alasan ada kegiatan di luar kota. Saat itu, ia membalas dengan surat resmi dari Kankemenag Aceh. Begitupun panggilan kedua, Daud Pakeh kembali beralasan tak bisa memenuhi panggilan itu karena sakit. Ia turut melampirkan surat keterangan dokter sebagai penguat alibinya.
Namun, jaksa menduga Pakeh berbohong saat menolak menghadiri panggilang kedua. Pada saat itu, Pakeh sempat mengakui sedang sakit, namun ia diketahui sedang melepas kloter dua jamaah haji. “Jika dia tidak datang pada saat panggilan ketiga, akan kami jemput paksa. Pak Kajari sudah ngomong begitu tadi,” tutur Kepala Kajari Banda Aceh Husni Thamrin melalui Kasi Pidsus Muhammad Zulfan.
Pakeh dicerca penyidik menyangkut kapasitasnya sebagai KPA dalam sejumlah proyek di Kemenag Aceh. Ia juga ditanyakan apakah diberitahukan bawahannya terkait pergantian personil sebelum menandatangani surat perintah membayar (SPM) dan menerima pekerjaan tersebut. Namun, kepada penyidik Pakeh mengaku lupa dan tak tahu karena tak pernah diberitahukan oleh bawahannya. Begitupun, banyak pertanyaan yang tak bisa dijelaskan Pakeh dengan alasan lupa. “Biasalah, orang jika diperiksa mengaku lupa karena sudah lama,” kata Zulfan.
Dalam proses penyidikan, penyidik menemukan beberapa kegiatan fiktif yang dilakukan oleh PT Supernova seperti sondir tanah. Meski tidak dikerjakan, pekerjaan ini tertera di kontrak dan tetap dicairkan. Untuk berjaga-jaga agar tidak menjadi maslah di kemudian hari, Direktur PT Supernova Hendra Saputra dan Yuliardi (keduanya tersangka) membuat surat pernyataan bahwa dalam pekerjaan sondir tidak pernah dilakukan dalam tahapan proyek ini.
Yuliardi dan Hendra Saputra sempat berkelit soal tidak dilakukannya proses sondir. Bahkan belakangan, PT Supernova sempat mengupayakan keluarnya hasil pekerjaan sondir tanah dari laboratorium Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala dan Universitas Muhammadiyah. Namun, karena proses pemeriksaan tengah berlangsung, pihak dari kedua kampus tersebut tak berani lagi mengeluarkan dokumen yang diminta oleh PT Supernova.
“Jika surat manipulasi itu dikeluarkan oleh Lab Teknik Unsyiah, mereka juga bisa ikut kita jerat karena ikut berkonspirasi,” sebut seorang penyidik, kala itu.
Di sisi lain, pihak dari Fakultas Teknik Unmuha membantah telah mengeluarkan dokumen terkait sondir tanah di laboratorium mereka. Alasannya, sejak awal tak pernah dikerjakan mereka.
“Permintaan itu memang ada, namun kami tak bisa mengeluarkan apa yang diminta mereka. Dan kami sudah sempat sampaikan ke jaksa,” aku salah seorang staf di Fakultas Teknik Unmuha yang menolak namanya disebutkan.
Atas dasar surat tersebut, penyidik akhirnya menetapkan keduanya sebagai tersangka. Bahkan, kata Zulfan, jika saja lebih dari dua orang yang ikut menandatangani surat tersebut, maka,dipastikan juga langsung ditetapkan sebagai tersangka. “Meski nilainya kecil, ini menjadi pintu masuk kami untuk membongkar peerbuatan jahat yang mereka lakukan,” jelas Zulfan.
Ia menegaskan, bukan hanya itu saja pekerjaan fiktif yang dilakukan dalam kasus tersebut. Zulfan menuturkan, ada pekerjaan fiktif yang juga dilakukan rekanan yang tersistematis.
SKA BODONG
Berdasarkan penelusuran Pikiran Merdeka, salah satu pekerjaan fiktif yang tengah didalami penyidik adalah adanya kecurangan yang dilakukan PT Supernova dalam pelaksanaan proyek, yakni pengerjaan proyek tersebut bukan dilaksanakan oleh ahli yang memiliki Surat Keterangan Ahli (SKA) seperti yang mereka daftarkan dalam dokumen penawaran. Padahal, dalam proses kualifikasi lelang, hal tersebut disyaratkan dan wajib dipenuhi. Kebutuhan para ahli memang dipenuhi dan tertera dalam dokumen lelang, namun dalam pelaksanaannya pekerjaan itu tidak dikerjakan oleh ahli.
Pekerjaan itu diduga hanya dikerjakan tenaga biasa yang tidak mempunyai sertifikat ahli.
Tujuannya, honor sebagaimana tertera di kontrak kerja tak perlu diberikan kepada tenaga ahli. Hal inilah yang dinilai penyidik terjadinya kerugian negara akibat adanya manipulasi yang dilakukan rekanan.
Zulfan membenarkan hal tersebut. Kata dia, hal inilah yang kini didalami penyidik terkait adanya manipulasi tenaga personil yang mengantongi SKA. Bahkan, sejumlah ahli yang diperiksa oleh jaksa mengaku tak pernah bekerja dengan PT Supernova maupun Hendra Saputra.
Kepada penyidik, Hendra Saputra sudah mengakui bahwa pekerjaan itu tak seluruhnya dikerjakan oleh personil ahli sebagaimana dinyatakan dalam dokumen. Namun, ia berdalih, produk yang mereka kerjakan sudah sesuai spesifikasi kontrak dan bisa dipertanggungjawabkan. Soal itu, Zulfan menjelaskan, penyidik tak hanya melihat produk namun prosesnya, sejak pelelangan hingga selesai pengerjaan.
Diakui Zulfan, dalam pemeriksaan terhadap personil PT Supernova yang tertera dalam kontrak, hampir seluruhnya mengaku tak pernah bekerja dengan PT Supernova. Bahkan, di antaranya mengaku ada yang belum pernah bertugas di Banda Aceh. “Para tenaga ahli yang tersebar di Aceh, Medan, Jambi, Bandung dan Jakarta ini sudah kami periksa. Mereka semua kooperatif. Ada yang datang ke Banda Aceh, dan ada pula yang kami periksa di luar kota karena mereka tak bisa meninggalkan tugas,” jelasnya.
Dari pemeriksaan saksi, ada yang mengaku pernah bekerja dengan PT SJM, namun tidak dalam pekerjaan ini. Selain itu, ada pula yang mengaku tahu namanya dimasukkan sebagai personil dalam pekerjaan tersebut namun dengan perjanjiaan tak dilibatkan. Mereka hanya menerima upah atas SKA-nya yang dipinjamkan. Ada pula yang mengatakan tak pernah menyerahkan SKA mereka untuk PT Supernova dan mereka heran mengapa SKA mereka bisa di tangan PT Supernova. Parahnya, ada yang mengaku tak pernah membuat SKA seperti yang dimiliki oleh PT Supernova.
“Yang lebih gawat lagi, ada yang mengaku tak pernah mengantongi SKA dimaksud. Ia bingung siapa yang membuat SKA di LPJK hingga bisa kemudian di tangan PT Supernova,” bebernya.
Bahkan, kata Zulfan, ada orang yang tertera sebagai personil dalam pekerjaan ini bersatus karyawan di salah satu BUMN yang bergerak di bidang konstruksi. Tentunya, SKA yang dia miliki saat ini dipegang oleh perusahaan dan tak pernah diserahkan kepada PT Supernova.
Untuk itu, sambung Zulfan, penyidik telah memanggil Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP) Aceh sebagai saksi ahli dalam kasus ini pada 19 April lalu. Namun, di luar dugaan penyidik, LPJKP Aceh menolak hadir. Mereka menjawab surat jaksa dengan surat yang ditandatangani langsung oleh Ketua LPJKP Aceh, Ir Tripoli pada 8 Mei lalu.
Dalam surat itu, Tripoli menjelaskan dirinya sengaja mengutus Manajer Ekeskutif LPJKP Aceh pada Jumat, 5 Mei lalu untuk menghadap Kasi Pidsus untuk mengetahui soal saksi yang dimaksud. Menurut Tripoli, setelah berdiskusi dengan staf maupun koleganya, LKPJKP Aceh belum bersedia memenuhi permintaan jaksa untuk memberikan keterangan sebagai saksi ahli yang dibutuhkan penyidik.
Jawaban Tripoli membuat jaksa kecewa. Menurut Zulfan, pihaknya mempertanyakan menagapa sebagai pihak yang bertanggung jawab mengeluarkan SKA, LPJKP Aceh malah menolak memberikan keterangan. Padahal, keterangan ahli dari mereka disebut Zulfan sangat dibutuhkan dalam mengungkap adanya praktik jual-beli SKA maupun proses pembuatan SKA fiktif. Ia juga menduga ada pengaruh kuat dari seseorang yang mengintervensi LKPJKP Aceh sehingga tak bersedia menjadi saksi ahli.
“Kita sudah koordinasi dengan LPJK Pusat dan mereka kecewa dengan LPJKP Aceh,” jelas Zulfan.
Penyidik mensinyalir banyak kasus serupa, termasuk ijazah para lulusan teknik di Aceh yang dibuatkan SKA ke LPJK. Sehingga, banyak SKA para ahli yang kini diduga tersebar dalam pengerjaan proyek di Aceh. “Kita menduga, ini kerjaan orang yang punya akses ke kampus dan punya relasi kuat di asosiasi,” tambah Zulfan.
Terkait persoalan itu, Ketua LPJKP Aceh Tripoli tak berhasil dikonfirmasi Pikiran Merdeka. Ia menolak untuk berkomentar banyak. “Besok saja dikonfirmasi, saya sedang di masjid,” jawabnya, Sabtu pekan lalu.
TEMUAN BPK
Sebelumnya, penyidik juga sudah menetapkan dua tersangka dalam dugaan korupsi proyek desain kantor Kementrian Agama Provinsi Aceh tahun 2015. Penyidik menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Yuliardi dan Direktur PT Supernova Jaya Mandiri Hendra Saputra sebagai tersangka dalam proyek sebesar Rp1.167.319.000 itu.
Keduanya sudah diperiksa sebagai tersangka pada awal Mei lalu. Pemeriksaan tersebut berlangsung selama selama tujuh jam, mulai pukul 15.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Saat menjalani pemeriksaan, baik Hendra maupun Yuliardi, ikut didampingi kuasa hukum masing-masing. Hendra, Dirut PT SJM ini menyewa tiga pengacara dari Jakarta, sementara Yuliardi didampingi pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan.
“Sampai saat ini masih dua (tersangka), tapi kami sedang melakukan pengembangan. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, tidak tertutup kemungkinan ada penambahan tersangka lain,” ujar Kasi Pidsus Muhammad Zulfan, Kamis tiga pekan lalu, di ruang kerjanya.
Sebelumnya, pada Selasa, 18 April lalu, tujuh penyidik dari Kejari Banda Aceh menggeledah kantor Kanwil Kemenag Aceh. Tim yang dipimpin Kasi Pidsus Muhammad Zulfan didampingi Kasi Intel Himawan dan lima penyidik langsung masuk ke ruangan Kakanwil Kemenag Aceh Daud Pakeh. Saat digeledah, Daud Pakeh tidak berada di tempat.
Penggeledahan kemudian dilanjutkan ke ruangan Unit Layanan Pengadaan (ULP) hingga pukul 11.30 WIB. Dari ruang itu, penyidik menyita sejumlah dokumen menyangkut perencanaan pembangunan Kantor Kemenag Aceh pada 2015. Proyek desain gedung itu dikerjakan PT Supernova dengan nilai kontrak Rp1.167.319.000.
Aroma korupsi ini tercium oleh penyidik berawal dari temuan BPK RI tahun 2016, yaitu perencanaan Kantor Kanwil Kemenag Aceh senilai Rp1,1 miliar lebih Tahun Anggaran 2015. Proyek perencanaan pembangunan tersebut tidak diyakini kewajarannya.
Temuan BPK itu diketahui dari surat Sekretaris Jendral (Sekjen) Kementrian Agama Nomor R-5790/SJ/B.IV.4/PS.00/08/2016 yang memerintahkan Kepala Kanwil Kemenag Aceh untuk menindaklanjuti temuan BPK RI No 24B/LHP/XVIII/2016 tanggal 16 Mei 2016.
Surat tersebut seakan memperkuat surat BPK bertanggal 22 Februari 2016, yang menyimpulkan ada tujuh poin ketidakpatuhan intern terhadap peraturan perundang-undangan di Kemenag Aceh. Dari tujuh poin tersebut, salah satunya biaya personil pekerjaan Perencanaan Pembangunan Kantor Kanwil Kemenag Aceh Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp739.699.900 tidak dapat diyakini kewajarannya.
Dua surat tersebut mengindikasikan ada yang tidak beres terkait pekerjaan perencanaan Kantor Kanwil Kemenag Aceh yang dilaksankan PT Supernova Jaya Mandiri pada 2015.
Berdasarkan penelusuran Pikiran Merdeka, dalam kasus itu, kuat dugaan sejak proses pengusulan anggaran hingga tender adanya kongkalikong pejabat tekait dengan rekanan pemenang lelang.
Indikasi itu juga tercium sejak munculnya proyek tersebut dalam DIPA 2015. Anggaran pengadaan konsultansi perencanaan sebelumnya tidak masuk DIPA 2015, namun kemudian disisipkan melalui revisi DIPA 2015 yang dilakukan pada akhir tahun. Hal ini menyiasati edaran Menteri Keuangan Nomor S-841/MK.02/2014 tanggal 16 Desember 2014 yang melarang adanya pembangunan gedung negara untuk tahun 2015.
Lalu adanya dugaan pengaturan jadwal pelelangan yang dikondisikan sesingkat mungkin dan tanpa mengikuti ketentuan serta tahapan yang tercantum dalam Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa. Seperti penyimpangan terhadap masa tayang jadwal pengumuman lelang, jadwal pengumuman lelang mulai tanggal 17 November 2015 pukul 22.45 WIB sampai dengan 20 November 2015 pukul 23.59 WIB atau total durasi waktu 3 hari 2 jam.
Dalam laman laman LPSE kemenag.go.id, pengumuman prakualifikasi perencanaan gedung Kemenag Aceh pada 17 November 2015, penetapan pemenang 2 Desember, serta penandatanganan kontrak pada 4 Desember 2015.
Selanjutnya, masa penayangan pengumuman lelang untuk seleksi umum yang telah dilakukan pada paket tersebut, juga tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah beserta dengan perubahannya dan Perka LKPP No.1 Tahun 2015 tentang e-Tendering.
“Lelang dibuka di akhir tahun untuk membendung perusahaan lain agar tidak bisa ikut. Tidak wajar sebuah perencanaan yang nilainya di atas Rp1 miliar bisa dikerjakan tidak sampai sebulan,” kata seorang sumber yang minta namanya dirahasiakan.
Selain itu, masa kerja yang singkat dari selesai pelelangan sampai dengan pencairan anggaran hanya 14 hari kerja juga dinilai janggal untuk pekerjaan senilai Rp1,1 miliar. Selanjutnya, dalam pelaksanaannya diduga banyak kegiatan fiktif yang dilakukan rekanan.
Sementara pencairan dana tidak dilakukan bertahap, melainkan dilakukan 100 persen. Hal itu terlihat dalam laporan dana monitoring SP2D-Bank KPPN Banda Aceh yang diperoleh Pikiran Merdeka. Pembayaran lunas pekerjaan perencanaan ke PT Supernova Jaya Mandiri dilakukan pada 29 Desember 2015 dengan nomor SP2D 150011301042691 dan nomor invoice 00449T/298362/2015. Transfer tersebut dari Bank BRI ke rekening perusahaan di Bank Bukopin.
Indikasi adanya campur tangan orang kuat di internal Kemenag Aceh pun sulit dibantahkan. Kalau tidak, mustahil proses pelelangan jasa konsultan perencanaan itu bisa dilakukan pada akhir tahun.[]
Belum ada komentar