Warga sekitar perusahaan kembali menagih komitmen PT Medco E&P Malaka Blok A dan Pemerintah Aceh Timur. Kali ini, suara itu disampaikan dalam Aksi Damai 1705.
Persoalan antara masyarakat dengan PT Medco E&P Malaka Blok A nampaknya belum akan selesai. Rabu pekan lalu, seratusan warga mewakili desa di sekitar perusahaan milik Arifin Panigoro itu kembali berdemo. Kali ini, sasarannya kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPRK) dan Kantor Bupati Aceh Timur.
Aksi masyarakat lingkar tambang tersebut bertajuk ‘Aksi Damai 1705’. Datang dengan menggunakan sepeda motor, mereka membawa spanduk yang berisikan sejumlah tuntutan. Utamanya, mereka menuntut pemerintah setempat mengkaji ulang perjanjian dengan perusahaan migas tersebut.
Massa yang sudah berkumpul di Mesjid Agung Darussalihin Gampoeng Jawa, Kecamatan Idi Rayeuk sejak pukul 10.30 WIB, baru bergerak ke kantor DPRK Aceh Timur pukul 10.55 WIB. Tak sampai 30 menit berorasi di sana, massa kembali mendatangi kantor bupati.
“Haruskah kami bekerja ke negeri jiran Malaysia, sementara lapangan kerja terbentang lebar di sini. Jangan jadikan kami hanya penonton, kami butuh makan,” teriak koordinator Aksi Damai 1705, Hasbi Abubakar.
Lewat pengeras suara, ia terus menyuarakan tuntutan warga sekitar tambang. Di antaranya, meminta Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Aceh Timur lebih mengutamakan tenaga kerja lokal untuk direkrut perusahaan migas tersebut.
Di kantor bupati, massa merasa kecewa karena Bupati Hasballah M Thayib sedang di luar daerah. Mereka hanya diterima Asisten Pemerintahan Setdakab Aceh Timur Zahri MAP, didampingi Kepala Disnaker Mansur dan Kepala Kesbangpol Linmas M Amin. Pertemuan itu ikut disaksikan Kapolres Aceh Timur AKBP Rudi Rudi Purwiyanto SIk.
Sederet tuntutan disampaikan perwakilan massa. Antara lain, meminta pemerintah membuat asosiasi tenaga kerja di Aceh Timur, meminta DPRK Aceh Timur segera membentuk tim pansus untuk menginventarisir kasus di CPP Blok A, mendesak Dinas Tenaga Kerja setempat harus segera membuka Balai Latihan Kerja (BLK) guna melatih putra-putri Aceh Timur menjadi tenaga terampil. Selain itu, masyarakat juga mendesak Pemerintah Aceh Timur meninjau ulang perjanjian kerjasama dengan Medco.
Hal lain yang diminta massa, adanya qanun yang mengatur perusahaan yang beroperasi di Aceh Timur wajib menggunakan plat nomor polisi di wilayah Aceh, yakni plat BL dengan seri D. Alasannya, agar agar pajak kendaraan tidak lari ke luar daerah.
Di bagian lain, pemerintah diminta memfasilitasi kontraktor lokal agar bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan Medco. Mereka meminta perusahaan tersebut bertanggungjawab atas pembuangan limbah ke kebun masyarakat.
Massa juga meminta perusahaan mencopot Akhyar, Public Affair Lead PT Medco E&P Malaka Blok A. Alasannya, Akhyar dinilai tidak menghargai budaya dan istiadat masyarakat lokal serta tidak menghargai DPRK Aceh Timur dan masyarakat lingkar tambang. “Medco dan perusahaan lain harus menghentikan sementara rekrutmen tenaga kerja sebelum asosiasi terbentuk,” pinta Hasbi.
Tuntutan lainnya, mereka meminta setiap tamu dan pekerja yang menginap di mes perusahaan diwajibkan melapor ke perangkat desa setempat. “Termasuk karyawan yang datang dari luar negeri,” sambungnya.
Terakhir, perwakilan massa meminta bupati dan DPRK Aceh Timur segera membentuk regulasi untuk menjembatani persoalan masyarakat sekitar tambang dengan pihak perusahaan.
Sejak dibukanya penerimaan tenaga kerja oleh PT Medco E&P Malaka Blok A pada Maret lalu, anak perusahaan Medco Energi milik Arifin Panigoro kini terus menuai kritikan. Syarat-syarat rekrutmen dinilai memberatkan tenaga kerja lokal.
Perekrutan yang diumumkan pada 29 Maret 2017 tersebut berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Aceh Timur. Posisi yang dibuka untuk operator dan teknisi. Rinciannya, mulai dari panel operator, process operator, utilities operator, mechanic, instrument technician dan electrician. Kualifikasi yang diminta usia maksimal 40 tahun dan memiliki ijazah SMA/SMK/D3 jurusan IPA atau teknik.
Bukan itu saja yang memberatkan, Medco meminta pelamar berpendidikan diploma tiga memiliki pengalaman kerja minimal lima tahun sebagai operator atau teknisi di industri migas atau petrokimia. Sedangkan untuk lulusan SMA sederajat harus berpengalaman delapan tahun. Khusus panel operator, disyaratkan berpengalaman minimal tiga tahun di bidang industri yang sama. Syarat lainnya, tidak takut bekerja di ketinggian, bersedia bekerja malam dengan pola shift dan bersedia ditempatkan di Aceh Timur.
“Kami meminta kepada Bupati Aceh Timur segera menyelesaikan permasalahan antara PT Medco E&P Malaka dan masyarakat lingkar tambang. Ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” timpal Hasbi lagi.
Massa berjanji akan terus memantau dan menagih penyelesaian yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh Timur. “Kami akan terus melakukan aksi jika permasalahan ini tidak ditindaklanjuti pemerintah,” ancam massa.
Di hadapan massa, Asisten Pemerintahan Setdakab Aceh Timur Zahri MAP berjanji akan menindaklanjuti seluruh tuntutan yang disampaikan masyarakat. “Kami meminta maaf, bupati tidak bisa merima langsung masyarakat dikarenakan sedang di luar daerah. Dalam minggu ini, kami akan berkoordinasi dengan Disnaker untuk menyelesaikan permasalahan ini,” tutur Zahri.
Hal senada disampaikan Mansur, Kadisnaker Aceh Timur. Ia mengaku telah mendata para tenaga kerja di PT Medco E&P Malaka. Mansur juga berjanji segera menyelesaikan permasalahan regulasi masyarakat dengan perusahan terkait rekrutmen pekerja lokal, demi mencegah konflik antara masyarakat dan perusahaan.
“Dalam perekrutan tenaga kerja, kita ikut melakukan seleksi di Disnaker Aceh Timur dan mengutamakan masyarakat lokal. Saya selaku Kadisnaker akan menampung semua tuntutan masyarakat dan segera kita selesaikan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh Timur,” pungkas Mansur.
BELUM PRODUKSI
Sementara Public Affair Lead PT Medco E&P Malaka, Akhyar irit bicara saat dikonfirmasi terkait Aksi Damai 1705. Ia mengaku tak mempersoalkan aksi masyarakat ekitar tambang tersebut. Namun ia membantah perusahaannya disebut tak menghargai adat istiadat setempat.
“Kami sangat mengapresiasi dan beterima kasih atas masukan dari berbagai pihak. Kami memastikan bahwa perusahaan selalu menjunjung tinggi budaya dan kearifan lokal yang ada di Kabupaten Aceh Timur,” kata Akhyar.
Manurut dia, saat ini perusahaan masih dalam tahap proses pembangunan fasilitas produksi, sehingga tak bisa merekrut terlalu banyak tenaga kerja lokal yang baru.
“Kami mengharapkan dukungan semua elemen masyarakat dan stakholders untuk bersinergi membangun iklim investasi yang kondusif, sehingga keberadaan proyek Blok A memberi manfaat sebesar-besarnya untuk Aceh Timur,” tutup Akhyar.
PT Medco E&P Malaka merupakan operator pengelola Blok A yang merupakan salah satu anak perusahaan PT Medco Energi Internasional Tbk, emiten minyak dan gas milik Arifin Panigoro. Blok A dikelola Medco Energi bersama mitranya A sejak awal 2007. Pada Januari 2015, dilakukan penandatanganan Jual Beli Gas (PJBG).
Blok A merupakan satu dari lima blok di Indonesia yang dipegang Medco. Informasi yang terpampang di situs resmi perusahaan, Medco juga menambang di Natuna (Riau), Lematang (Sumatera Selatan) dan Bengara di Timur Laut Kalimantan. Di luar negeri, Medco juga aktif menambang minyak dan gas di beberapa negara Timur Tengah seperti Tunisia, Libya, Oman dan Yaman. Di Libya, kontrak Medco habis pada 2038.
Sementara itu, sumber gas di Blok A Aceh Timur ditemukan pada 1972 oleh perusahaan migas asal Kanada yakni Asameras. Meski kandungan minyak bumi sudah diproduksi, pasokan gas belum terlaksana karena adanya hambatan infrastruktur dan komersial.
Saat dipegang Medco, fasilitas produksi lapangan gas Blok A dikerjakan oleh PT Medco E&P Malaka bersama dua mitra kerja, yaitu KrisEnergi dan JAPEX. Saat ground breaking fasilitas produksi gas Blok A pada Senin, 23 November 2015, Direktur Utama Medco Energi Internasional Lukman Mahfoedz berharap produksi gas dapat dimulai pada awal 2018 untuk memenuhi pasokan gas harian sebesar 63 BBTUD. “Gas tersebut akan dialirkan ke dalam sistem distribusi pipa Pertamina Arun-Belawan untuk mendukung kelangsungan industri dan kelistrikan bagi masyarakat Aceh dan Sumatra Utara,” paparnya.
Kontrak Medco di Blok A berakhir pada 2031. Sementara pemegang hak partipisasi di blok tersebut, PT Medco E&P Malaka 41,67 persen, Premier Oil Sumatra 41,67 persen, dan Japex 16,67 persen.[]
Belum ada komentar