Ketidaksesuaian kontrak dengan hasil pekerjaan ditemukan dalam proyek Landscape dan Infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman. Tidak tertutup kemungkinan mengarah ke indikasi korup yang merugikan keuangan negara.
Beberapa hasil pekerjaan proyek renovasi Masjid Raya Baiturrahman tidak sesuai dokumen kontrak. Paling kentara terlihat pada pengadaan payung elektrik yang kini terpasang di pelataran masjid kebanggaan masyarakat Aceh tersebut.
Kalangan aktivis antikorupsi dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) menyebutkan, saat isi kontrak sebuah proyek pembangunan berbeda dengan hasil pekerjaan di lapangan, maka patut dicurigai ada indikasi penyimpangan anggaran yang digunakan. “Jika ukuran payung ternyata semua sama, maka jelas itu berbeda dengan isi kontrak. Perlu audit tertentu untuk mengklasifikasikannya,” ujar Koordinator Badan Pekerja MaTA, Alfian, Sabtu (10/6) lalu.
Audit ini dimaksud untuk meyakinkan pembangunan tidak terindikasi korupsi. Karena itu, sebut Alfian, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu hadir dan memastikan apa yang terjadi terhadap pemugaran Masjid Raya. “Lagipula, penjelasan dari pihak yang berwenang beberapa waktu lalu, sangat tidak bisa diterima akal sehat,” tambahnya.
Dalam kontrak dijelaskan, enam unit payung elektrik dengan bentangan 24×24 meter persegi menelan total anggaran sebesar Rp64 miliar. Sedangkan enam unit lagi dengan bentangan 15×15 meter persegi yang menelan biaya Rp53,4 miliar. Jika ada perubahan, maka diperoleh angka yang signifikan berbeda dari angka pada kontrak. “Maka kita perlu transparansi dan akuntabilitas untuk memperjelas kondisi ini,” kata Alfian.
Alfian juga mendesak kalangan DPRA untuk bersungguh-sungguh mengawasi pembangunan MRB. DPRA, lanjutunya, juga ikut berperan dalam menyetujui pembangunan dan anggaran untuk pemugaran Masjid Raya. “Cara yang bisa ditempuh beragam. Mereka bisa meminta secara resmi kepada BPK untuk audit. Selain itu, juga bisa lewat Pansus, atau juga bisa minta KPK untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggaran yang digunakan,” beber Alfian.
Di sisi lain, ia menyadari adanya tekanan segelintir pihak agar proyek MRB tidak dibesar-besarkan. Umumnya beralih bahwa kritikan pada pembangunan tempat ibadah adalah hal yang sensitif bagi masyarakat Aceh.
“Kalau logika seperti itu yang ditanamkan, justru menyesatkan. Karena, masjid justru harus jauh dari tangan jahil. Dalam catatan MaTA, anggaran pembangunan masjid di Aceh menjadi wilayah rawan korupsi oleh pengelola. Saat ini, ada dua kasus yang tahapnya sudah ke pengadilan Tipikor,” katanya.
Karena itu, Alfian menekankan, perlu transparansi dan akuntabilitas dalam pembangunan rumah ibadah. “Karena Islam sama sekali tidak toleran dengan korupsi,” tandas Alfian.
Tentunya butuh keberanian banyak pihak untuk mengendus kemungkinan adanya indikasi korupsi dalam proyek yang menguras anggran daerah Rp458 miliar itu. Terlebih, proyek itu memang terkesan dipaksakan dengan tidak mengedepan skala prioritas dalam penggelontoran dana APBA.[]
Belum ada komentar