Menerka Peluang Memenangkan Gugatan

Menerka Peluang Memenangkan Gugatan
Menerka Peluang Memenangkan Gugatan

Uji materi UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi oleh Kautsar dan Tiong maupun DPRA tergantung pada penilaian hakim, apakah penggugat memiliki legal standing atau tidak?

Setelah sidang perdana digelar dengan mendengarkan penjelasan penggugat dan memeriksa bukti-bukti yang dilampirkan penggugat, majelis hakim menyarankan agar gugatan tersebut diperbaiki. Hakim , penghapusan dua pasal di UUPA tersebut tak memberi efek langsung dengan Kautsar maupun Tiong. Hal itu membuat legal standing keduanya tak cukup kuat dalam gugatan ini.

Ini pula yang membuat Kautsar gundah. Dua hari setelah sidang tersebut, Kautsar menghimbau anggota KIP Aceh dan kabupaten/kota ikut melayangkan gugatan ke MK. “Ini jika anggota KIP ingin dipilih kembali oleh DPRA/DPRK. Bila tidak, anda akan dipilih KPU,” tulis Kautsar di laman facebooknya.

Kautsar sadar betul bahwa peluang gugatan mereka diterima dan diakui punya legal standing oleh MK tergantung interpretasi hakim terkait keberadaan DPRA sebagai pembetuk UU dan pemangkasan kewenangan mereka dalam pemilihan anggota KIP dan Panwaslih.

“Hari ini kewenangan Aceh atas KIP Aceh digerus. Besok merambah ke BPMA, lusa ke partai lokal. Lusa raya entah apa lagi,” ujar Kautsar, gelisah.

Pakar Hukum Tata Negara, Dr Amrizal J Prang menilai, Pemerintah Pusat dan DPR RI telah melakukan pelanggaran hukum saat mengeluarkan UU Pemilu tanpa meminta pertimbangan dan konsultasi dengan DPRA. Hal ini seperti disebutkan dalam pasal 269 UU No 11 tentang Pemerintahan Aceh.

Meski begitu, ia menilai gugatan Tiong dan Kautsar berpeluang ditolak oleh MK. Pasalnya, keduanya tak memiliki legal standing yang cukup kuat. Hal ini didasari dalih tidak adanya pertimbangan DPRA sebagaimana ditulis di UUPA, adalah bersifat kelembagaan bukan perorangan. Sementara Kautsar dan Tiong menggugat ke MK atas nama pribadi, bukan membawa mandat institusi.

Karenanya, saat DPRA akhirnya ikut melakukan uji materil UU Pemilu, ia menaruh harapan besar gugatan tersebut diterima MK. “Besar peluang gugatan DPRA akan diterima oleh MK, karena mereka punya legal standing yang cukup kuat,” ujar Amrizal, Sabtu pekan lalu.

Menurutnya, saat menyidangkan gugatan DPRA, MK akan melihat sejarah terbentuknya UUPA di mana peran DPRA sangat kuat dalam melahirkan UUPA.

Dalam persidangan uji materil UU Pemilu nantinya, hakim MK memiliki intepretasi sendiri untuk menilai apakah gugatan Kautsar dan Tiong maupun gugatan susulan oleh DPRA akan diterima.

“Hakim akan menilai apakah pembatalan dua pasal UUPA di UU Pemilu bertetangan dengan UUD 1945 sebagaimana disebutkan di pasal 18B. yang berbunyi, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang,” sebut Amrizal.

Dalam perspektif perundang-undangan, tegas dia, UUPA setara dengan UU lainnya. Hanya saja, dia menilai ada kelemahan mendasar di UUPA, sehingga dengan mudah berbagai pasal di dalamnya dicabut dengan pemberlakuan UU terbaru. Kelemahan mendasar tersebut dikarenakan tidak secara jelas disebutkan apa saja kekhususan Aceh.

“Tak disebutkan secara detil kekhususan Aceh apa saja, sehingga hakim MK dalam keputusannya mempunya intepretasi sendiri dalam memutuskan apakah pasal-pasal yang digugat ke MK mencakup kekhususan Aceh atau tidak,” terang Amrizal.

“Saya melihat, pasal-pasal yang pernah digugat dan dikabulkan oleh MK, arena pasal tersebut tidak dianggap mencerminkan kekhususan Aceh,” sambung Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Malikussaleh (IKA-Unimal) ini.

Dalam catatannya, Amrizal mencontohkan, banyak pasal di UUPA dianulir. Misalnya, MK pada 2011 lalu membatalkan Pasal 256 UUPA yang mengatur soal calon independen hanya sekali dalam Pilkada Aceh. MK menilai pasal tersebut tidak terkait dengan kekhususan Aceh.

Hal yang sama juga terjadi pada 2016, MK mengambulkan gugatan mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UUPA.

MK menilai pasal 67 ayat (2) huruf g tersebut bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan juga tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Hasilnya, mantan narapidana diperbolehkan ikut Pilkada di Aceh.

Untuk mengantisipasi hal ini terulang, Amrizal menawarkan solusi kepada DPRA dan Pemerintah Aceh. Ia menyerukan agar dibentuknya Desk Otonomi Khusus Aceh. Menurutnya desk tersebut harus segera dibentuk. Dalam badan tersebut, nantinya terdiri dari berbagai unsur, yakni dari Pemerintah Aceh, DPRA, akademisi, LSM, dan unsur lainnya.

“Kerjanya adalah untuk mengawal dan melakukan lobi-lobi dengan pemerintah pusat. Intinya, butuh seluruh energi dan dukugan rakyat Aceh untuk mengawal keberadaan UUPA,” pungkas Amrizal.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Aminah di halaman rumahnya di Geuceu Menara, Banda Aceh. (Foto Oviyandi Emnur)
Aminah di halaman rumahnya di Geuceu Menara, Banda Aceh. (Foto Oviyandi Emnur)

Pendataan Tak Akurat, Bantuan Meleset

Bendera Partai Politik di Aceh (Foto Ist-google)
Bendera Partai Politik di Aceh (Foto Ist-google)

Mahar Tinggi Dukungan Parpol

1000626765
Penjabat Gubernur Aceh, Bustami, SE, M.Si., bersama Ketua Harian FASI, Marsda TNI Adi Wijaya S.Sos., disambut Sekda serta Forkopimda Bener Meriah saat mendarat di Badara Rembele dalam rangka meninjau Veneu Gantole untuk pertandingan PON XXI/2024 Aceh-Sumut, Kamis (27/6/2024). []

Pj Gubernur Aceh Tinjau Venue PON di Bener Meriah