Pengelolaan yayasan oleh istri gubernur dan wakil gubernur sudah mulai dipraktikkan sejak lama di Aceh. Sebelum santer dugaan penyimpangan bantuan dana dari Kemensos RI untuk Yayasan Tabina Aceh yang merupakan milik Marlina Usman, istri Wakil Gubernur Aceh nonaktif Muzakir Manaf, sudah ada yayasan milik Marlinda Puteh, istri Gubernur Aceh periode 2000-2004, Abdullah Puteh.
Dikutip dari aceh.tribun.com, istri kedua Abdullah Puteh itu membentuk badan hukum untuk Yayasan Peduli Anak Bangsa (YPAB) Nur Raudha pada 2001 yang berfokus pada perkembangan anak. Saat itu, lingkupnya berada di kampung halaman Abdullah Puteh di Idi Rayeuk, Aceh Timur.
Dana operasional yayasan itu, sebagaimana diberitakan Kontras di antaranya bersumber dari dana bantuan banjir yang diketuai Wakil Gubernur Aceh saat itu, Azwar Abu Bakar sebesar Rp220 juta, jasa industri sebesar Rp50 juta, dan badan pemberdayaan perempuan sekitar Rp50 juta.
Besarnya bantuan dana yang diterima ini dikritis keras oleh para aktivis NGO yang bekerja di akar rumput . Mereka menilai, kualitas pelayanan yayasan tak berbanding lurus dengan jumlah bantuan yang diterima.
Selain YPAB Nur Raudha, yayasan lainnya yaitu Yayasan Sambinoe milik Darwati A Gani, istri Gubernur Aceh periode 2007-2012, Irwandi Yusuf. Yayasan ini bergerak di bidang kesehatan untuk membantu pengobatan masyarakat kurang mampu.
Yayasan ini juga pernah melakukan kerja sama dengan Yayasan Mae Fah Luang dari Thailand. Dilansir Antara, tujuan kerja sama ini untuk membantu masyarakat setempat mengolah lahan yang ada di Maheng Lamcot, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar pada 6 Februari 2009 sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat.
Menyikapi persoalan itu, Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian menyebutkan, terkait bantuan dana yang diberikan kepada yayasan seperti ini seharusnya ada audit yang dipublikasikan kepada publik. “Harus diaudit karena itu dana negara. Kalau memang hasil auditnya terindikasi ada penyimpangan atau peluang fiktifnya banyak, itu harus diungkapkan. Hal itu jelas korupsi,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.
Ia menambahkan, terkait pemeriksaan atau audit seperti ini hanya bisa dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Alfian, beberapa kasus di Aceh yang menjadi fokus MaTA sudah masuk ke ranah korupsi politik. “KPK punya kemampuan untuk melakukan proses pengungkapan kasus korupsi politik itu,” kata Alfian.
Terkait dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola oleh berbagai yayasan di Aceh, ia mempertanyakan apakah sudah pernah diaudit atau tidak? Karena itu, peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga dinilai sangat penting dalam proses pengauditan ini. “Penting bagi BPK untuk menjelaskan ini. BPK juga tidak punya alasan untuk menutup-nutupi hasil audit yang dananya bersumber dari APBN di daerah,” tuturnya.
Karena itu, sambungnya, jika BPK menemukan indikasi korupsi, maka BPK juga memiliki kewenangan yang diatur undang-undang untuk melaporkan hal tersebut kepada aparat penegak hukum. “Paling lama 60 hari setelah dilakukan audit,” tambahnya.
Baca: Menguak Penyimpangan di Yayasan Istri Wagub
Jika memang mekanisme korupsi itu biasa, Alfian mengatakan hal itu bisa diungkapkan oleh Kejaksaan Tinggi atau Polda Aceh. “Tapi kalau ranah korupsinya sudah masuk ke wilayah korupsi politik, maka itu harus KPK yang turun,” tambahnya.
Ia menyebutkan pengertian korupsi politik itu terkait aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam partai politik. Yang kedua, ada indikasi kuat bahwa dana tersebut mengalir untuk kerja-kerja partai politik.
Terkait pertanggungjawaban bantuan dana yang diterima yayasan dari Kemensos RI, menurut Alfian laporannya harus disampaikan langsung kepada Kemensos itu sendiri. “Karena sumber dananya dari APBN, apalagi langsung melalui kelembagaan Kementerian Sosial.”
Bantuan dana dari Kemensos RI yang bersumber dari APBN untuk berbagai yayasan itu, menurut dia, peluang tindakan korupsinya sangat besar. “Kita juga perlu tahu apakah Kemensos ada evaluasi ataupun audit. Pasti mereka juga tahu, kan?” lanjutnya.
Terkait yayasan yang dibawahi oleh para istri pejabat, baik istri gubernur atau wakil gubernur, ia mengatakan di Indonesia memang banyak istri kepala daerah yang memiliki yayasan. Mereka mengusahakan dana-dana sosial bagi yayasan mereka itu dari kementerian. “Dengan adanya yayasan, apalagi dengan pengaruh dari kepala daerahnya, dana itu mudah untuk didapatkan. Dan itu biasanya dalam bentuk hibah dari kementerian. Tapi, walaupun hibah, pertanggungjawaban dana negara ya diwajibkan,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar