Kuatnya tarik ulur antara eksekutif dan legislatif, sejumlah pihak hampir memastikan pengesahan APBA 2018 akan terlambat. Padahal, sejak awal berbagai kalangan sudah mewanti-wanti agar ‘kutukan’ itu tidak terulang lagi.
Seperti pada November lalu, massa dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aceh menggelar aksi di gedung dewan. Dalam orasinya, mereka mendesak agar pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2018 dilaksanakan tepat waktu.
“Awal Agustus saja, eksekutif telah menyerahkan dokumen KUA PPAS ke DPRA. Tapi sampai sekarang (akhir November) belum dibahas. Kita khawatirkan pengesahan APBA akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, ini akan sangat memalukan,” kata koordinator aksi, Azmi, kala itu.
Seharusnya, menurut kalangan mahasiswa, DPRA sudah bisa mengesahkan APBA 2018 selambat-lambatnya pada bulan Desember 2017. “Tapi, dengan kondisi sekarang, pemerintah dan dewan terkesan mempertahankan citra buruk seperti tahun sebelumnya,” tegasnya.
Baca: Kutukan APBA Telat
Pimpinan Komisi IV DPRA, Asrizal H Asnawi mencium gelagat APBA 2018 bakal di-Pergub-kan. Ia mengamati, cara TAPA yang keburu menyerahkan dokumen RAPBA sebelum KUA PPAS disepakati, muncul kesan bahwa TAPA mengabaikan kerja-kerja Banggar. Ia sudah acap mengalami hal tersebut sejak beberapa tahun sebelumnya.
“Ada upaya paksa dari TAPA ini untuk merampas hak-hak DPRA di bidang penganggaran. Selama sekian tahun saya menjabat di DPRA, begini-begini saja kejadiannya. Kalau seperti ini TAPA-nya, mau sepuluh kali ganti gubernur, tetap akan bermasalah, malu kita sama rakyat,” kata dia.
Ia juga mengusulkan, jika pembahasan anggaran sudah dimulai, media massa bisa memantau langsung prosesnya. Pembahasan anggaran perlu terbuka untuk publik. “Kita sudah siapkan opsi itu supaya terbuka. Tidak ada yang harus ditutup-tutupi. Jadi, semua bisa tahu, masalahnya ada di siapa sebenarnya,” janjinya.
Koordinator Bidang Advokasi Anggaran dan Kebijakan Publik Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) Aceh, Hafidh kepada Pikiran Merdeka juga mengkhawatirkan hal yang sama. Keputusan untuk mempergubkan APBA 2018 akan terjadi jika tak ada kata sepakat di kedua pihak, baik eksekutif maupun legislatif.
“KUA PPAS ini harus ada kesepakatan dua pihak. Kalau dipergubkan itu artinya kan tidak ada kesepakatan itu. Secara aturan, ya tidak salah. Tapi kan sangat disayangkan karena dampaknya akan dirasakan semua pihak, pemangku kebijakan dan masyarakat,” ujarnya.
Baca: Menyoal Kinerja TAPA
Kejadian ini, aku Hafidh, persis sama dengan kasus tahun sebelumnya. Meski demikian, ia mengaku belum mengetahui secara utuh letak permasalahan sehingga pembahasan RAPBA tak kunjung tuntas.
“Yang jadi pertanyaan saya, kenapa tidak disepakati dulu KUA PPAS? Kalau memang TAPA ingin mempercepat, apa gunanya cepat kalau isinya ompong? Ini kan jelas fungsi dewan untuk mengawasi setiap rupiah anggaran tersebut, jadi tidak sembarang saja,” tukasnya.
Seharusnya, jika ingin cepat selesai, sambung Hafidh, pembahasannya sejak awal harus dipercepat. Bukan dengan melompati proses. “Ini kan (penyerahan RAPBA) prosesnya terlompati. Harusnya dibahas tanpa melewati proses yang ada. Semua orang perlu cepat dan tepat waktu, tetapi tidak juga dengan cara mengesampingkan prosedur.”
Ia memastikan, jika mengikuti tahapan yang ada, besar kemungkinan pengesahan APBA 2018 akan terlambat. Maka pilihan untuk mempergubkan bisa saja terjadi. Keterlambatan ini, tambah Hafid, tak lepas dari proses lobi-lobi menitipkan proyek, sebagai cela yang sulit dihilangkan di kalangan pejabat pemerintahan. “Praktik itu tak bisa kita pungkiri, seharusnya dihilangkan,” katanya.
Keterlambatan pengesahan APBA 2018 akan berimbas pada banyak hal. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sebagaiman pada pasal 36 memberi penjelasan tentang kepala daerah yang tidak mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada DPRD sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pada poin lainnya juga mengatur sanksi bagi kepala daerah dan anggota DPRD yang tidak menyetujui secara bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.
Sanksi dari keterlambatan tersebut, anggota dewan dan kepala daerah terancam tak menerima hak keuangan (gaji) selama enam bulan. Sanksi ini tidak dapat dijatuhkan kepada anggota DPRA apabila keterlambatan APBA disebabkan oleh gubernur terlambat menyampaikan RAPBA dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan
Sedangkan jika APBA dipergubkan, lanjut Hafidh, maka anggaran yang diterima Provinsi Aceh akan sama seperti APBA tahun lalu. Hal ini akan merugikan Aceh. Intinya, MaTA mendorong agar polemik pembahasan RAPBA bisa segera berakhir. “Soal isu transparan juga penting sekali. Harus dibuka ke publik, tidak tertutup seperti ini. DPRA kita minta untuk terbuka juga, masalahnya apa, sehingga terjadi tarik ulur seperti ini,” tambahnya.[]
Belum ada komentar