Menanti Tunjangan Transportasi Dewan

Menanti Tunjangan Transportasi Dewan
Menanti Tunjangan Transportasi Dewan

Seluruh anggota DPRA diwajibkan mengembalikan mobil dinas. Konsekuensinya, mereka akan menerima tunjangan transportasi dengan angka fantastis.

Jumat (10/11) pagi, belasan mobil berplat merah terparkir di sisi kanan pekarangan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Mobil yang hampir seluruhnya produk Toyota bermerk Kijang Inova itu kabarnya adalah kendaraan transportasi anggota dewan yang dikembalikan ke Sekretariat DPRA. Namun, jumlah mobil tersebut belum sebanding jumlah anggota DPRA yang seluruhnya 81 orang.

Pengembalian mobil transportasi memang sudah menjadi keharusan, sejak pemerintah pusat mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Di pasal 2, PP tersebut merincikan penghasilan pimpinan dan anggota DPRD. Adapun penghasilan yang pajaknya dibebankan kepada APBD meliputi uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, dan tunjangan alat kelengkapan. Sedangkan penghasilan yang pajaknya dibebankan kepada masing-masing pimpinan dan anggota dean itu sendiri adalah tunjangan komunikasi intensif dan tunjangan reses.

Dalam turunannya, pada 2 Oktober lalu DPRA sendiri telah mengesahkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2017 terkait hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRA. Selain tunjangan yang disebut tadi, ada juga tunjangan kesejahteraan seperti jaminan kesehatan, jaminan kematian, serta pakaian dinas dan atribut.

Kendaraan dinas jabatan juga masuk ke dalam tunjangan kesejahteraan ini. Bedanya, untuk jajaran pimpinan DPRA diberi tunjangan berupa kendaraan dinas, di samping rumah negara dan belanja rumah tangga. Sedangkan untuk anggota DPRA disediakan rumah negara dan tunjangan transportasi. Tunjangan ini, seperti dijelaskan di pasal 15 ayat (4), berbentuk uang yang akan dibayarkan setiap bulan.

Mengenai besarannya, Qanun Nomor 6 Tahun 2017 telah menetapkan tunjangan transportasi ini sesuai dengan yang berlaku untuk standar kendaraan dinas jabatan eselon I, tidak termasuk biaya perawatan dan operasional. Dengan adanya tunjangan transportasi, maka seluruh kendaraan yang selama ini digunakan anggota dewan wajib dikembalikan.

Di pasal 29 PP Nomor 18 Tahun 2017 ini ditegaskan, bahwa saat aturan tersebut berlaku, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD wajib disesuaikan dengan PP tersebut paling lambat tiga bulan setelah pengesahan.

Kepala Bagian Hukum DPRA, Suhaimi kepada Pikiran Merdeka menyatakan pihaknya telah menyerahkan qanun tersebut kepada Pemerintah Aceh, untuk segera diproses dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub). Namun, hingga saat ini, aturan tersebut tak kunjung terlaksana.

“Untuk melaksanakan aturan ini, harus ada Pergub dulu, agar disepakati berapa besaran tunjangan yang akan diterima anggota dewan. Saat kita (DPRA) selesaikan qanunnya, langsung kita usul ke gubernur, tapi belum mendapat balasan. Sebenarnya ini sudah termasuk telat, jika Pergub-nya belum dibahas,” kata Suhaimi.

Karena belum ada Pergub, sambungnya, bagian Keuangan DPRA pun belum berani membayar tunjangan kepada anggota dewan.
Beberapa provinsi lain, Suhaimi membandingkan, sudah terlebih dulu merealisasikan aturan tersebut. Namun, soal hitungan waktu pembayaran tunjangan itu, ia mengaku masih ada beragam persepsi.

“Ada provinsi yang membayarkannya sejak Perda ditetapkan. Ada beberapa pendapat yang mengatakan hal itu tidak dapat berlaku surut. Ada yang bilang boleh, ini juga belum jelas,” tambahnya.
Karena itu, sebelum Pemerintah Aceh mengeluarkan Pergub, gaji dan tunjangan dewan masih merujuk pada PP Nomor 24 Tahun 2004. “Agar qanun itu bisa dilaksanakan, Pemerintah Aceh harus menyusun dan menetapkan Pergub yang isinya mengatur beberapa poin,” ungkap Suhaimi.

Di antaranya, standar satuan harga pakaian dinas dan atribut. Selain itu, Pemerintah Aceh juga perlu menentukan besaran tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi. Poin lainnya, terkait besaran standar kehidupan minimal rumah tangga, kompensasi kelompok pakar atau tim ahli alat kelengkapan DPRA, dan kompensasi tenaga ahli fraksi.

Sementara mengenai keterlambatan pengesahan Pergub, sejauh ini pihak Pemerintah Aceh belum berhasil dimintai keterangan. Humas Pemerintah Aceh Mulyadi Nurdin yang dihubungi Pikiran Merdeka, pekan lalu, tak menjawab telepon. Demikian juga Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, Edrian. Pesan singkat dari Pikiran Merdeka tak juga dibalasnya.

Meski belum ada Pergub, sejumlah anggota dewan memang sejak beberapa hari terakhir sudah menyerahkan mobil transportasi mereka. Ketua Komisi VI DPRA Rudi Fatahul Hadi, misalnya, Jumat lalu kepada Pikiran Merdeka mengaku telah berkomunikasi dengan Kepala Bagian Umum DPRA. Hari itu juga ia berniat mengembalikan kendaraan dinasnya.

“Memang perintah PP ini harus dieksekusi segera. Kita harus patuh, saya hari ini akan menyerahkan mobil transportasi itu. Lagipula konsekuensinya diberikan tunjangan transportasi,” ujar Rudi.
Mobil transportasi, akunya, sudah barang tentu dibutuhkan bagi pimpinan dan anggota dewan untuk melaksanakan kerja-kerja politiknya. Namun, Rudi mengaku belum tahu berapa besaran biaya tunjangan yang akan ia terima.

Ia sendiri tak begitu jelas mengetahui soal tenggat waktu pengembalian mobil dinas itu. “Pastinya, sejak turunnya PP No.18 Tahun 2017, kami sudah diarahkan untuk mengembalikannya. Terlebih karena pada saat rapat Banggar hal itu sudah disampaikan, ya kita langsung laksanakan,” tambahnya.

Pengembalian mobil itu dikoordinasikan secara personal anggota dewan, tak lagi melalui komisi. Karena itu, Rudi belum memantau siapa saja anggotanya yang sudah mengembalikan mobil dinasnya.

Menurut dia, beberapa anggota yang belum mengembalikan kendaraan dinas bisa jadi karena sedang sibuk di luar daerah. “Tidak perlu ditanggapi negatif, semua anggota dewan akan mengembalikannya. Kita semua akan menaati aturan,” tutupnya.

KURAS ANGGARAN SEKTOR LAIN
Terkait kenaikan tunjangan dewan, sempat menimbulkan reaksi publik beberapa bulan lalu. Saat itu, sejumlah mahasiswa yang terkumpul dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh menggelar aksi penolakan. Mereka menganggap kenaikan tunjangan dewan sama sekali tak sebanding dengan kinerja mereka.

Saat itu, anggota DPRA menyatakan tunjangan sebesar Rp25 miliar sesuai yang diarahkan oleh pemerintah pusat. Namun, massa bersikeras hal tersebut tidak pantas diterima anggota dewan.
Bahkan, kabar terakhir, dari 15 usulan yang masuk ke dalam Program Legislasi Aceh (Prolega), baru enam qanun yang disahkan. Mengingat masa kerja tahunan yang tinggal dua bulan lagi, bisa dimaklumi jika publik meragukan kinerja anggota dewan.

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani mengatakan kemampuan untuk menetapkan angka besaran tunjangan ini disesuaikan dengan kemampuan daerah masing-masing. Namun, ia menganggap sejak awal aturan ini terlampau dipaksakan pemerintah pusat.

“Disesuaikan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh. Ini memang terkesan dipaksakan oleh pemerintah pusat. Yang ingin kita kritisi bukan dalam konteks uang itu boleh atau tidak diterima oleh dewan, PP sendiri sudah mengharuskan. Tapi pertanyaan kita, sadarkah pemerintah pusat, bahwa kemampuan sejumlah daerah tak terlalu kuat?” tuturnya, Sabtu pekan lalu.

Ia mencontohkan, di beberapa kabupaten dan kota di Aceh, kemampuan PAD-nya masih ada yang hanya berkisar pada Rp8-10 miliar saja. “Nah, kalau ini dipaksakan di tengah kemampuan yang rendah, ini kan kontradiksi sebenarnya. Di sisi lain, pemerintah pusat tidak pernah melakukan subsidi turunan berikutnya. Misalnya kalau PP itu diberlakukan, seharusnya pemerintah pusat juga punya formulasi tertentu untuk daerah mempercepat dan memperkuat kemampuan PAD-nya,” sebut Askhalani.

Ia menilai, pemerintah pusat sepertinya hanya mengeluarkan aturan itu dengan merujuk PAD DKI Jakarta. “DKI itu kan PAD-nya luar biasa, mau disamakan dengan Aceh, ini kan tidak sebanding. Kita makin yakin lahirnya PP ini tidak memandang rasio kemampuan daerah,” tambah Askhalani.

Kebijakan tersebut, lanjut dia, kesannya memaksakan satu reposisi bujet untuk kepentingan tertentu. Sedang pada sisi lain pemerintah pusat tak melihat dampak yang akan terjadi di daerah.
Ditambah lagi angka pegawai dan tenaga honorer yang jumlahnya kian meningkat, sementara kemampuan daerah di sektor riil semakin rendah. Berangkat dari kenyataan ini, sambung Askhal, mau tidak mau pemerintah harus menakar efektifitas dan efesiensi. Dampaknya bisa menggerus anggaran sektor lain.

“Mau tidak mau, kabupaten/kota iharus beranalogi penggunaan anggarannya menyesuaikan kemampuan daerah dengan memangkas kebijakan-kebijakan yang selama ini didapat. Contohnya, tenaga honor dan kontrak. Ini kan jumlahnya sangat tinggi. Akan ada pemotongan jumlah itu, lalu bisa jadi juga pengurangan pada bidang lain misalnya pembangunan infrastruktur,” papar Askhalani.

Kebijakan ini, menurut dia, berimbas cukup banyak pada kepentingan-kepentingan yang seharusnya mendapat prioritas dalam pembangunan.
Menyangkut pertimbangan pemerintah yang menaikkan pendapatan dewan untuk meminimalisir perilaku korupsi, secara tegas dibantah Askhalani. “Mana ada itu, tidak ada korelasi sama sekali. Korupsi itu kan perilaku personal, jadi kenapa harus diakomodir untuk kelembagaan,” ujarnya.

Khusus terkait pengembalian mobil dinas dewan, dirinya menganggap hal itu tak terlalu efektif. Memang, implementasi dari PP 18 tahun 2017 itu akan menghasilkan beberapa input baru, salah satunya tunjangan transportasi yang tinggi. “Jadi, aset daerah yang selama ini dikuasai harus dikembalikan. Itu dampak lain. Cuma tidak terlalu efektif, karena bisa saja mobil itu dipakai ulang untuk yang lain, tapi juga tidak akan menghasilkan input yang disebut efesiensi penganggaran,” katanya.

Terakhir Askhalani menilai, memang tidak mungkin ada formulasi untuk mencegah pengeluaran anggaran tanpa mengorbankan sektor lain. Karena, anggaran di daerah memang cukup rendah. “Ditambah lagi output dari kabupaten kota itu ditarik ke provinsi, yang tinggal hanya untuk kepentingan pelaksanaan saja. Dengan uang yang ditarik ke provinsi maka bakal ada problem baru di daerah, kemampuannya makin rendah,” tandasnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait