Irwandi-Nova diminta tak hanya berkutat pada program yang mengandalkan subsidi. Konsidi ekonomi Aceh mendesak untuk diperbaiki.
TAGAR #SalamJKA kini tak lagi sekadar slogan kampanye Irwandi Yusuf. Setelah terpilih sebagai Gubernur Aceh periode 2017-2022, Irwandi dituntut merealisasikan JKA tersebut.
Program JKA atau Jaminan Kesehatan Aceh itu sebelumnya menjadi gebrakan saat Irwandi menjadi Gubernur Aceh periode 2007-2012. Bersama wakilnya kala itu, Muhammad Nazar, JKA diklaim sebagai salah program yang sukses. Sebagai mekanisme pengobatan bagi masyarakat, terutama yang kurang mampu, JKA mudah diakses. Administrasinya juga tak berbelit-belit.
Tak ayal, di kampanye di Pilkada tahun ini, Irwandi Yusuf yang berpasangan dengan Nova Iriansyah, kembali menampilkan JKA sebagai program andalannya. “Orang ingat Irwandi, ingat JKA, biaya berobat jadi mudah dengan program tersebut,” ujar Fadil, warga Banda Aceh kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Seperti tertera dalam dokumen visi misi Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah yang diunggah di situs Komisi Independen Pemilihan Aceh, JKA menjadi salah satu dari 15 program unggulan. Namun, namanya kini menjadi JKA Plus, berada di urutan pertama dalam program Aceh Seujahtera. JKA yang merupakan singkatan dari Jaminan Kesejahteraan Aceh ini meliputi pemenuhan akses layanan kesehatan gratis yang lebih mudah, terintegrasi dan berkualitas bagi masyarakat. JKA Plus juga menyediakan santunan gratis bagi untuk lansia. Selain itu, ada juga pembangunan rumah sakit regional tanpa menggunakan utang luar negeri.
Ketua Tim Pemenangan Irwandi—Nova, Samsul Bahri menuturkan pembangunan rumah sakit regional merupakan bagian dari JKA Plus tersebut. “Rumah sakit regional agar pasien tidak membludak ke Zainal Abidin (RSUDZA). Di beberapa tempat mungkin akan dibangun yang baru. Atau juga rumah sakit yang ada di beberapa kabupaten kota dibenahi, ditambah fasilitasnya, dan ditingkatkan status sebagai rumah sakit regional,” ujar Samsul yang juga legislator DPR Aceh dari Partai Nasional Aceh ini.
Karena berkomitmen tak menggunakan utang luar negeri, kata Samsul, sumber dana mengacu pada APBA dan APBN. “Irwandi juga berharap ada orang luar yang siap membangun rumah sakit di Aceh, bukan utang tapi dalam bentuk investasi,” ungkapnya.
Namun, pengamat ekonomi Rustam Effendi menilai JKA tersebut hanyalah program subsidi. “Memang ini (JKA) luar biasa. Tapi agenda ekonomi produktif harus lebih dikedepankan. Irwandi harus pertajam misi ekonominya. Aceh punya masalah besar di situ,” ujar Rustam, Selasa pekan lalu.
Selain JKA, program lain yang bersifat subsidi adalah beasiswa. Ini masuk dalam program Aceh Carong. Tujuan dari program ini agar anak-anak Aceh mampu bersaing dan mengukir prestasi di tingkat regional dan nasional.
Selain JKA Plus, Irwandi-Nova juga mencetuskan Aceh Green. Program ini disebutkan sebagai penegas kembali pembangunan Aceh berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang sensitif terhadap resiko bencana alam. Beberapa item yang tercakup di dalamnya seperti mendesain rencana pertumbuhan hijau Aceh (green growth plan), langkah-langkah strategis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, strategi mitigasi dan manajemen resiko bencana, rencana pemulihan spesies kunci yang kritis terancam punah. Selain itu ada rencana untuk membangun manufaktur bagi penyediaan kayu alternatif (wood polymer composite) dalam rangka mengantisipasi lonjakan kebutuhan kayu dunia untuk pencegahan degradasi hutan.
Menyangkut Aceh Green, Irwandi berkomitmen untuk meninjau ulang lagi setiap proyek energi di Aceh. “Irwandi jelas menolak pembangunan yang mengabaikan aspek lingkungan. Hutan perlu dilestarikan. Soal ijin eksplorasi akan kita tinjau ulang semua. Sangat mungkin untuk tidak diperpanjang. Ini demi slogan Aceh Green,” ujar Samsul.
Namun Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur berharap Aceh Green tak sebatas program semata. Apalagi dalam catatan Walhi, penerbitan izin tambang di Aceh pernah bertaburan saat Irwandi menjadi gubernur tempo hari. “Jika merujuk pada rezim dia dulu, justru izin tambang terbanyak tapi sektor perkebunan sedikit. Semoga Aceh Green tak hanya slogan,” ujar M Nur, Selasa pekan lalu.
Di masa Zaini Abdullah menjadi gubernur, kata dia, dari 134 izin tambang menjadi sekitar 70. “Semangat menjalankan lingkungan itu lebih tinggi. Merapikan tata kelola sektor tambang merupakan alat ukurnya,” ujar M Nur.
Namun, walaupun mengurangi IUP (izin usaha pertambangan), kata M Nur, Zaini memperbanyak HGU (hak guna usaha) perkebunan. “Ada sekitar delapan HGU yang bertambah di Aceh. Jadi periode kedua gubernur ini, ada dua semangat yang berbeda. Periode lama semangat pada sektor tambang, periode yang sekarang pada sektor kebun,” ujarnya.
Selain 15 program unggulan tersebut, kata Samsul, Irwandi-Nova juga akan melanjutkan program yang tertunda ketika Zaini-Muzakir memimpin Aceh. “Hal-hal yang tertunda dari masa Irwandi dan pemerintahan yang sekarang akan dilanjutkan. Pembangunan 14 jalan tembus oleh Abu Doto (Zaini Abdullah), misalnya. Kan belum fungsional semua, maka akan kita lanjutkan,” ujar Samsul.
Selain itu, Irwandi juga akan mengusahakan pengelolaan KEK atau Kawasan Ekonomi Khusus Lhokseumawe menjadi sepenuh di tangan Pemerintah Aceh. “Hal ini akan menjadi perhatian kita juga. Karena dari KEK tersebut dapat menampung ribuan tenaga kerja. Tentunya dapat menjadi salah satu faktor meningkatkan pertumbuhan ekonomi Aceh,” ujar Samsul.
Dari kelimabelas program unggulan tersebut, ada beberapa yang cakupannya sama. Misalnya, Aceh Meugo dan Meulaot yang berisi tentang pertanian dan maritim. Program ini agak mirip dengan Aceh Troe yang memuat soal pemenuhan bahan pangan dan gizi. Samsul mengakui ada kemiripan tersebut. “Karena itu program-program tersebut akan dibedah ulang. Nanti akan ada pakar dan tim untuk setiap bidang tersebut. Masih adalam tahap persiapan. Maaf, saya belum pegang datanya. Yang pasti dari unsur akademisi, ada juga birokrat, yang jelas mereka yang kompeten di masing-masing bidangnya,” ungkap Samsul.
Setelah dibedah ulang, program-program tersebut, kata dia, dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Untuk sementara ini, visi dan misi Irwandi-Nova juga sudah dimasukkan ke dalam RPJM yang di Bappeda. Sedapat mungkin visi dan misi harus masuk ke 2018. Kita juga koordinasi dengan pemerintah yang sekarang. Dan mereka siap.”
Selamatkan Ekonomi Aceh
Terkait penerapannya ke dalam RPJM, hal senada juga dikatakan Ekonom Rustam Effendi. Menurutnya, hal itu mesti segera dilakukan. “Menerapkan kelimabelas program itu ke dalam dokumen perencanaannya. Salah satu yang paling mendesak adalah RPJM,” ujar Rustam.
Kekurangan yang masih saja dialami pemerintah saat ini, kata Rustam, kegagalan dalam menganalisis isu. Saat menyusun rencana pembangunan, pemerintah terkesan meng-copy paste program tahun sebelumnya. “Dalam menganalisis kemiskinan, misalnya. Kita hanya melihat di atas permukaan saja. Tapi soal siapa yang miskin, apa yang mereka butuhkan, bagaimana itu akan diatasi, minim sekali dibicarakan,” ujarnya.
Kemiskinan yang timbul kemudian, lanjut Rustam, tak lepas dari tingkat kesempatan kerja yang rendah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, situasi ketenagakerjaan di Aceh pada 2016 menurun. Pada Februari 2016, angkatan kerja di Aceh berada di angka 2,235 juta orang. Angka ini berkurang sebesar 26 ribu dari tahun sebelumnya.
Sementara, pada Februari 2016, angka pengangguran mencapai 182 ribu. Ada peningkatan sekitar tujuh ribu orang dibandingkan Februari 2015 sebesar 175 ribu orang. “Pengangguran makin bertambah baik di desa maupun di kota. Esensinya, di Aceh tidak ada lapangan kerja, selama ini kita gagal menciptakan itu,” ujar Rustam.
Masih berdasarkan data BPS, perekonomian Aceh 2016 dengan migas tumbuh 3,31 persen. Sedangkan pertumbuhan tanpa migas 4,31 persen. Nilai ini sedikit meningkat ketimbang 2015 sebesar 4,27 persen. Rustam menilai persentase ini masih rendah. “Pertumbuhan ekonomi di Aceh harusnya di atas lima persen. Selama ini meskipun targetnya di atas enam persen, realisasinya hanya berkisar di 4,1 sampai 4,2, masih rendah sekali,” imbuh Rustam.
Dari catatan Rustam, pertumbuhan ekonomi di Aceh sempat mencapai enam persen saat pemerintahan Irwandi pada 2012 lalu. Saat itu, pertumbuhannya dipengaruhi kondisi pembangunan Aceh selepas diubrak-abrik gempa bumi dan tsunami. “Di masa dia (Irwandi) pernah memimpin dulu, masih ada dana-dana rekonstruksi. Tumbuh enam persen. Itulah masa-masa terakhir. Tahun berikutnya mulai decline. Sekarang kan injeksi tidak ada lagi. Masa-masa rekonstruksi sudah usai. Kita cuma punya APBA. Maka beliau harus lebih kerja keras,” ujarnya.
Rustam menyarankan, dalam menangani lapangan kerja, pemerintah perlu membuka akses modal. Caranya bisa dengan menempatkan sebagian dana APBA di bank daerah untuk pengembangan wirausaha. “Ini untuk program Aceh Kreatif. Biarkan bank yang menilai kelayakan usaha apa yang bisa dikembangkan. Ini harus benar-benar dijalankan dengan baik,” ujarnya.
Selain penentuan modal tanpa agunan di level tertentu, penting juga peminjam diberikan pendampingan. “Buat pelatihan oleh dinas teknis, seperti UMKM, Dinas Tenaga Kerja, Disperindag, sebagai program dalam skala jangka pendek.”
Adapun dalam jangka menengah-panjang, sebut Rustam, Irwandi mesti menjaga suasana Aceh tetap kondusif. Sehingga investasi swasta bisa masuk. “Itu tanggung jawab pemerintahannya. Selain itu transparansi di jajaran birokarasi juga penting untuk membangun kepercayaan, jangan ada pejabat korup,” harapnya.
Sementara untuk mengisi pendapatan pemerintah, dapat didirikan badan usaha tapi tidak berbentuk perusahaan daerah. Alasan Rustam, jika perusahaan daerah swasta bakal tidak bisa masuk. “Intervensinya lebih banyak gubernur. Bentuklah PT (Perseoran Terbatas), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Sahamnya bisa mencapai 51 persen. Kita perlu mengakali situasi, Otsus (otonomi khusus) akan habis. PAD kita sangat terbatas masih. Irwandi perlu pikirkan itu,” ujarnya.
Mengenai keadaan lapangan kerja di Aceh, BPS mencatat sektor jasa menyerap tenaga kerja tertinggi, 50,92 persen. Peningkatan juga terjadi di sektor industri. Sayangnya, sektor pertanian yang seharusnya menjadi andalan Aceh, turun menjadi 735.063 orang atau 35,32 persen dari total pekerja. Sedangkan di tahun sebelumnya berada pada 44,83 persen. Rendahnya serapan tenaga kerja pada sektor pertanian ini disebabkan oleh faktor cuaca, baik kekeringan maupun angin kencang. “Sumbangan terbesar Produk Domestik Bruto Aceh itu kan pertanian, kisarannya sampai 29 persen. Dulu malah tahun 1990-an itu bisa mencapai 40 persen. Sudah mulai menurun, banyak lahan yang sudah dialihfungsikan. Ke depan, jika tak ada pangan, bagaimana hidup kita? Makanya regulasi alih fungsi lahan mesti dibenahi dan diperkuat lagi,” imbuhnya.
Hal serupa pernah disampaikan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Reydonnizar Moenek. Menurut Moenek, ada beberapa isu yang belum ditangani secara optimal di Aceh sehingga angka kemiskinan tetap tinggi, di atas rata-rata nasional. Salah satunya, rendahnya ketahanan pangan. “Pemerintah Aceh memang sudah berupaya menanganinya, tapi tak juga optimal,” ujar Moenek, April tahun lalu.
Kemiskinan Tertinggi Se-Sumatera
Meski menurun dibandingkan 2015, tingkat kemiskinan di persentase 16,73 tak juga mampu mendongkrak posisi Aceh dari rangking kedua kemiskinan tertinggi se-Sumatera. “Padahal, APBD kita adalah yang terbesar, tahun 2016 saja jumlahnya Rp12,8 triliun,” ujar Rustam Effendi.
Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, Aceh sebenarnya berada dalam posisi genting. Anggaran besar tak juga mampu membangkitkan perekonomian. Hal ini diperparah dengan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia, yakni 0,45 persen. “Indeks Pembangunan Manusia kita terendah di Sumatera. Padahal nasional naiknya lebih cepat dari kita. Ini artinya kita belum maksimal dalam membangun ekonomi Aceh,” ujar akademisi yang tengah menempuh pendidikan doktoral di Universiti Sains Malaysia ini.
Semua kekurangan itu, kata Rustam, hanya mampu ditempuh melalui strategi yang berbasis pada analisis isu. Ditegaskannya, pemerintah selama ini membangun ekonomi dengan strategi yang salah. “Kenapa saya katakan seperti itu, karena strategi muncul not based on the issue. Tidak didasarkan pada isu-isu aktual yang ada. Yakni isu yang apabila diselesaikan akan menyentuh dan memperbaiki hajat hidup orang banyak,” ujarnya.
Masalah ekonomi, kata Rustam, jangan langsung disikapi dengan program dan proyek kegiatan. Harus ada penyesuaian antara kondisi saat ini dan kondisi ideal sebelum memformulasi strategi. “Dengan data yang ada, jadikan perbandingan antara kondisi fakta dan kondisi ideal untuk menemukan apa isu strategis yang tengah Aceh alami,” papar Rustam. Isu itulah, tambah dia, yang nantinya akan direformulasi dengan menyertakan analisis dampak, baik positif dan negatif.
Dari hasil analisis tersebut, akan diperoleh apa saja program prioritas yang dituangkan dalam proyek. “Inilah proyek yang kita sebut sebagai agent of changes. Maka alokasi dana baik dari APBA, APBN, dan sebagainya benar-benar melahirkan satu kesejahteraan bagi masyarakat Aceh,” ujarnya.
Pada intinya, kata Rustam, pemerintah diharapkan bisa memberi fokus lebih besar untuk pembangunan ekonomi dan tidak terlalu berkutat pada persoalan politik praktis. “Memang kita paham mungkin ada komunikasi belum terjalin secara khusus dengan parlemen. Nah, ia (Irwandi) harus bangun itu segera. Politik itu butuh lobi. Saya yakin Irwandi bisa melakukan hal itu, kita butuh leadership yang kuat untuk membangun Aceh.”
Kompetensi Pejabat SKPA
Untuk mendapatkan tim yang tepat di jajaran SKPA (Satuan Kerja Perangkat Aceh) yang mampu memhami visi dan misinya kelak, Irwandi Yusuf dinilai harus memberi kesempatan sekian tahun kepada para kepala dinas untuk bekerja. Selain itu, kata Rustam, penerapan fit and proper test mesti dilakukan.
“Tahun pertama kasih kesempatan untuk memberikan ide. Tahun kedua, biarkan dia menjalankan. Barulah di tahun ketiga beri mereka penilaian. Kalau terbukti tidak mampu baru mutasi, jangan enam bulan menjabat langsung dimutasi. Apalagi jika terlalu banyak pembisik, banyak kepentingan,” ujar Rustam. Yang terpenting, tambahnya, pemilihan pejabat SKPA nanti sesuai dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
Pemerintahan Irwandi-Nova sendiri berkomitmen untuk lebih mengutamakan kompetensi. “Bisa saja orang luar Aceh, kita terbuka pada siapapun selama punya niat membangun Aceh. Ini bukan bicara kecemburuan, tapi kemampuan. Kalau kita tidak mampu, kenapa harus cemburu pada orang lain yang lebih pantas menduduki jabatan tersebut,” ujar Ketua Tim Pemenangan Irwandi-Nova, Samsul Bahri.
Sembari berkelakar ia menambahkan, “Bukan lagi seperti ungkapan buya krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki, Tapi sekarang kita pakai buya krueng beucarong-carong, watee buya tamong dibaa raseuki.”[]
Belum ada komentar