Kurma sudah mulai tumbuh di Aceh Besar. Patut ditunggu ekspresi masyarakat Aceh makan buah kurma dari bumi Serambi Mekkah.
Gila! Demikian komentar sebagian kalangan saat melihat Syukri Safi’ie (40) menanam kurma (Phoenix dactylifera) di perbukitan Blang Bintang, Aceh Besar.
“Memangnya kurma bisa tumbuh di Aceh? Apa kamu bawa pasir dari Arab?” ucapnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat (22/07/16), meniru ungkapan frontal yang pernah diterimanya.
“Di Arab saja yang berpadang pasir bisa hidup, masa di tanah kita yang subur ini tidak bisa tumbuh?” Demikian Syukri akan menanggapi orang yang pesimis terhadap bisnis barunya itu.
Syukri menanami Kebun Kurma Aceh miliknya sebanyak 638 batang kurma pada akhir November 2015. Dari total 10 hektare luas kebunnya itu, 5 ha sudah ditanami kurma. Per hektare dialokasikan rata-rata untuk 144 batang.
November adalah puncaknya musim penghujan di Indonesia. Syukri sengaja mulai menanam bibit kurma pada bulan tersebut, agar bibit kurma itu berhasil melewati masa kritis pada dua bulan pertama penanamannya.
Dari konsultasi dengan ahli budidaya kurma, dia ketahui, tumbuhan jenis palma itu tidak dianjurkan menanamnya saat musim kemarau. Sebab ia membutuhkan banyak air pada dua bulan pertama.
“Ditanam saat musim hujan, kegemburan tanah akan stabil. Kita tidak perlu siram. Kasihan bibitnya kalau ditanam pada musim kering,” ungkap pengusaha kelahiran Pidie itu.
Dia menjelaskan, tanaman kurma akan menghasilkan buah yang manis jika ditanam di tanah dengan beberapa kriteria khusus, sesuai dengan hasil riset para profesor di Thailand yang dikenalnya.
Ketinggian permukaan tanah harus di bawah 600 meter di atas permukaan laut (mdpl), pH (keasaman tanah) maksimal 7, serta suhu pada malam hari di bawah 24 derajat celcius dan di atas 32 derajat celcius saat siangnya.
Kebun Kurma Aceh di Blang Bintang, jelas Syukri, berada di ketinggian sekitar 600 mdpl dan memiliki pH 6,3, serta suhu pada malam hari rata-rata 22 derajat celcius dan siangnya mencapai lebih dari 32 derajat celcius.
Dia pun berujar, “Sudah cukup memenuhi syarat untuk membuahkan hasil yang manis.”
Kurma yang sedang tumbuh di kebun Syukri, sekitar 400 batang merupakan bibit kurma impor dari Thaland dan sisanya dari Inggris. Untuk bibitnya saja, dia menggelontorkan modal Rp500 juta lebih.
Menurutnya, tanaman kurma itu akan berbunga ketika memasuki usia 3 tahun, disusul pembuahan pada usia 4 tahun. “Saya yakin akan berbuah.”
Syukri berani membudidaya kurma karena menurutnya dalam Alquran, khasiat kurma 20 kali disebutkan.
“Orang percaya bahwa Alquran adalah kitab suci, tapi banyak orang yang tidak percaya pada isinya. Misal disampaikan bahwa buah kurma itu sangat banyak manfaatnya,” begitu motivasinya.
Dari sisi bisnis, kurma menyimpan prospek bagus, secerah langit Aceh di musim kering.
Betapa tidak, kata Syukri, dari satu batang kurma yang berusia 7 tahun ke atas, bisa menghasilkan minimal Rp20 juta per tahun dari buahnya saja. Bahkan dalam 1 ha kurma, hasilnya sebanding dengan 100 ha sawit.
“Yang penting kita yakin,” ujar Syukri.
Selama ini diamatinya pasar, masyarakat Indonesia mengonsumsi kurma kelas rendah bahkan hanya di bulan Ramadhan. Banyak kurma yang berpasir saat dimakan, itu sebagai salah satu tanda kualitas tidak bagus.
Di Banda Aceh saja, didapati Syukri fakta menarik bahwa kurma yang tidak dikonsumsi masyarakat Aceh di luar bulan puasa itu dibeli oleh masyarakat Tionghoa dari perusahaan pengimpor kurma di ibu kota provinsi.
“Di luar negeri pun, masyarakat nonmuslim sangat menggemari makan kurma.”
Fakta-fakta tersebut, ditambah janji dalam Alquran, membulatkan tekad Syukri mengembangkan tanaman kurma di Aceh. Ia bahkan tetap akan menanam pohon yang berasal dari jaman Mesir Kuno itu, meskipun lahannya tanpa harus melalui riset tertentu.
“Sebagai pebisnis, kalau kita terlalu banyak memikirkan apakah sudah sesuai dengan penelitian atau tidak, itu bakal menjegal niat kita. Jadi tanam saja dulu, dirawat, tumbuh, dan berhasil. Kalau tidak berhasil, berarti belum rejeki. Tapi kapan kita mau berhasil, kalau kita tidak memulainya?”
Indonesia selalu dijajah dengan barang impor. Hal itu menurut dia salah satu penyebab tidak meningkatnya perekonomian masyarakat.
Di luar sana, dia membandingkan, pengusaha kurma dianggap konglomerat. Di Aceh, orang yang menanam kurma dianggap gila. Syukri terkekeh.
TERKENDALA IZIN
Di sisi lain, beber Syukri, pihaknya menemui banyak kendala dalam mengimpor bibit kurma dari Arab Saudi. Awalnya, dia mengharapkan kurma asal Timur Tengah-lah yang akan tumbuh di perbukitan Blang Bintang.
“Sudah setahun lamanya kami mengurus perizinan dari para pihak untuk mendatangkan kurma Arab, tapi belum ada hasilnya,” ungkap Syukri.
Sebenarnya, kata dia, pengusaha Indonesia masih terkendala izin mendatangkan kurma dari Arab Saudi. Kalau izinnya sulit, nantinya buah kurma juga akan dijual mahal.
“Coba seandainya perizinan dimudahkan, bibit kurma akan murah dan buahnya nanti pun akan kita jual murah.”
Dia yakin, jika ada kemudahan perizinan, banyak masyarakat Aceh akan membudidayakan kurma. Sebab saat ini, ada banyak lahan telantar di Serambi Mekkah.
Syukri sangat mengharapkan dukungan pemerintah, terutama soal izin impor, sehingga modal usaha kurma bisa menjangkau isi dompet masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Jika misalnya per bibit bisa mencapai Rp50 ribu, masa orang tidak punya modal Rp10 juta untuk menanam 200 batang kurma?” imbuh Syukri.
Menurutnya saat ini di Aceh, baru dia dan Mahdi—pengusaha kurma tak jauh dari kebun Syukri, pengusaha yang membudidaya kurma secara profesional.[]
Belum ada komentar