PM, Banda Aceh – Sejumlah petugas pengamanan dari unsur TNI/Polri masih terus berjaga di sekitar lokasi terdamparnya 81 orang etnis Rohingya, di Pulau Idaman, Gampong Kuala Simpang Ulim, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur.
Hingga Senin (7/6/2021), petugas dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) tampak masih memvalidasi data identitas mereka. Sebagiannya sudah memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh lembaga komisioner PBB yang fokus pada isu pengungsi tersebut.
Diketahui, 81 pengungsi etnis Rohingya ini terdampar Jumat lalu (4/6/2021). Mereka diduga kabur dari kamp pengungsi di Bangladesh, mengarungi laut hingga tersangkut di Aceh. Jumlah mereka semula 90 jiwa. Namun di tengah laut, delapan orang meninggal dunia dan satu dinyatakan hilang.
Dari berbagai informasi yang diterimanya, Wakil Sekjen Panglima Laot Aceh, Miftach Cut Adek mengatakan, pendaratan pengungsi ke pulau tak berpenghuni itu diduga lantaran mesin kapal yang mereka tumpangi rusak.
Para penumpang yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak itu lantas berhenti di Pulau Idaman saat mengetahui kapal hendak kandas, usai empat hari mengarungi lautan. Melansir BBC, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Timur, Ashadi Asa mengatakan penumpang sebenarnya ingin menuju ke Malaysia.
“Mereka rencananya akan didorong kembali ke laut, setelah kapalnya dilengkapi logistik, tapi kita masih menunggu hasil rapat dengan Forkopimda,” ujarnya kepada media itu, Jumat.
Sejak kabar keberadaan pengungsi di Pulau Idaman terkuak, masyarakat sekitar berbondong-bondong menyalurkan bantuan makanan, tenda dan sebagainya. Petugas juga dikerahkan untuk memastikan para pengungsi ini steril dari Covid-19 serta divaksinasi.
Yayasan Kemanusiaan Madani Indonesia (YKMI) didukung UNCHR juga telah mendistribusikan bantuan kepada 81 pengungsi Rohingya pada Senin (7/6/2021). Bantuan yang didistribusikan berupa air mineral, keperluan mandi, pakaian serta terpal untuk berbagai keperluan termasuk untuk mendirikan kamar mandi darurat.
Faisal, Program Coordinator YKMI Kantor Lhokseumawe menuturkan pihaknya bergerak cepat menuju lokasi dan mendistribusikan bantuan yang kira-kira mendesak bagi para pengungsi Rohingya yang terdampar.
“Soal tindak lanjut dari penanganan pengungsi selanjutnya, kami sepenuhnya menyerahkan kepada pihak pemerintah setempat dan juga kepada UNHCR selaku Lembaga PBB dalam urusan pengungsi,” tuturnya.
Sambil menunggu kepastian, pengungsi bergotong royong membantu petugas menggali sumur dangkal sebagai sumber ketersediaan air bersih sehari-hari, mendirikan kamar mandi darurat serta menyiapkan makanan.
Rentan Terjebak Praktik Penyelundupan
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengapresiasi respon dari warga Simpang Ulim yang tetap memberi bantuan makanan dan minuman dari jarak jauh kepada pengungsi, lantaran tidak diperbolehkan mendekati kawasan Pulau Idaman. Wujud solidaritas ini dinilai penting mengingat keadaan pengungsi Rohingya yang kian memprihatinkan, bahkan di kamp pengungsian mereka sendiri di Bangladesh.
“Mereka bisa berbulan-bulan di lautan, ditolak di beberapa negara,” ujar Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam siaran pers lintas lembaga, Sabtu lalu (5/6/2021).
Tidak adanya kejelasan soal masa depan mereka di kamp pengungsian, satu dari sekian hal yang membuat para pengungsi putus asa. Situasi itu memantik keinginan untuk keluar dari kamp itu.
Menurut Fatia, hingga kini belum ada jalur aman yang dapat ditempuh pengungsi. Jalur penyelundupan manusia tampak jadi satu-satunya opsi bagi mereka. Sejak memilih keluar kamp, etnis Rohingya mulai bergelut dalam bahaya. Mereka rentan jadi korban penipuan, perdagangan manusia, kekerasan, cuaca ekstrem dan kelaparan. Tak jarang, anak-anak pun berada dalam pusaran ini.
Pemenuhan prinsip-prinsip hak asasi manusia, bagi Fatia, merupakan hal yang tak bisa ditawar. Tak terkecuali dalam menyikapi situasi pengungsi Rohingya saat ini. Secara regulasi, Indonesia punya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, yang menurutnya secara jelas mengatur mengenai penyelamatan pengungsi yang ditemukan di laut.
“Penanganan pengungsi adalah penanganan kolaboratif. Para warga Aceh yang merupakan bagian dari koalisi masyarakat sipil telah memiliki beragam pengalaman dalam penyelamatan. Pembelajaran dan praktik baik ini menjadi modal bagi penyelamatan pengungsi saat ini. Kondisi saat ini telah kembali memanggil kita semua,” imbuhnya.
KontraS, bersama sejumlah lembaga yakni SUAKA, JRS Indonesia, Yayasan Geutanyoe, LBH Banda Aceh, Dompet Dhuafa, Amnesty International dan Sandya Institute merekomendasikan beberapa hal terkait sikap Indonesia selaku anggota Dewan HAM PBB.
Di antaranya, koalisi ini mengecam tindakan mendorong pengungsi kembali ke lautan. Rencana itu dinilai telah mengingkari tanggung jawab dan prinsip non-refoulement serta respon kemanusiaan. Pemerintah seharusnya segera mengimplementasikan Perpres 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
“(sesuai regulasi tersebut) maka perlu segera membawa pengungsi Rohingya ke penampungan. Hal ini termasuk merealisasikan pasal 40 mengenai pendanaan agar respon kemanusiaan dapat terlaksana sesuai dengan kedaruratan,” katanya menambahkan.
Untuk penanganan lebih lanjut, pemerintah sebenarnya bisa menyediakan ruang kolaborasi bersama organisasi sipil baik nasional dan internasional serta warga lokal. Para pihak ini dapat dilibatkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang mendesak, seperti makanan, kesehatan, pemulihan aspek psikologis, dan perlindungan utamanya bagi kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak-anak.
KontraS juga meminta segera fasilitasi lokasi penampungan sementara yang ditentukan Pemerintah Daerah dalam kondisi darurat, mengingat Pulau Idaman berada di area terpencil yang jauh dari akses untuk kebutuhan dasar.
“Hal ini, salah satunya, dapat dilakukan dengan pemanfaatan fasilitas penampungan yang sudah tersedia serta memadai, setidaknya pada dua lokasi di Aceh. Salah satunya adalah di BLK Lhokseumawe,” ujarnya.
Lebih jauh, pemerintah juga didesak segera memberikan kebijakan bagi pemenuhan solusi yang sifatnya inklusif bagi pengungsi. Hal ini termasuk pemberdayaan dan akses penghidupan secara mandiri.
“Kita juga meminta Pemerintah Indonesia terlibat aktif dalam penyelesaian situasi di Myanmar dan mendorong tanggung jawab berbagai negara dalam rangka pemberian solusi jangka panjang,” terang Fatia.
Kontribusi masyarakat Aceh dalam menyambut kehadiran pengungsi di tahun-tahun sebelumnya juga perlu jadi pembelajaran.
“Riwayat penanganan pengungsi perlu dijadikan rujukan untuk melahirkan satu kebijakan lanjut yang lebih kolaboratif dan inklusif, sesuai standar hak asasi manusia,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar