Dugaan keterlibatan Kepala Dinas Pendidikan Aceh Hasanuddin Darjo dalam kasus kasbon Pemkab Aceh Tenggara (Agara) menguat di Pengadilan Tipikor. Sempat diabaikan, kini Darjo siap-siap akan dipanggil penyidik Kejati Aceh.
Hal ini disampaikan Teuku Rahmatsyah, Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) kepada media usai konferensi pers di ruang rapat Kejati Aceh. “Akan saya liat dulu berkasnya, tapi nanti segera diteliti lagi kalau memang merupakan faktor hukum,” ujar Rahmatsyah, Kamis dua pekan lalu.
Kasus tersebut terjadi saat Hasanuddin Darjo menjabat Sekretaris Daerah di Aceh Tenggara pada 2010 lalu. Teuku Rahmatsyah menjelaskan, sesuai dengan arahan Kajati Aceh Raja Nafrizal, dirinya akan membentuk tim untuk menyelidiki kasus-kasus yang ditangani Kejati Aceh. “Insyaallah kita akan bentuk tim nanti sesuai dengan arahan Bapak Kejati tadi, jadi segera kita telaah kembali,” katanya.
Masyarakat Transparansi (MaTA) sudah mengingatkan Kejati Aceh segera mengumumkan status mantan Sekda Agara Hasanuddin Darjo yang diduga ikut menikmati aliran dana kasbon Pemkab Agara. “Hasanuddin Darjo sebelumnya direkomendasi Hakim Tipikor Banda Aceh untuk diperiksa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU),” kata Kordinator Advokasi MaTA, Baihaqi kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.
Dalam persidangan kasus kasbon dengan terdakwa mantan Bendahara Umum Daerah (BUD) Setdakab Agara Malik Hamdani, terungkap bahwa Darjo yang meneken cek pencairan uang tersebut. Dalam kasus kasbon itu, hakim memvonis Malik Hamdani setahun penjara, pertengahan November 2015.
Menurut MaTA, rekomendasi hakim Tipikor untuk memeriksa Hasanuddin Darjo sudah berlangsung lama. Namun hingga sekarang Kejati Aceh belum juga mengumumkan status hukum pria yang kini menjabat Kepala Dinas Pendidikan Aceh itu.
Baca: Gaya Glamor Putri Kadisdik Aceh
“Kejati seharusnya mengumumkan terkait tindak lanjut rekomendasi hakim tersebut. Apalagi dalam persidangan terungkap bahwa Hasanuddin Darjo ikut menikmati uang tersebut dan juga menyalahi wewenang,” sebut Baihaqi.
Baihaqi mencontohkan, kasus-kasus lain yang direkomendasikan majelis hakim, langsung mendapat respon JPU. Di antaranya, kasus korupsi beasiswa Guru Daerah Terpencil (Guradacil) pada 2009 yang menjerat mantan Rektor Unsyiah Darni Daud. Saat persidangan Darni Daud, hakim merekomendasi JPU untuk memeriksa Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik Unsyiah Samsul Rizal. Jaksa langsung menindaklanjuti rekomendasi tersebut, meski belakangan jaksa mengumumkan bahwa pria yang kini Rektor Unsyiah itu tidak terlibat.
Sementara terkait rekomendasi majelis hakim dalam persidangan kasus kasbon Aceh Tenggara tidak ditindaklanjuti JPU. “Padahal persidangannya sudah lama, tapi hingga sekarang belum ditindaklanjuti jaksa. Seharusnya pihak Kejati mengumumkan hasil rekomendasi hakim tersebut, sehingga masyarakat tidak mencurigai ada permainan jaksa dengan Hasanuddin Darjo,” kata Baihaqi.
Para aktivis MaTA sudah menyampaikan lemahnya penanganan perkara korupsi di kejaksaan kepada Kajati Aceh Raja Nafrizal saat audiensi beberapa bulan lalu. Karena itu, mereka meminta jajaran Kejati Aceh di bawah komando Raja Nafrizal untuk serius menangani perkara korupsi.
Selain kas bon di Aceh Tenggara, perkara korupsi lain yang direkomendasi hakim Tipikor kemudian didiamkan jaksa, yaitu kasus kasus kredit fiktif Pemkab Aceh Utara dengan melibatkan mantan Bupati Ilyas Pase. Dalam persidangan kasus itu, hakim Tipikor Banda Aceh juga merekomendasi Bupati Aceh Utara sekarang, Muhammad Thaib alias Cek Mad untuk diperiksa oleh JPU.
“Kasus itu juga belum ada kejelasan hingga sekarang, padahal sangat jelas Cek Mad ikut menikmati uang tersebut,” kata Baihaqi.
MaTA mendesak Kejati Aceh untuk serius menangani kasus kasbon Pemkab Aceh Utara yang dinilai melibatkan banyak pihak. “Kasus ini tidak berdiri sendiri, jaksa sudah waktunya mengusut kembali perkara tersebut,” jelas Baihaqi.
DARJO BERGELIMANG KASUS
Pada 5 Juli 2015, sempat beredar surat kaleng di kalangan PNS Dinas Pendidikan Aceh berisi dugaan korupsi yang menimpa Darjo. Tak lama kemudian, 27 Juli 2015, Malik Hamdani yang merupakan Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemkab Aceh Tenggara Tahun Anggaran 2009-2010, berhadapan dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Aceh dan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh.
Malik dijerat JPU Kejati Aceh dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi (kas bon), memperkaya diri sendiri atau orang lain dan korporasi, dengan kerugian negara mencapai Rp2,5 miliar. Ia diduga menarikan atau mengambil sejumlah dana Pemkab Aceh Tenggara secara berulang-ulang sejak 12 Februari 2010.
Baca: Darjo Masih Tersandera Kasus Kasbon Agara
Modus operandi Malik Hamdani, menurut JPU, salah satunya dengan mengajukan cek PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Kantor Cabang Kutacane dengan Nomor CEC 194890, tanggal 12 Februari 2010, untuk ditandatangani Sekda Aceh Tenggara saat itu, Hasanuddin Darjo. Itu sebabnya, dalam dakwaan JPU, nama Hasanuddin Darjo disebutkan berkali-kali meski berstatus saksi.
Pada 10 November 2015, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh memvonis mantan kuasa BUD Setdakab Aceh Tenggara Malik Hamdani setahun penjara dikurangi masa penahanan, denda Rp50 juta atau bisa diganti hukuman tambahan (subsider) dua bulan kurungan dan tak dibebankan membayar uang pengganti.
Malik Hamdani terbukti menyunat kas bon Pemkab Aceh Tenggara senilai Rp2,5 miliar lebih dari Rp3,7 miliar anggaran saat dia menjabat BUD Setdakab Aceh Tenggara. Saat itu, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh juga menyebutkan ada potensi terlibat orang lain dalam kasus kas bon Aceh Tenggara tahun 2010 itu. “Ini berdasarkan fakta dalam persidangan Malik Hamdani,” kata hakim kepada wartawan.
Karena itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) diperintahkan memeriksa mantan Sekdakab Aceh Tenggara, Hasanuddin Darjo yang saat ini menjabat Kepala Dinas Pendidikan Aceh. JPU juga diperintahkan memeriksa Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Tenggara, Lutfieka dan Suhailuddin.
BUKAN NAMA BARU
Darjo bukanlah sosok baru. Ada banyak kasus korupsi yang dikaitkan dengan namanya. Sebut saja kasus pembangunan Tower Multy Channel di Aceh Tenggara pada 2002, saat ia masih menjabat Sekretaris Daerah Aceh Tenggara.
Kasus itu mencuat sejak tidak dapat difungsikannya bangunan tersebut. Padahal, bangunan itu direncanakan dapat memperbesar jangkauan channel TV di Aceh Tenggara. Namun, hasilnya tak sesuai harapan.
Berdasarkan temuan Aceh Judical Monitoring Institute (AJMI) yang dibeberkan ke media, pembangunan tower tersebut terindikasi mark-up Rp1,2 miliar. Sayangnya, kepolisian dan kejaksaan belum mengusut tuntas kasus tersebut.
Selain dua kasus di atas, pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh ini juga terlibat dalam sejumlah kasus lain seperti belum melunasi pinjamannya dari Baitul Mal dan Bank Aceh.[]
Belum ada komentar