Irwandi-Nova tak mau terjebak pada orientasi hasil semata yang kian memperburuk arah pendidikan. Pengamat menilai tak ada terobosan baru dalam Aceh Carong.
Fuadi Mardatillah
MATA Indri tak lepas dari layar telepon genggamnya. Ia enggan melewatkan informasi yang disebarkan teman-temannya lewat jejaring Whatsapp. Namun, dari sekian banyak pesan berantai broadcast yang hilir mudik, Indri hanya menunggu informasi lowongan kerja.
Sebulan setelah menamatkan kuliah, tamatan komunikasi di salah satu perguruan tinggi negeri di Banda Aceh ini masih kesulitan mendapatkan pekerjaan. Kejadian serupa menimpa rekan-rekan seangkatan Indri. “Saya juga banyak dimintai informasi. Kata kawan, kalau ada lowongan kerja jangan lupa kabarin,” ujar Sabtu pekan lalu.
Padahal, ia dan teman-temannya telah beberapa kali mengirim surat lamaran ke perusahaan-perusahaan. Tak hanya lowongan sesuai disiplin ilmu, Indri cs juga melamar pekerjaan yang tak ada hubungannya dengan jurusan di kampus. “Tapi memang belum rejeki juga mau bagaimana,” keluhnya.
Indri mengaku, mahasiswa yang mudah mendapat pekerjaan ketika kuliah tak hanya berkutat di kampus. Membangun jaringan di luar kampus juga salah satu modal besar mendapatkan pekerjaan kelak. “Jadi mereka yang akhirnya punya akses, membangun pertemanan di luar kampus, jadi gak melulu kuliah. Yang saya lihat, orang-orang seperti itu yang mudah mendapat kerja,” tambahnya.
Situasi yang dialami Indri dan teman-temannya sebenarnya fenomena umum di Aceh. Sebagian besar angkatan kerja produktif malah mengganggur. Hal ini bisa dilihat dari data angkatan kerja milik Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Februari 2016, angkatan kerja di Aceh 2,235 juta orang. Angka ini berkurang 26 ribu dari tahun sebelumnya, sebesar 2,261 juta orang.
Mengenai jumlah pengangguran, pada medio Februari 2016 tercatat 182 ribu orang di Aceh tak bekerja. Ada peningkatan sekitar 7 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Sejumlah pengamat mengaitkan tingginya angka pengangguran dengan proses dan pola institusi pendidikan di Aceh yang terbilang gagal menciptakan angkatan kerja. Krisis pendidikan vokasional, jadi salah satu permasalahan yang akut di sini.
Semula, pendidikan yang mencetak tamatan siap kerja diemban oleh sekolah kejuruan. Namun, amatan Ketua Koalisi Barisan Guru Bersatu (Kobar-GB), Sayuthi Aulia, keterbatasan fasilitas praktik yang membebani SMK selama ini berakibat pada menurunnya jaminan kesiapan sekolah tersebut. “Kondisi ini memprihatinkan, seharusnya pemerintah harus memenuhi fasilitas praktik anak-anak di SMK,” keluh Sayuthi, Sabtu pekan lalu.
Sayuthi berharap, pemerintahan baru Aceh di bawah kendali Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah, bakal memperhatikan kendala tersebut. “Saya harap optimalkan peran SMK. Jangan sampai yang kita bayangkan semula kejuruan semacam ini siap di dunia kerja, malah yang terjadi itu bertambahnya angka pengangguran, karena keterbatasan fasilitas yang bikin mereka jarang praktik, kualitas pun menurun,” ujarnya.
Maka, kata dia, tantangan yang menanti pemerintah Aceh adalah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang peralihan kewenangan SMA dan SMK dari Kabupaten/Kota ke Provinsi. Pemerintah Aceh perlu merancang pola peningkatan kualitas SMA dan SMK agar lebih baik.
Terkait pendidikan, Irwandi-Nova sejak awal memiliki salah satu program unggulan yang disebut Aceh Carong. Program ini menargetkan seluruh anak-anak di Aceh mendapatkan pendidikan berkualitas, yang mampu bersaing dan mengukir prestasi di tingkat nasional, regional, dan internasional. Secara konkret, slogan Aceh Carong bakal diterjemahkan ke sejumlah program. Dari pembenahan muatan lokal dalam kurikulum pendidikan, pelatihan bahasa, pendidikan vokasional, serta peningkatan beasiswa untuk anak yatim di Aceh.
Miswar Fuady, anggota tim yang terlibat dalam perancangan visi-misi Irwandi-Nova mengatakan ada beberapa hal yang harus dioptimalkan. Salah satunya, Lembaga Pengelolaan Sumber Daya Manusia (LPSDM). “Optimalisasi yang dimaksud yaitu pemenuhan sumber daya manusia sesuai dengan yang tengah dibutuhkan Aceh,” ujar Sekjen Partai Nasional Aceh (PNA) ini, Jumat pekan lalu.
Miswar berharap tak lagi terjadi ketimpangan antara upaya pemenuhan dan kebutuhan SDM. Untuk itu, beasiswa yang akan disediakan kelak lewat Aceh Carong, menjadi investasi untuk peningkatan kualitas Aparatus Sipil Negara (ASN) yang akan bekerja di pemerintahan. “LPSDM harus mampu memenuhinya, karena yang lebih didahulukan adalah beasiswa untuk ASN ini,” jelasnya.
Mengantisipasi Brain Drain
Peneliti Aceh Institute Saiful Akmal menilai selama ini pemberian beasiswa belum memiliki program jelas dan sistematis. “Belum ada rencana strategis ke mana para lulusan akan diberdayakan. Setelah ada beasiswa, mereka dikirim ke luar. Sumber daya yang bagus itu untuk lari ke luar. Tidak dikelola oleh Pemda,” ungkapnya.
Ia mengkhawatirkan hal itu bakal menimbulkan fenomena brain drain. Istilah ini berarti perpindahan intelektual dari dunia ketiga ke negara maju akibat kegagalan negara asal dalam menyediakan lapangan kerja. Solusi yang ditawarkan Saiful, Pemerintah Aceh mendirikan lembaga khusus yang menindaklanjuti investasi SDM. Caranya, menfasilitasi penempatan lulusan pada lembaga atau proyek pembangunan di Aceh. Lembaga khusus ini, kata Saiful, dapat bekerjasama dengan berbagai universitas di Aceh.
Ia mencontohkan beberapa negara alumni yang beasiswanya tinggi, sepeti Jerman dan Australia. “Ada skema paska kepulangan. Agar itu tidak jadi beban di mereka. Di kita juga tidak jadi investasi yang sia-sia. Jangan sampai terjadi brain drain, aset intelektual kita lebih memilih bekerja di luar, dari pada membangun daerah sendiri, ini harus diantisipasi,” kata Saiful.
Sementara Miswar menyadari Pemerintah Aceh selalu terjebak pada orientasi basis hasil semata, seraya mengabaikan efek jangka panjang. Kenyataan ini pula yang makin memperburuk arah pendidikan di Aceh.
Pendidikan, terang Miswar, hanya bicara pengadaan beasiswa, sarana prasarana, dan jumlah murid maupun guru. Sedang dampak jangka panjang, seperti pengaruhnya terhadap angkatan kerja, penurunan angka kemiskinan, dan produktifitas serta inovasi masyarakat, sama sekali tidak disentuh. “Indikator seperti itu tidak ada. Ke depan kita berharap Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) ini mampu menerapkan perencanaan berbasis data, harus benar-benar sesuai kondisi di lapangan,” katanya.
Pentingnya Muatan Lokal
Usaha meningkatkan mutu pendidikan juga terkait dengan fokus muatan lokal dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Ke depan, kata Miswar, materi syariat Islam dan penguatan perdamaian akan disertakan di dalam muatan lokal. “Ini bagian dari wujud otonomi khusus Aceh juga, di bidang pendidikan. Kita sadari juga proses reintegrasi belum tuntas. Masih ada pandangan dikotomi antara golongan masyarakat mantan kombatan dan yang bukan kombatan. Ini tidak boleh terjadi lagi ke depan, semua harus menyatu setelah perdamaian, kita musti tanamkan pada generasi kita,” ungkapnya.
Pendidikan tentang kesadaran bencana, juga tak kalah penting untuk diterapkan pada muatan lokal di sekolah-sekolah. Peneliti Aceh Institute, Saiful Akmal menekankannya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh masa sekarang. “Syariat, budaya lokal, dan bencana sudah jadi bagian yang melekat dalam kehidupan kita. Jadikan itu sebagai bahan pembelajaran yang ditanamkan sejak dasar sekolah anak-anak kita,” harap Saiful.
Agar muatan lokal dapat berjalan, perlu dioptimalkan insentif untuk tenaga pengajar. Sayuthi Aulia menuturkan, banyak sekali program muatan lokal yang tidak berjalan di sekolah karena terhalang biaya sertifikasi. “Karena tidak linear, bukan tanggung jawab pemerintah pusat untuk membayar sertifikasinya. Seharusnya ini tanggungan pemerintah daerah, karena menambah beban tenaga pendidik. Maka pemerintah Aceh harus memperhatikan kesejahteraan pengajar muatan lokal, jika ingin maksimal, kendalanya disitu,” imbuh Sayuthi.
Selanjutnya terkait dengan lembaga pendidikan dayah. Pemerintahan baru akan mendorong adanya kemandirian pada dayah bergantung sesuai potensi wilayahnya masing-masing. Miswar mencontohkan, potensi di sektor pertanian. Para santri, selain memperdalam ilmu agama juga menerima bimbingan pertanian. “Hasil dari pertanian yang dayah kelola itu nantinya kita harap bisa menunjang operasional mereka. Ini akan bertahap kita kerjakan,” imbuh Miswar.
Ia khawatir dengan kondisi berkurangnya penerimaan dana otonomi khusus di tahun 2022 mendatang. “Tahun tersebut dana Otsus kita akan turun menjadi 1 persen dari DAU. Maka harus ada strategi. Untuk segala sektor kita tekankan ada kemandirian. Dayah adalah salah satunya.”
Distribusi Guru Secara Merata
Jika menghubungkan antara taraf pendidikan dan ekonomi suatu masyarakat, M Shabri Abdul Majid dalam jurnal Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh tiga tahun silam berjudul Analisis Tingkat Pendidikan Dan Kemiskinan Di Aceh (2014), menuturkan, teori pertumbuhan modern menekankan pentingnya peranan pemerintah dalam meningkatkan pembangunan modal manusia melalui pendidikan. Yang didorong kemudian adalah peningkatan produktifitas. Pendidikan diyakini memainkan kunci dalam kemajuan perekonomian suatu negara.
Tingkat pendidikan yang rendah, simpul Shabri, menyebabkan rendahnya produktifitas yang berimbas pada buruknya tingkat penghasilan dan buruknya kualitas kehidupan. Dalam penelitiannya, Aceh pernah mengalami peningkatan di sejumlah indikator, beberapa di antaranya Angka partisipasi Murni (APM), Angka Melek Huruf (AMH), dan Angka Rata-rata Lama Sekolah (ARLS).
Namun, perbaikan pada indikator tersebut tak sejalan dengan kualitas pendidikan Aceh di tingkat nasional. Malah, pada 2016 Aceh berada di rangking 32 dari 34 provinsi di Indonesia. Angka tersebut terus merosot dibanding tahun sebelumnya yang berada di peringkat 30.
Solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan mutu pendidikan Aceh, sebut Shabri, ada pada program peningkatan kualifikasi dan mutu tenaga pendidik dan pendistribusian guru berkualitas antar kabupaten/kota secara lebih merata. Hal tersebut dibenarkan oleh Miswar Fuady. Ia mengakui selama ini guru-guru hanya terpusat di Kabupaten yang dekat dengan ibukota. “Kita akan mendorong bagaimana tenaga pengajar itu bekerja di kawasan daerah asalnya.”
Belum Menjawab Persoalan
Aceh Carong dinilai Saiful Akmal belum menjawab persoalan pendidikan secara menyeluruh. Padahal, kata dia, di Aceh yang perlu segera dibangun adalah koneksi antara institusi pendidikan, masyarakat, pemerintah dan industri. “Malah selama ini kan jalan sendiri-sendiri, Seharusnya ini menjadi bagian dari program Aceh Caroeng. Karena tidak mungkin membangun generasi berkualitas tanpa suplai hasil riset kampus untuk menjadi bahan kajian di sekolah-sekolah menengah umum dan kejuruan, kita perlu tiap jenjang pendidikan melakukan transfer knowledge,” ujar Saiful.
Demikian juga dalam perencanaan pendidikan, Ketua Kobar GB Sayuthi Aulia menyayangkan jika guru tak dilibatkan. “Bappeda dan Dinas Pendidikan Aceh seharusnya juga melibatkan perwakilan tenaga pendidik dari sekolah untuk menyusun kebijakan, karena guru yang berada di lapangan, mengetahui langsung apa saja permasalahan pendidikan,” katanya. Ia berharap Irwandi bisa merangkul semua pihak, tidak hanya pejabat di Dinas teknis saja.
Secara keseluruhan, kata Saiful Akmal, tak ada terobosan yang baru dalam program Aceh Carong. Irwandi dan tim tampak hanya berusaha mengoptimalkan perangkat pendidikan yang sudah ada. “Kita berharap ada terobosan, tapi sepertinya memang isi program sekedar memfungsikan apa yang ada, dengan target kinerjanya lebih baik dari masa pemerintahan sebelumnya.”[]
Belum ada komentar