Menakar Kemadanian Banda Aceh

Beriktikaf di dalam masjid Raya Baiturrahman.
Beriktikaf di dalam masjid Raya Baiturrahman.

Di usia delapan abad, kota Banda Aceh telah mengalami perkembangan cukup pesat. Bencana tsunami yang meluluhlantakkan ibukota Provinsi Aceh ini seakan mengubah total wajah sosial masyarakatnya.

Sejak mobilitas bantuan bencana berdatangan, Banda Aceh seperti berkenalan dengan dunia luar. Tak lama kemudian, Aceh memasuki babak baru dengan berakhirnya konflik bersenjata. Konstelasi politik dan sosial pun turut memberi warna pada dinamika kehidupan masyarakat di kota Banda Aceh.

Kepemimpinan walikota alm Mawardi Nurdin disebut sebagai peletakan dasar pembangunan modern kota Banda Aceh, usai perdamaian 11 tahun silam. Di tangannya, kota Banda Aceh disulap dengan beragam pembangunan infrastruktur.

“Sekarang pembangunan Kota Banda Aceh sudah terlihat nyata, banyak yang sudah dilakukan Mawardi Nurdin untuk pembangunan kota, jasanya cukup besar kepada kita yang ditinggalkannya,” kata Gubernur  Zaini Abdullah pada Februari 2014, saat menyampaikan belangsungkawa atas meninggalnya sosok yang dinobatkan sebagai ‘Bapak Pembangunan Kota Banda Aceh’ ini, seperti dikutip Harian Analisa.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Unit Kerja Presiden RI Bidang Pengawasan Pengendalian dan Pembangunan (UKP-4) 2009, Kuntoro Mangkusubroto menyebut Mawardi Nurdin sebagai putra terbaik Aceh yang ikut menginisiasi berbagai macam peraturan perundang-undangan untuk membangun Aceh pasca bencana gempa dan Tsunami.

Saat ini, Walikota Iliza Saaduddin Jamal yang pada periode sebelumnya mendampingi Mawardi, juga sedang melanjutkan berbagai pembangunan fisik di Kota Banda Aceh. Sejumlah proyek APBN dan APBA sedang dalam pengerjaan, seperti pembangunan fly over di kawasan Simpang Surabaya, pelebaran jembatan Lamnyong dan jembatan Krueng Cut. Selain itu, pelebaran Mesjid Raya Baiturrahman mulai tampak wujud barunya. Lalu ada juga pembangunan bundaran Simpang Lima dan gedung Madani Center di depan kantor Gubernur Aceh. Proyek-proyek ini serempak menghiasi wajah kota yang tengah mengusung slogan Model Kota Madani ini.

Namun, pengamat sosial-politik, Chairul Fahmi menekankan, bahwa sasaran awal yang paling utama dari program pembangunan kota Madani sebenarnya adalah pemerintah kota itu sendiri. Baik eksekutif, legislatif, maupun semua institusi pengambil kebijakan publik perlu menerapkan sistem yang islami dan lebih berperadaban.

“Masyarakat sering bertanya, seamanah atau sejujur (siddiq) apa pejabat publik di Kota Banda Aceh dalam menjalankan jabatan yang diembannya? Lebih konkrit misalnya, apakah semua pejabat di kota hanya menggunakan fasilitas publik, seperti mobil dinas, untuk keperluan dinas/kantornya saja, atau juga digunakan untuk kebutuhan pribadi dan atau keluarganya?” papar Chairul.

Contoh lain ia uraikan, seperti alokasi dana aspirasi dewan. Ia mempertanyakan apakah semua dana yang dialokasikan oleh anggota dewan untuk kelompok tertentu, semuanya dialokasikan untuk kelompok tersebut, atau ada potongan tertentu untuk pemilik aspirasi. “Ini kan harus terbuka (diaudit) agar terwujud prinsip accountability atau siddiq (jujur) dalam mengelola negara,” tambahnya.

Menurutnya, hal semacam itu merupakan bagian dari prinsip Islam atau dikenal juga dengan prinsip akuntabilitas, amanah dan prinsip good governance. Chairul memandang bahwa pejabat harus jadi panutan bagi rakyatnya. “Jadi role model. Nah, jika itu belum terbentuk, maka seyogyanya program syariatisasi, atau moralisasi pejabat negara, atau birokrasi negara harus dilakukan terlebih dahulu, baru nanti memoralisasi rakyatnya,” katanya.

Baca: Wisata Halal di Aceh Masih Sebatas Label

PANDANGAN ADAT ACEH

Dalam satu kesempatan, Pikiran Merdeka pada Jumat lalu berdiskusi dengan salah seorang intelektual muda yang juga pengajar di UIN Ar-Raniry, Affan Ramli. Saat membincangkan konsep madani, Affan sempat mengulas buku Adat Berdaulat: Melawan Serbuan Kapitalisme di Aceh (2015), di mana ia juga terlibat dalam penulisannya. Affan menemukan bahwa konsep madani erat kaitannya dengan perwujudan nilai-nilai adat dalam pembangunan tata ruang kota.

“Adat mengharuskan tata ruang kota memperhatikan banyak hal, umumnya terkait dengan terjaganya sistem kerja alam di sekitar manusia, seperti saluran-saluran air alami dalam tanah dan pembangunan fisik harus mengekspresikan seni arsitektur spiritualitas religius orang Aceh. Itu sebabnya dulu tidak ada pembangunan yang sampai mengganggu saluran lalu lintas air sehingga jadi macet dan banjir. Jika ini terjadi, bisa dipastikan ada kesalahan dalam perencanaan dan pengeluaran IMB, tentu itu terkait tata ruang. Dalam perpektif adat, itu sangat buruk,” katanya.

Terminologi adat, menurut Affan, pemaknaannya selama ini telah jauh keliru. Di bagian ke dua buku tersebut, ia coba meluruskan beberapa kesalahpahaman makna terhadap konsep adat Aceh yang selama ini terlanjur membentuk persepsi masyarakat. Salah satunya, anggapan bahwa adat adalah kebiasaan yang hanya layak dijadikan pedoman hidup masyarakat tradisional dan pedalaman, dan tak relevan lagi bagi masyarakat kota modern.

“Bila merujuk pada pada ungkapan yang sohor dari Tengku Chik Kutakarang dalam kitab Tadhkirad al-Radikin tentang kembarnya adat dan hukum (Alfian:1987), maka pandangan mengedaluarsakan adat dari kehidupan masyarakat kota dan modern, akan berakibat pada pandangan adanya keterbatasan kepenadan hukom (syariat) pada ruang-waktu tertentu,” tulis Affan.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, kota adat ditandai dengan kuatnya komunalisme dan solidaritas sosial. “Lalu, kuatnya sisi keagamaan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dan terakhir, menangnya pertimbangan-pertimbangan pengetahuan sosial dan alam dalam penataan kota,” sambungnya.

Affan mengaku prihatin dengan pola hidup individualis yang sedang perlahan membentuk pribadi masyarakat kota Banda Aceh. “Anda lihat bagaimana perilaku orang-orang kaya di kota ini? Mereka bergaya dengan tingkat konsumsi tinggi, belanja dan belanja. Sementara orang-orang miskin di kota semakin tercekik dan terabaikan begitu saja. Uang di Banda Aceh ini kan dikuasai oleh kontraktor, pedagang dan PNS. Mereka ini terbiasa dengan gaya hidup konsumsi yang tinggi. Sedangkan warga lainnya hidup dalam kesulitan. Ini tanda solidaritas sosial kita sedang sekarat,” keluhnya.

“Silahkan datang ke jalan arah Pango, anda akan lihat bagaimana berdirinya beberapa warung makan atau kafe-kafe elit, mobil mewah diparkirkan secara mencolok, di depan masyarakat miskin yang kadang cari makan saja sudah sulit,” sambungnya.

Kondisi tersebut, tambah Affan, menunjukkan individualisme telah terwujud dalam gap-gap yang sangat jauh, baik dalam penguasaan kesejahteraan dan bedanya daya konsumsi.

Baca: Malaysia Pelajari Penerapan Syariat Islam di Aceh

Individualis yang ia maksud lebih ke ciri masyarakat kapitalisitik, di mana kesenjangan kesejahteraan begitu runcing dan pamer kemewahan kelas atas di mana-mana. “Dalam kondisi seperti itu, klaim kota madani sangat sloganisitis, karena persoalan ekonomi masih tampak jelas kontradiktif,” terangnya.

Setali tiga uang dengan pendapat Chairul Fahmi mengenai tingginya angka pengangguran di Banda Aceh. Data yang dirilis BPS Kota Banda Aceh (2015) menunjukkan angka pengangguran terbuka sebesar 12 persen. “Angka yang lumayan tinggi, salah satu faktor kerena peluang kerja masih diasumsikan menjadi PNS atau tenaga kontrak di pemerintahan. Namun ini limited sekali, apalagi pemerintah sudah melakukan meratorium penerimaan PNS,” katanya.

Di sisi lain, lanjut dia, tidak ada industri di kota yang dapat memperkerjakan sejumlah pengangguran. “Untuk unskill person bahkan lebih sulit mendapatkan pekerjaan, atau tidak ada modal untuk berdikari,” kata Chairul.

Mengenai korelasi madani dan konsep adat, juru bicara tim pemenangan Iliza Saaduddin Jamal-Farid Nyak Umar, Zulfikar Abdullah, sepakat pada pentingnya mewujudkan kota madani dengan menyesuaikan konteks pada masyarakat Aceh. “Kehidupan madani mewakili harapan warga Banda Aceh, dikolaborasikan dengan kehidupan masa-masa kejayaan Islam. Tentu tidak serta merta kita ambil mentah-mentah, kita sesuaikan dengan kearifan lokal. Lalu menyandingkan beberapa kesamaan, yakni semangat dalam membela Islam, Jadi bukan (seperti yang orang bilang) memaksakan budaya arab di sini, tentu tidak bisa begitu. Kami lakukan penyesuaian konteks ke-Aceh-an,” katanya pada Pikiran Merdeka, Jumat lalu.

Ia menyadari, masih ada kekurangan dari pemerintah selama memberikan pelayanan kepada warga kota. Namun hal itu semakin dapat diminimalisir, salah satunya dengan terus melakukan harmonisasi antara target pemerintah dan perhatian dari masyarakat. “Artinya, pemerintah menyediakan layanan publik dan masyarakat ikut berperan dalam pemeliharaannya, maka kita akan dapat menemukan kemadanian kita,” tutur Zulfikar.

Dengan sejumlah masalah yang masih mendera warga kota, Affan berharap pemerintah kota Banda Aceh melaksanakan beberapa program awal yang menurutnya cukup penting. “Sebagian terkait dengan transformasi pemikiran warga kota, sebagian terkait tradisi solidaritas yg harus dibudayakan, sebagian terkait pelayanan sosial dasar, pembenahan fasilitas publik, serta adanya kebijakan ekonomi yang mengadopsi hukum common property,” katanya.

Mengutip Gibbs dan Bromley (1989), konsep tersebut dapat dimaknai sebagai sistem kepemilikan yang menjamin akses sekelompok orang terhadap sumber daya yang secara kolektif mereka miliki. “Secerah apapun harapan, tentu dibutuhkan program-program yang tidak hanya berkisar seputar pembangunan fisik yang memoles penampakan kota belaka, akan tetapi juga berjalan seiring dengan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakatnya,” katanya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait