Telah diterbitkan cetak Edisi II (86) 18-23 Agustus 2015.
Sepuluh tahun perdamaiaan telah berlalu. Sisa perang Aceh-Jakarta 32 tahun terekam di ruang memorial perdamaian.
Di atas pintu masuk ruangan itu tertempel huruf Latin dari bahan stainlis, terbaca “Ruang Memorial Perdamaian”. Ruangan ini berada di lantai satu kantor Badan Kesatuan Bangsa, Politik Dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol dan Linmas) Aceh.
Sejak tahun 2013 ruangan itu dijadikan museum perdamaian Aceh, tetapi tertutup untuk umum. Waktu itu, luasnya seperempat sekarang. Ruangan ini merupakan salah satu bagian dari program “melanjutkan perdamaian” dari pemerintahan Zaini-Zakir yang menjabat sejak tahun 2012.
Kepala Kesbangpol dan Linmas, Nasir Zalba, SE mengatakan, pada tahun 2014 bangunan ini diperluas. Sebuah ruangan para staf di samping dijadikan bagian museum. Pada tahun 2015, ruang memorial ini yang isinya terbatas ini pun dibuka untuk umum.
Kesbangpol dan Linmas Aceh berencana memperluas lagi ruangan ini dan menambahkan isinya sampai lengkap. Akan dipasang 3 komputer sebagai penyimpan data secara virtual.
“Kami himbau kepada masyarakat, apabila ada sesuatu yang bernilai sejarah konflik dan damai, mohon hibahkanlah untuk ruangan memorial ini. Kita akan menulis itu punya siapa. Misal, ada seragam tentara GAM, siapa pemakainya dulu, dari mana didapatkan, dan sebagainya. Sumbangkanlah, kita akan masukkannya ke lemari kaca, sebagai bukti sejarah,” kata Nasir.
Sekarang, ruangan ini baru diisi foto-foto tentang peristiwa konflik dan damai. Beberapa tokoh penting yang meninggal dunia karena konflik. Sebuah film dukumentasi. Kalau dihitung-hitung, di bawah sepuluh persen dari yang seharusnya ada.
Yang paling monumental di museum ini adalah adanya senjata GAM yang dipotong. Pihak Kesbangpol dan Linmas Aceh mengirim surat kepada Kodam IM, meminta dihibahkan sepucuk senjata GAM yang telah dipotong. Pihak Kodam menghibahkan 5 senjata, dan 2 granat. Senjata yang tepenggal dua itu baru beberapa hari lalu ada di ruangan tersebut.
Kurator di ruangan ini, Muhammad Mardian, SH, mengatakan, Ruang Memorial Perdamaian Aceh merupakan inisiatif Aceh sebagai bentuk perwujudan penguatan perdamaian bagi seluruh elemen masyarakat, seperti siswa dan siswi, mahasiswa, akademisi, masyarakat umum, dan unsur lainnya.
Ruangan ini ada untuk melayankan informasi tentang sejarah konflik dan proses terjadinya perdamaian di Aceh melalui berbagai alat peraga, seperti senjata, audio visual, foto, buku-buku, maupun hasil penelitian dan artefak di masa konflik.
Pada hari Senin-Selasa 10-11 Agustus 2015 Kesbangpol dan Linmas Aceh memperingati 10 tahun penandatanganan kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara GAM dan RI di Helsinki, ibukota Finlandia.
Kegiatan peringatan itu dilangsungkan di aulanya dan ruang memorial ini, Badan Kesbangpol Linmas Aceh melaksanakan acara Renungan Dan Edukasi Perdamaian. Acara tersebut untuk memahamkan sejarah perdamaian Aceh mulai pra konflik, konflik, dan pascakonflik kepada masyarakat sekarang dan generasi mendatang.
Acara tersebut dihadiri 50 orang, terdiri dari siswa siswi dan guru Sekolah Menengah Umum yang berada di wilayah Kota Banda Aceh. Turut hadir pula Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar dan Tgk Yahya Muaz.
Mardian mengatakan, Ruang Memorial Perdamaian Aceh dapat dipergunakan untuk tempat diskusi, workshop, dan training bagi siapa saja. Pada saat tim Pikiran Merdeka mengunjungi ruangan itu, Rabu, 12 Agustus 2015, Mardian memutar film ‘Merajut Damai Aceh”, sebuah dokumentasi konflik dan damai Aceh dalam bentuk audio visual.
Pada hari itu, ada beberapa orang pengunjung lainya hadir. Mahasiswa dari organisasi kepresidenan mahasiswa UIN Aceh pun terlihat di sana. Selain Mardian, di ruangan yang memiliki pustaka kecil tempat beberapa buku itu, ada seorang lagi kurator, yaitu Wiradmadinata, SH, MH.
Museum Perdamaian Aceh, tentu akan menarik bagi siapapun. Adakah terjadi dinegeri lain, senjata pejuang di sebuah wilayah negara dipotong-potong setelah penandatanganan kesepahaman, sebelum segala sesuatunya jelas? Orang-orang di masa kini dan masa depan mestilah belajar pada peristiwa bersejarah ini.
Kita menunggu hadirnya sebuah museum perdamaian Aceh dengan ukuran yang besar seperti Museum Tsunami Aceh. Kita ingin melihat semua senjata GAM yang dipotong dan atribut lainnya bisa disimpan di sana. Itu bukti sejarah Aceh yang tidak ada di tempat lain.
Belum ada komentar