Kautsar harus rela menyerahkan mahkota Fraksi Partai Aceh kepada Iskandar Alfarlaky. Inikah cara membungkam Kautsar dengan mengasingkannya ke Komisi Agama dan kebudayaan sebagai anggota biasa?
Usai Pilkada 15 Februari lalu, nama Kautsar ramai disebut. Ia dipuji dan juga dicaci. Alasannya, mereka yang mencaci menilai sebagai Ketua Fraksi – Partai Aceh (F – PA) ia dinilai terlalu berani dalam bertindak sebelum mendapat restu dari pimpinan. Salah satu kesalahan Kautsar di mata simpatisan PA, dia terlibat mengatur pertemuan Gampoeng Pieneung antara Irwandi dan Mualem seminggu usai Pilkada. Kautsar diyakini mereka sebagai orang yang mengarahkan Mualem untuk bertemu Irwandi.
Pernyataannya soal koalisi yang salah dipahami sebagaian kalangan juga menimbulkan efek kemarahan di tubuh PA. Mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) itu dinilai terlalu berani. Ia juga dianggap terlalu cepat mengambil keputusan untuk mendinginkan tensi politik usai Pilkada. Kautsar dinilai sering bermanuver sendiri dan dicap sebagai one man show.
Permintaan perombakan di tubuh F-PA tak bisa lagi dibendung. Kautsar yang dinilai terlalu dekat dengan Mualem sehingga membuat resah sebagaian pengurus lain. Ia bahkan sempat diminta untuk dilakukan pergantian antar waktu (PAW).
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang menggelar Sidang Paripurna pada Jumat pekan lalu, akhirnya merombak Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Beberapa komisi berganti dan sebagian masih diisi orang sama. Total ada tiga komisi yang berganti ketua dan tiga fraksi yang mengganti ketuanya.
Pergantian paling mencolok terjadi di tubuh Fraksi Partai Aceh yang merombak total anggotanya. Ketua F-PA yang sebelumnya dijabat kautsar berpindah ke tangan Iskandar Farlaky. Azhari Cage yang beberapa pekan lalu menyatakan mundur malah mendapat posisi baru. Ia kini dipercayakan sebagai Sekretaris F-PA.
Namun semua tudingan itu sejatinya tak terlalu dipersoalkan Kautsar. Sejak awal ia menilai tak ada yang salah atas apa yang ia lakukan. Dalam beberapa kesempatan di media massa, Kautsar juga sudah meluruskan persepsi yang salah atas statemennya. Meski begitu, tak seluruhnya pendukung PA paham dan menerima penjelasan ini. Bahkan, usaha mendongkel Kautsar kian menguat. Tak sedikit juga yang menilai Kautsar salah satu alasan kekalahan PA di Pilkada ini. Pendapat yang tak pernah bisa dipertanggungjawabkan, bahkan pengurus PA sendiri. Buktinya Kautsar tak pernah dipanggil DPA PA untuk “diadili”.
Kini, Kautsar resmi diasingkan. Ia tak dibebaskan dari jabatan apapun di parlemen. Purna tugas sebagai Ketua Fraksi, ia “hanya” ditempatkan sebagai anggota biasa di komisi VII. Di komisi yang membidangi agama dan kebudayaan itu, Kautsar tak akan bisa banyak bicara dengan status anggota biasa.
Wakil Ketua PA Kamaruddin Abubakar alias Abu Razak membantahnya. Kata Abu Razak, Pergantian dalam sebuah fraksi adalah hal biasa. Namun, sejatinya penempatan Kautsar sebagai anggota biasa di Komisi VII ini tak bisa dibantah sebagai upaya membungkam Kautsar. Ia tak dimasukkan ke Badan Legislasi (Banleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Musyawarah (Banmus) maupun Badan Kehormatan Dewan (BKD). Tentunya, ini bukan kejadian biasa, di saat anggota dewan sekarang umumnya menyandang jabatan ganda di DPRA.
Kini, tongkat komando F-PA ada di tangan Iskandar Alfarlaky. Tugas berat menantinya untuk memulihkan kepercayaan publik kepada PA menjelang Pileg 2019. Ia harus mampu mempersatukan kembali F-PA yang kini sudah terbelah ke beberapa faksi akibat perebutan ketua fraksi. Tantangan terbesar bagi Iskandar adalah untuk disiplin dalam berbicara di media. Tahu mana yang patut dan tidak. Hal ini penting karena sebelumnya saat masih duduk di Komisi I, Iskandar hampir selalu menanggapi berbagai isu dan masalah. Ia kerap berbicara di luar tupoksinya sebagai komisi yang membidangi politik, hukum dan pemerintahan. Kini, alumni UIN Ar-raniry ini juga berkewajiban mendisiplinkan anggota F-PA yang selama ini sering bertindak tak sejalan dengan keputusan partai.[]
Belum ada komentar