Dua tersangka sudah ditetapkan, penyidik tengah membidik tersangka lainnya terkait dugaan korupsi desain gedung Kemenag Aceh.
Usai menetapkan dua tersangka, penyidik Kejaksaan Negeri Banda Aceh kembali mengembangkan kasus dugaan korupsi proyek desain kantor Kementrian Agama Provinsi Aceh tahun 2015. Penyidik membidik tersangka lain yang ikut terlibat proyek dengan kontrak Rp1.167.319.000 itu.
Dua tersangka yang sudah ditetapkan yakni Hendra Saputra selaku Dirut PT Supernova Jaya Mandiri (PT SJM) dan Yuliardi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Keduanya sudah diparikasa sebagai tersangka pada Selasa pekan lalu. Pemeriksaan tersebut berlangsung selama selama tujuh jam, mulai pukul 15.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB.
Saat menjalani pemeriksaan, baik Hendra maupun Yuliardi, ikut didampingi kuasa hukum masing-masing. Hendra, Dirut PT SJM ini menyewa tiga pengacara dari Jakarta, sementara Yuliardi didampingi pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan.
Kepala Kejari Banda Aceh Husni Thamrin melalui Kepala Seksi (Kasi) Pidsus Muhammad Zulfan mengatakan kedua tersangka dicerca penyidik terkait perannya dalam proyek desain gedung Kemenag Aceh. Dari keduanya, sebut Zulfan, penyidik masih mencari keterlibatan pihak lain.
“Sampai saat ini masih dua (tersangka), tapi kami sedang melakukan pengembangan. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, tidak tertutup kemungkinan ada penambahan tersangka lain,” ujar Kasi Pidsus Muhammad Zulfan, Kamis pekan lalu, di ruang kerjanya.
Sebelumnya, pada Selasa, 18 April lalu, tujuh penyidik dari Kejari Banda Aceh menggeledah kantor Kanwil Kemenag Aceh. Tim yang dipimpin Kasi Pidsus Muhammad Zulfan didampingi Kasi Intel Himawan dan lima penyidik langsung masuk ke ruangan Kakanwil Kemenag Aceh Daud Pakeh. Saat digeledah, Daud Pakeh tidak berada di tempat.
Penggeledahan kemudian dilanjutkan ke ruangan Unit Layanan Pengadaan (ULP) hingga pukul 11.30 WIB. Dari ruang itu, penyidik menyita sejumlah dokumen menyangkut perencanaan pembangunan Kantor Kemenag Aceh pada 2015. Proyek desain gedung itu dikerjakan PT Supernova dengan nilai kontrak Rp1.167.319.000.
Sejak memulai penyelidikan, papar Zulfan, hanya membutuhkan waktu kurang dari sebulan untuk menaikkan status kasus tersebut ke tahap penyidikan. “Kami tidak main-main dalam kasus ini,” tegas Zulfan.
Dalam proses pengembangannya, tambah dia, penyidik tengah berupaya mencari dan menggali bukti untuk menambah tersangka. Hingga pekan pertama di Juni 2017, penyidik sudah memeriksa lebih dari sepuluh saksi. Teridiri dari pegawai Kemenag dan tenaga ahli dari PT SJM.
“Saya lupa angka pastinya, ada 9 hinnga 12 orang dari pegawai Kemenag yang diperiksa, mulai dari anggota PHO hingga ke atasnya (pimpinan). Masih ada penambahan pemanggilan lagi terhadap saksi-saksi. Ini termasuk juga Kakanwilnya,” sebut Zulfan.
Namun, Zulfan menolak membeberkan materi pemeriksaan. Menurut dia, materi pemeriksanan baru bisa disampaikan ke wartawan setelah penyidik melengkapi berkas perkara ke tahap penuntutan.
“Belum saatnya saya uraikan materi (pemeriksaan) dan menyampaikan ke publik. Yang pasti, ada indikasi tindak pidana korupsi pada perencanaan gedung Kemenag. Ada penyimpangan anggaran dalam proyek ini,” tutur Zulfan.
Penyidik menjerat kedua tersangka dengan Pasal 2 dan 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001. Tersangka terancam pidana maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain tersangka, penyidik juga memeriksa beberapa konsultan perencana dari PT SJM. Tenga ahli yang terlibat dalam kasus ini juga ikut diperiksa. Selain itu, penyidik sudah mendatangani kantor PT SJM di Jalan Daud Beureueh Banda Aceh. Di ruko satu pintu tersebut, mereka membawa beberapa dokumen sebagai barang bukti.
Sementara itu, penyidik juga tengah memeriksa peran dan keterlibatan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Menurut Zulfan, meski saat ini berstatus saksi, Daud Pake selaku KPA dalam proyek itu juga bisa saja ditetapkan sebagai tersangka.
Sejauh ini, Kakanwil Kemenag Aceh ini sudah dua kali diperiksa penyidik. Pemeriksaan pertama dilakukan saat masih dalam tahap penyelidikan dan kedua kalinya diperiksa saat tahap penyidikan.
“Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, bila terdapat dua alat bukti yang sah, maka sudah cukup untuk menetapkan sebagai tersangka. Jika kita lihat dari Pasal 184, yang dimaksud dengan alat bukti adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau dokumen, petunjuk dan keterangan terdakwa di pengadilan,” jelas Zulfan.
KORUPSI BERJAMAH
Berdasarkan analisis Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), indikasi korupsi yang terjadi dalam kasus itu dilakukan secara berjamaah. “Penyimpangan sejak mekanisme tender mengindikasikan bahwa indikasi korupsi itu tidak berdiri sendiri. Ini tentunya ada arahan dari pihak pimpinan,” sebut Alfian, Koordinator Badan Pekerja MaTA.
Karena itu, lanjut dia, kasus tersebut perlu dikawal agar aktornya terungkap. “Semua yang terlibat harus disikat. Jangan ada yang tinggal. Dalam kasus pengadaan barang dan jasa seperitu biasanya Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pasti kena. Kalau tidak, kejaksaan harus bisa memberi klarifikasi kenapa KPA tidak kena. Kita perlu ingat, kasus korupsi seperti ini tak pernah berdiri sendiri,” tambah Alfian.
Ia juga meminta jaksa menelusuri aliran dana dari proyek tersebut. Dalam hal ini, aktor rasuah diketahui pintar bermain dan sangat hati-hati. “Ini juga perlu diusut, jangan diabaikan. Ini jarang sekali ditelurusuri oleh kejaksaan. Dalam kasus ini (Kemenag) kita berharap, jika ada kerugian negara, pihak kejaksaan bisa menelusurinya, termasuk kemungkinan pimpinan menerima aliran dananya. Itu harus diusut,” imbuhnya
Dalam membedah kasus tersebut, kata Alfian, pihaknya masih mendalami peran dan keterlibatan masing-masing pihak. “Kami komit untuk mengawal kasus ini hingga tuntas,” sambungnya.
Berdasarkan penelusuran Pikiran Merdeka, dalam kasus itu, kuat duagaan sejak proses pengusulan anggaran hingga tender adanya kongkalikong pejabat tekait dengan rekanan pemenang lelang.
Indikasi itu tercium sejak munculnya proyek tersebut dalam DIPA 2015. Anggaran pengadaan konsultansi perencanaan sebelumnya tidak masuk DIPA 2015, namun kemudian disisipkan melalui revisi DIPA 2015 yang dilakukan pada akhir tahun. Hal ini menyiasati edaran Menteri Keuangan Nomor S-841/MK.02/2014 tanggal 16 Desember 2014 yang melarang adanya pembangunan gedung negara untuk tahun 2015.
Indikasi adanya campur tangan orang kuat di internal Kemenag Aceh pun sulit dibantahkan. Kalau tidak, mustahil proses pelelangan jasa konsultan perencanaan itu bisa dilakukan pada akhir tahun.
Lalu adanya dugaan pengaturan jadwal pelelangan yang dikondisikan sesingkat mungkin dan tanpa mengikuti ketentuan serta tahapan yang tercantum dalam Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa. Seperti penyimpangan terhadap masa tayang jadwal pengumuman lelang, jadwal pengumuman lelang mulai tanggal 17 November 2015 pukul 22.45 WIB s/d 20 November 2015 pukul 23.59 WIB atau total durasi waktu 3 hari 2 jam.
Selanjutnya, masa penayangan pengumuman lelang untuk seleksi umum yang telah dilakukan pada paket tersebut, juga tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah beserta dengan perubahannya dan Perka LKPP No.1 Tahun 2015 tentang e-Tendering.
Selain itu, masa kerja yang singkat dari selesai pelelangan sampai dengan pencairan anggaran hanya 14 hari kerja juga dinilai janggal untuk pekerjaan senilai Rp1,1 miliar. Selanjutnya, dalam pelaksanaannya diduga banyak kegiatan fiktif yang dilakukan rekanan.
Sumber Pikiran Merdeka di Kejari Banda Aceh mengatakan dalam kasus tersebut penyidik menemukan adanya kegiatan fiktif. Dalam pelaksanaannya, konsultan pelaksana PT SJM memasukkan beberapa item pekerjaan yang dalam pelaksanaannya tidak dilakukan namun tertera dalam kontrak kerja. “Nilainya memang tidak besar, namun itu menjadi pintu masuk,” sebut sumber ini.
Ditetapkannya dua tersangka dalam kasus ini juga mendapat apresiasi dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). “Kami mendesak Kejari Banda Aceh mengusut kasus ini hingga tuntas,” kata Direktur YARA Safaruddin.
Ia berharap, penetapan dua tersangka tak menjadi ending dari korupsi di institusi keagamaan itu. Menurut analisis pihaknya, penyimpangan anggaran proyek tersebut melibatkan pengambil kebijakan di Kemenag Aceh. “Dua orang tersangka hanya pintu masuk saja untuk pelaku lainnya,” sebut Safaruddin.
Dalam catatan YARA, korupsi di bawah lingkup Kemenag Aceh selama ini tidak pernah selesai diusut penyidik, baik pihak kepolisian maupun kejaksaan. Ia mencontohkan, perkara korupsi proyek pembangunan gedung Madrasah Terpadu (Madu) berupa MIN, MTsN, dan MAN di Sabang. “Proyek ini bersumber dari DIPA Kanwil Kemenag Aceh dan DIPA Kemenag Kota Sabang sejak tahun 2005 hingga 2011 sebesar Rp31 miliar,” katanya.
Meski Kejari Sabang sebelumnya sudah menetapkan tiga orang tersangka, sebut Safaruddin, namun hingga kini kasus itu menguap dan tidak sampai ke penuntutan. “Dalam kasus desain gedung ini pun bisa saja terhenti di tengah jalan,” katanya.
YARA mentengarai kasus tersebut melibatkan banyak pihak, termasuk jajaran pimpimpinan di Kemenag Aceh. “Kami dapat info begitu, ada banyak pihak yang terlibat dalam kasus ini. Ini korupsi berjamaah,” tegas Safaruddin.
Sementara itu, Kejari Banda Aceh menargetkan segera melimpahkan kasus itu ke pengadilan dalam waktu dekat ini. “Kami ingin secepatnya dan nggak mau berlama-lama di tingkat penyidikan. Jadi ada kepastian hukum setelah menetapkan seseorang sebagai tersangka,” katanya.
Jika memang terbukti, lanjut dia, bisa langsung menjalani masa hukuman. Begitu juga bila tidak terbukti, bisa dilakukan pemulihan nama baik. “Jadi, status tersangkanya tidak terkatung-katung. Istilahnya tidak ada tunggakan,” tutup Zulfan.[]Arief Maulana
Belum ada komentar