Melirik Kerja Sama Pelayaran Aceh

Melirik Kerja Sama Pelayaran Aceh
Melirik Kerja Sama Pelayaran Aceh

Pelayaran Aceh mati suri. Pemerintah harus membangkitkannya kembali untuk mengoptimalkan pendapatan dari sektor kelautan dan perikanan.

Oleh Iskandar Norman

[dropcap style=”inverted”]B[/dropcap]erbagai Memorandum of Understanding (MoU) tentang pelayaran sudah diusahakan baik oleh pemerintah provinsi, kabupaten/kota maupun pihak swasta, tapi implementasinya masih jauh dari harapan.

Contoh terkini ada di Kota Langsa. Kerja sama pelayaran antara Langsa dan Penang melalui Pelabuhan Kuala Langsa, terkatung-katung sampai sekarang. Padahal fasilitas pelabuhan di Langsa sudah disiapkan dan dinyatakan layak sebagai pelabuhan pelayaran.

Namun ironisnya, ujung-ujungnya kerja sama itu tertunda hanya karena ketaksanggupan Pemerintah Kota Langsa menyewa kapal senilai 650.000 ringgit. Pemko Langsa belum menyepakati perjanjian sewa menyewa kapal tersebut.

Untuk memajukan kerja sama pelayaran, pemerintah bisa menggandeng Asosiasi Saudagar Ikan Aceh (ASIA). Minimal sebelum ada komoditi lain, ikan bisa diekspor ke negeri seberang. Konsumsi ikan yang tinggi membuat sektor perikanan jadi lahan bisnis yang empuk.

Sayangnya sampai sekarang nasib nelayan masih terseok dalam persoalan klasik. Mereka hanya pekerja dengan sedikit upah. Sementara keuntungan tetap milik toke bangku. Setiap tahun ribuan ton ikan segar dari Aceh diekspor ke Malaysia dan Singapura. Parahnya lagi, keuntungan besar dari bisnis ini dinikmati oleh toke-toke besar di Belawan, Sumatera Utara. Tempat ikan basah itu diekspor.

Seandainya kerja sama pelayaran tersebut dilaksanakan, maka ceritanya akan lain. Persatuan Nelayan Negeri Perak (Penggerak) Malaysia datang Oktober 2009 lalu datang ke Aceh menjajaki kerja sama perdagangan ikan. Setiap tahun Malaysia mengimpor ikan segar lebih 150 ribu ton, sebagian besar di impor dari Thailand dan Indonesia. 15 ribu ton di antaranya berasal dari Pelabuhan Belawan. Menariknya, hampir 50 persen ikan segar yang diekspor dari Belawan berasal dari Aceh.

Seharusnya pemerintah daerah bisa menangkap potensi ini dengan memutuskan mata rantai ekspor melalui Belawan. Seyogianya, jika Pemerintah Aceh mampu membangun pelabuhan perikanan yang layak, maka keuntungan dari ekspor ikan ini, murni akan dinikmati oleh daerah. Tidak lagi berbagi keuntungan dengan Belawan. Tentunya, kesejahteraan nelayan akan lebih terjamin.

Bila ini dilakukan, bukan hanya Malaysia, tapi ikan segar dari Aceh bisa diekspor sampai ke Eropa. Sebagaimana pernah diungkapkan Direktorat Pemasaran Luar Negeri DKP Pusat, Yulianto pada Lokakarya Fish Marketing Informasion System, 6 Oktober 2009 lalu di Banda Aceh. Eropa masih banyak peluang untuk pemasaran ikan segar, karena di beberapa negara di sana diberlakukan larangan (moratorium) penangkapan tuna.

Ekspor ikan dari Aceh ke Malaysia memang sudah terbuka, tinggal sekarang bagaimana memutuskan ketergantungan dengan Belawan. Staf ahli Persatuan Nelayan Negeri Perak (Penggerak) Malaysia, Zahri bersama tim dari Penggerak di hadapan nelayan Aceh Oktober lalu mengakui 400 fiber ikan segar dari Aceh per hari mereka terima melalui Belawan.

Penggerak sudah jauh mengembangkan usaha perikanan. Malah mampu melakukan ekspansi ke bidang perkebunan sawit, restoran, perhotelan sampai ke memiliki wakil di parlemen. Potret para wakil mereka di parlemen tersebut terpampang di pelabuhan dan kantor-kantor yang mengurusi nelayan. Sehingga suara nelayan bisa sampai ke dewan. Sementara di tempat kita, nelayan masih jadi kaum kelas bawah.

Apa yang dilakukan Penggerak sebenarnya bisa dilakukan di Aceh. Penggerak awalnya hanya sebuah koperasi kecil yang didanai dari iuran anggota. Yang dengan dana itu kemudian digunakan untuk mensejahterakan nelayan. Ketika nelayan melaut, mereka tidak lagi harus resah dengan persoalan rumah, karena biaya pendidikan dan pemberdayaan istri nelayan diberikan oleh Penggerak.

Hal itu kemudian didukung oleh Pemerintah Kerajaan Malaysia yang membayar tenaga pendidik untuk mendidik anak-anak nelayan di luar jam sekolah. Pendidikan tambahan ini diatur oleh asosiasi nelayan. Pemerintah hanya membayar tenaga pengajar. Pelabuhan yang dibangun Pemerintah Malaysia pengelolaannya juga diserahkan kepada organisasi nelayan dengan didampingi oleh jawatan terkait.

Lebih dari itu, asosiasi nelayan juga mendapat bantuan pinjaman modal dari kerajaan. Dua bulan sekali mereka melakukan pertemuan dengan wakil pemerintah melalui jawatan terkait membahas berbagai persoalan dan hal-hal pengembangan usaha nelayan. Jadi wajar bila kemudian dengan dana dari koperasi yang dikelola dengan baik mereka bisa melakukan ekspansi usaha sampai memiliki restoran, hotel, dan kebun kelapa sawit.

Apa yang dikerjakan oleh Penggerak di Malaysia ini sangat mungkin dilakukan di Aceh. Apalagi setelah terbentuknya Asosiasi Saudagar Ikan Aceh (ASIA) yang telah merintis kerja sama perdagangan ikan dengan Penggerak. Tinggal sekarang bagaimana pemeritah mendorong ASIA untuk mengembangkan usaha perikanan di Aceh, tentu dengan melibatkan Panglima Laot di dalamnya. Sudah saatnya nelayan kita diajari bisnis perikanan. Kalau tidak, maka akan selamanya kita bergantung ke Belawan.

Potensi Lampulo dan Idi

Aceh juga memiliki pelabuhan perikanan yang potensial, seperti Lampulo dan Idi Rayeuk. Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di dua pelabuhan ini setiap harinya menghasilkan puluhan ton ikan segar. Sayangnya potensi ini belum digarap secara maksimal.

Malah untuk kebutuhan es saja belum memadai. Para nelayan di Lampulo setiap hari membutuhkan minimal 60 ton es untuk pengolahan ikan. Selama ini nelayan masih mengalami kendala dalam pengolahan ikan. Akibatnya, nilai jual tidak bisa ditingkatkan.

Pelabuhan Kuala Idi juga mengalami kendala yang sama. Idi merupakan salah satu penghasil ikan terbanyak setelah Lampulo. Ironisnya lagi hasil yang menumpuk tak bisa diolah karena para nelayan di Idi kesulitan es balok sebagai kebutuhan untuk menjaga kualitas ikan tetap segar.

Menurut Sekretaris Jendral ASIA, Zulkifli, hasil laut yang melimpah di Aceh sangat potensial untuk diekspor ke negeri tetangga. Malaysia dan Singapore, dua Negara jiran yang tidak asing untuk warga Aceh dan mungkin juga Indonesia.

ASIA telah merintis kerja sama perdagangan dengan dua negeri jiran tersebut. Namun lagi-lagi realisasinya jalan di tempat karena minimnya dukungan dari pemerintah daerah.

Zulkifli dalam satu kesempatan menjelaskan, dalam satu penjelasan MR Zamri Zan, Pengurus Persatuan Nelayan Negeri Perak (Penggerak) itu, setiap harinya, hampir 30-50 fiber box ikan Aceh masuk ke pelabuhan mereka. Hanya saja, seluruh ikan itu mereka dapatkan melalui salah seorang pengusaha Medan yang berpangkal di pelabuhan Belawan.

Dalam pertemuannya pada tanggal 16 Agustus, Mr Zamri Zan, boarding member Persatuan Nelayan Negri Perak, kembali menegaskan komitmen mereka untuk bekerjasama dengan ASIA dalam bidang pembangunan pabrik es, pembelian tuna dan pengadaan tiga unit kapal kargo untuk tujuan pengangkutan ikan dari Aceh menuju Perak.

Investasi ini dimaksudkan agar organisasi ASIA, sebagai perwakilan perdagangan ikan Aceh dapat berkembang dalam usaha perdagangan ikan dimasa yang akan datang. Disisi lain, jarak tempuh serta waktu yang dibutuhkan untuk mengekspor ikan kepada pengusaha Negeri Perak bisa dipersingkat sehingga kualitas kesegaran ikan dapat dipertahankan sesuai dengan standard kebutuhan ikan segar.

Biaya trasportasi dapat dikurangi dan keuntungan bisa lebih besar lagi. Namun ada persoalan hukum yang masih menjadi pertanyaan bagi para pedagang ikan Aceh, apakah Aceh boleh membuka pelabuhan internasional yang membuat investasi dari Malaysia tersebut tidak sia-sia?.

Melirik Cara Malaysia

Zulkfli bersama tim dari ASIA pernah mengunjungi beberapa pelabuhan perikanan di Malaysia dalam usahanya menjalin kerja sama perdagangan ikan. Katanya waktu itu, berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat Lembaga Kemajuan Ikan Malaysia negeri bagian Perak, Malaka dan Negeri bagian Johor, diketahui bahwa nelayan dan industri perikaan di Malaysia bisa maju karena adanya dukungan penuh dari Kerjaan Malaysia.

Pemerintah Malaysia memberikan pinjaman kepada setiap nelayan sebesar RM75.000, utang tersebut boleh digunakan untuk membeli kapal ikan, berdagang dan atau mengembangkan usaha-usaha lainnya berbasi kelautan. Utang dimaksud disalurkan melalui persatuan-persatuan nelayan yang ada diseluruh negeri bagian. “Setiap nelayan yang ingin memperoleh pelayanan utang dimaksud, haruslah memiliki rekomenddasi dari persatuan nelayan untuk selanjutnya mendapatkan rekomendasi dari LKIM dan lalu menerima pencairan dana dari bank-bank yang ditunjuk pemerintah Malaysia,” jelas Zulkifli.

Selain itu kata Zulkifli, untuk menjamin tidak terjadinya kondisi rawan pangan, pemerintah Malaysia juga memberikan subsidi kepada tiap-tiap KK Nelayan sebesar RM200 sehingga meskipun kondisi usaha nelayan paceklik, minimal kebutuhan pokok mereka dapat dipenuhi dengan mengandalkan subsisi ini.

Pemerintah Malaysia juga memberikan subsidi minyak yang dipakai oleh nelayan sehingga setengah dari harga minyak yang dipakai nelayan ditanggung oleh pemerintah.

Ketimpangan Anggaran

Sektor perikanan menurut Zulkifli masih menjadi andalam untuk mengenjot pendapatan asli daerah (PAD). Berdasarkan data dari DKP pusat, secara nasional sumbangan pendapanan asli nasional dari sektor perikanan dan kelautan sebesar tiga persen, tapi sayang pengembaliannya untuk pembangunan sektor perikanan hanya 1,2 persen saja.

Begitu juga dengan Aceh. Menurut Zulkifli, tahun 2009 ini, jumlah anggaran yang disediakan Negara untuk pembangunan hanya sebesar satu persen saja dari total Rp3 triliun dana pembangunan yang ada.

Ia menyimpulkan, hal tersebut sebagai bentuk ketidakperhatianan pemerintah terhadap pembangunan industri perikanan di Aceh. Bila kondisi ini terus dibiarkan, maka selamanya industri pelayaran dan perikanan di Aceh mati suri.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

WhatsApp Image 2024 11 09 at 09.38.57
Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Aceh Muhammad Diwarsyah, bersama Istri Sukmawati, yang juga menjabat sebagai Ketua Dharma Wanita Persatuan Aceh, berkunjung dan memberi semangat kepada Kafilah Aceh, yang mengikuti MTQ Korpri VII Nasional Palangka Raya, di T'Tara Coffee Aceh, Jum'at (8/11/2024) malam. Foto: Biro Adpim

Plt Sekda: Kami Semua Bangga dengan Perjuangan Kafilah Aceh