Melirik Keberadaan KKR Aceh

Lorong Ingatan 1998-2005 Menata Kenangan Konflik Masa Lalu. (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Lorong Ingatan 1998-2005 Menata Kenangan Konflik Masa Lalu. (Foto PM/Oviyandi Emnur)

Pameran dokumentasi Aceh tahun 1998-2005 tak sekedar melestarikan kenangan tentang konflik bersenjata di masa silam. Di sana, kita juga mengenal lebih dekat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Lembaga yang dibentuk sebagai mandat dari MoU Helsinki 2005 ini resmi melantik tujuh orang komisionernya, 24 Oktober 2016. Pelantikan berlangsung dalam Rapat Paripurna Istimewa DPR Aceh.

KKR Aceh merupakan sebuah mekanisme penyelidikan untuk mengungkap suatu peristiwa. Ia berbeda dengan proses hukum maupun non yudisial, namun hasil ketetapannya memiliki kekuatan hukum untuk ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Ada enam pokja dalam KKR yang akan menjalankan serangkaian mekanisme kerja, antara lain pengungkapan kebenaran, dukungan korban (reparasi dan perlindungan), dan rekonsiliasi.

“Selain mengungkap kebenaran, tujuan KKR yang terpenting ialah mengupayakan tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM dengan korban,” kata ketua KKR, Afridal Darmi yang pernah ditemui Pikiran Merdeka dalam sebuah Diskusi akhir Januari lalu.

Dalam prosesnya, pembentukan KKR memang punya cerita pasang surut. Pada Desember 2006, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR secara nasional dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Proses pembentukannya sebagai mandat TAP MPR Nomor V Tahun 2000 tentang persatuan nasional ini, akhirnya  kandas di tengah jalan. Tapi, seperti kata Galuh Wandita, saat itu MK juga menyebutkan adanya peluang pembuatan kebijakan lain sebagai penggantinya.

Lorong Ingatan 1998-2005, Menata Kenangan Konflik Masa Lalu (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Lorong Ingatan 1998-2005, Menata Kenangan Konflik Masa Lalu (Foto PM/Oviyandi Emnur)

“Jadi saya pikir, apa yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU-PA) dengan pembentukan KKR di tingkat lokal ini, adalah model kelembagaan di mana hak atas kebenaran telah mendapat  tempat,” jelas Galuh.

“Ini (KKR Aceh) adalah bis pertama yang mau melaju, kita berharap akan ada bis–bis yang lain,” tambahnya. Dengan syarat, KKR Aceh ini musti dikawal, jangan disia-siakan.

Anggota Komisi I DPRA, Bardan Sahidi juga sepakat dengan hal ini. Pembentukan KKR merupakan langkah pertama yang berhasil dijejaki. Kini tinggal pelaksanaannya. Maka tak cukup hanya selesai sekali dengan qanun, melainkan harus dikuatkan dengan anggaran.

“Dukungan anggaran sejauh ini masih menggunakan rekening dari Kesbangpol Linmas. Karena polanya perlindungan masyarakat, politik, dan hukum. Tahun depan anggaran akan terus bertambah,” ujarnya.

Kendala lain, seperti kantor sekretariat yang belum jelas turut menghambat operasional KKR. Namun Bardan menjanjikan, itu akan sesegera mungkin diatur dalam SOTK yang nanti menjadikannya sebagai perangkat kerja daerah.

“Komisioner periode pertama ini kan perintis. Secara moral dan politik, komisi I DPRA yang membentuk KKR punya tanggung jawab terhadap keberlangsungan KKR ke depan,” tambah mantan aktivis ini.

Lorong Ingatan 1998-2005, Menata Kenangan Konflik Masa Lalu. (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Lorong Ingatan 1998-2005, Menata Kenangan Konflik Masa Lalu. (Foto PM/Oviyandi Emnur)

Baca : Lorong Ingatan 1998-2005, Menata Kenangan Konflik Masa Lalu

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPRA, Nurzahri pernah menyampaikan, keberadaan sekretariat kelak mempermudah KKR dalam mengatur anggarannya sendiri.

“Kalau sudah ada sekretariat, saya pikir soal anggaran akan mudah diatur, jadi tidak ada titip sana titip sini, harus ada sekretariat khusu yang berisi PNS-PNS yang bekerja memfasilitasi pekerjaan dari KKR, yang mengurus dana APBA,” katanya.

Dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) 2017, Pemerintah Aceh mengalokasikan anggaran sebesar Rp3 miliar. Jauh lebih kecil dari yang semula diajukan KKR dalam Rancangan Kerja 2017, yakni Rp21 miliar. Jumlah anggaran ini dinilai tak sepadan dengan kondisi KKR di awal pembentukannya. KKR butuh sejumlah dana untuk menyokong perangkat kelengkapan lainnya sesuai Qanun Nomor 17 Tahun 2013.

Selain anggaran, tak ada hambatan berarti dalam kerja KKR, menurut Bardan. Namun ia tak memungkiri ada kendala di koordinasi. “Komunikasi saja yang perlu ditingkatkan, selain itu, tinggal menentukan pola-pola kerja, saya lihat teman-teman di KKR ini adalah orang yang progresif,” tndas Nurzahri.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait