Renovasi Masjid Raya Baiturrahman menampilkan kesan gersang. Menyengat di musim panas, kehilangan resapan air di musim hujan.
Cuaca di Kamis siang, pekan lalu, terik, meski sesaat teduh berawan. Di sekeliling pekarangan Masjid Raya Baiturrahman, tampak para pekerja tengah melanjutkan proyek pembangunan. Material-material alat berat, keramik, dan pipa-pipa menumpuk di area depan dan belakang masjid. Dari tempat wudhu, para jamaah melangkah dengan hati-hati, menghindari jalanan becek akibat genangan air, sekitar 20 meter menuju teras masjid.
Sulaiman tak berlama-lama di pekarangan masjid. Usai shalat Zuhur, lelaki ini langsung bergegas kembali ke pasar untuk berjualan. Suasana gersang yang menyelimuti masjid dalam setahun terakhir ini membuatnya tak nyaman.
“Kalau cuaca begini, makin panas saja, pohon di depan mesjid sudah tidak ada lagi,” kata lelaki berusia 50 tahun ini.
Ia juga mengaku, sejak payung-payung elektrik terpasang di sepanjang sisi kanan dan kiri pekarangan, pemandangan mesjid kini terlihat jauh berubah. Sebagai warga biasa, Sulaiman tak memungkiri bahwa pemandangan di tempat ibadah yang rutin ia datangi ini tampak begitu megah.
“Apalagi kalau malam, cahaya lampu di setiap bangunan, dari masjid, kubah, payung, masjid semakin hidup kalau kita lihat,” ujarnya.
Namun, Sulaiman menyayangkan ada pohon yang ditebang karena program perluasan ini. Ia lebih senang jika pepohonan di depan mesjid tetap berdiri, lebih rimbun. “Lebih-lebih kalau siang, pohon-pohon buat lebih sejuk, jadi kita nyaman,” tambahnya.
Sulaiman tak tahu banyak tentang perluasan masjid yang telah berlangsung sejak pertengahan 2015 ini. Ia mengetahui adanya proyek dari gambar yang terpasang di depan masjid, dulu.
“Saya lihat, sangat bagus rencananya. Cuma tidak tahu juga kalau jadi tandus seperti sekarang. Tapi ini juga belum selesai kan, nanti kita lihat bagaimana jadinya kalau proyek sudah siap,” ucap Sulaiman. Baginya, yang penting bisa melaksanakan salat secara berjamaah di dalam masjid, sudah syukur.
Pengunjung Masjid Raya Baiturrahman lainnya, Nida, ikut berkomentar. Ia kecewa dengan desain payung elektrik yang menutupi pemandangan masjid. Ia merasa ada identitas Masjid Baiturrahman yang mulai memudar pada bangunan yang sekarang.
“Kalau dari jauh, dibentangkan payung ini, kubah masjid sudah tak terlihat jelas. Ditutupi payung. Padahal kubah yang berjejer di atas sana, itulah ikon Masjid Baiturrahman yang paling diingat kebanyakan pengunjung,” terang mahasiswi asal Lhokseumawe ini.
Berbeda dengan Nida, seorang jamaah masjid, Ali berpendapat, konstruksi masjid jangan sekedar untuk terlihat megah, tapi harusnya sesuai ikon budaya Aceh.
“Saya harap, perluasan masjid tidak hanya untuk gagah-gagahan saja. Tapi ada ciri khas ke-Acehannya, jadi bangunannya tidak sepenuhnya meniru yang ada di luar,” ujarnya.
Hingga saat ini, proyek pengembangan landscape dan infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman (MRB) telah mencapai lebih dari 90 persen. Sejak dimulai pada tahun 2015, berbagai sarana terus dirampungkan. Seperti lapangan parkir, tempat wudhu di ruang bawah tanah, payung elektrik, dan taman.
Untuk jangka pendek, pembangunan ini menelan anggaran dari APBA sebesar Rp 458 miliar, yakni untuk membangun 12 unit payung elektrik. Di antaranya 6 unit payung elektrik ukuran 12 meter dan 6 unit 24 meter, serta biaya pembangunan basement untuk tempat parkir kendaraan dan tempat wudhu.
“Pengerjaan pembangunan tahap pertama sudah hampir rampung. Mudah-mudahan kerja keras semua pihak serta masyarakat, Insya Allah pembangunan ini dapat diselesaikan sesuai rencana,” demikian disampaikan Gubernur Aceh Zaini Abdullah saat soft launching payung masjid Baiturrahman, Februari lalu, dikutip dari detik.com.
Namun beberapa pihak menilai, rancangan renovasi masjid ini menyimpan banyak masalah. Terutama menyangkut keberadaan ruang hijau yang sebelumnya membentang di pekarangan depan. Desain perluasan masjid dianggap telah melampaui sejumlah konsep yang tertuang dalam skema pembangunan berkelanjutan.
“Saya rasa ada yang keliru di sini, membangun itu kan punya sistem. Bicara pembangunan, kita tak hanya bicara tentang manusia saja. Tapi juga bicara tentang resapan air, bagiamana peran pohon untuk menampung air, menjaga ekosistem agar tetap berimbang, padahal itu juga untuk manusia,” kata dosen Arsitektur dari Universitas Syiah Kuala, Asrul Sidiq saat ditemui Pikiran Merdeka, pekan lalu.
Pembangunan berkelanjutan, sebut Asrul, merupakan satu konsep yang telah disepakati secara umum sejak tahun 2015. Salah satunya bicara mengenai kelangsungan ekosistem daratan. Impelementasinya menyangkut keharusan membangun tanpa merusak ruang terbuka hijau.
“Budaya ramah lingkungan dan energi seharusnya lebih dikedepankan, ini beberapa indikator yang harus dipenuhi, sesuai konsep Sustainable Development Goals (SDGs),” terang Asrul.
Sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, lanjut Asrul, sebuah wilayah perkotaan harus menyediakan proporsi minimal 30 persen untuk ruang terbuka hijau. Dari proporsi itu, sekitar 20 persen disediakan untuk publik.
“Ini kan pemerintah yang semestinya menyediakan itu. Harapan kita ya Masjid Raya salah satu tempat yang menyediakan RTH publik, tapi sekarang lain ceritanya,” ungkapnya.
Ia mengaku prihatin dengan agenda perluasan Masjid Raya yang dalam beberapa hal menurutnya kurang bermanfaat untuk jangka panjang. “Terus terang, renovasi untuk mengatasi masalah parkir, memang sudah tepat. Tapi soal payung elektrik yang operasionalnya nanti akan lebih banyak memakan biaya ke depan, ini yang saya khawatirkan,” ujarnya.
Pemasangan payung juga tidak menjadi solusi tepat menggantikan ruang hijau yang telanjur digerus pembangunan. “Secara ilmiah, sinar matahari hanya dapat dinetralisir dengan daun, dan itu ada pada pohon-pohon. Sekarang digantikan dengan keteduhan payung, ini kan kurang tepat,” katanya.
Payung elektrik yang membentang di sepanjang halaman masjid, didirikan di atas lantai. Untuk itu, perkerasan pun dilakukan, dengan memasang marmer hingga menutup sebagian besar ruang terbuka hijau.
Sementara itu, Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Mirza Irwansyah menuturkan bahwa keberadaan payung dalam pengembangan Masjid Raya adalah solusi menampung jamaah. “Jika ada yang keberatan, harus ada solusi alternatif lain,” katanya.
MENUAI KRITIK
Protes yang mencuat terhadap proyek renovasi Masjid Baiturrahman sebenarnya bukan kali pertama. Di masa-masa awal pengerjaannya, berseliweran tanggapan miring. Di antaranya pernah muncul petisi penolakan kegiatan perluasan Masjid Raya yang digalang melalui situs change.org, pada Agustus 2015 lalu.
Alasan yang dikemukakan beragam. Dari desain yang dinilai tidak sesuai konteks iklim di Aceh, mengancam ruang terbuka hijau, gersang, hingga tidak memenuhinya syarat perluasan suatu wilayah. Karena perluasan biasanya dilakukan pada lokasi yang padat.
“Sementara Masjid Raya selama ini kan tidak penuh setiap saat, hanya pada momen-momen tertentu, seperti salat Id,” ungkap salah seorang yang ikut menandatangani petisi tersebut.
Kritikan yang lebih tegas, muncul di situs www.arsitekno.com. Di situ disebutkan adanya ketidaksesuaian konteks saat renovasi Baiturrahman meniru Masjid Nabawi di Arab Saudi.
“Penggunaan payung tersebut juga tidak sesuai dengan iklim daerah kita yang merupakan iklim tropis basah. Ketika hujan datang, fungsi payung tersebut juga tidak akan berguna, jamaah hanya akan basah, berbeda dengan Masjid Nabawi yang iklimnya subtropis sehingga cenderung mengalami musim panas hampir sepanjang tahun,” ungkapnya, seperti dikutip dari laman habadaily.
Ditambah lagi, jika melihat iklim daerah yang kerap diterpa panas dan hujan silih berganti, membuat material payung tak akan dapat bertahan lama, maka biaya perawatan akan semakin besar.
“Aceh punya karakter sendiri, punya bentang alam yang khas. Jadi tidak bisa menduplikasi total model yang ada di sana, seperti yang kelihatan sekarang. Iklim kita kan tidak sama dengan di Arab. Kita butuh sekali resapan air. Jika RTH tergerus, dikhawatirkan air tergenang,” tambah Asrul.
Sejak protes menguat, sebut Asrul, Keluarga Alumni Fakultas Teknik (KAFT) ketika itu sempat menggelar diskusi kajian kritis. Hadir sejumlah pihak, baik pemerintah, konsultan, hingga praktisi. Yang mencuat adalah minimnya partisipasi publik dalam proses perencanaan dan penyusunan desain Masjid Raya Baiturrahman.
“Masterplan MRB juga tidak melalui beberapa tahapan penting, seperti kajian dari aspek historis, filosofis, dan yuridis,” beber praktisi Rachmatsyah Nusfi dalam diskusi kala itu.
Alhasil, diskusi itu menyimpulkan perlu adanya kajian ulang terhadap desain pengembangan Masjid Raya. Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Mirza Irwansyah mengungkapkan pentingnya penyusunan detil tata ruang kawasan cagar budaya Baiturrahman, guna memperjelas mana kawasan inti dan kawasan pendukung, sehingga perluasan tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang bangunan cagar budaya.
Sepengetahuan Asrul, sudah beberapa kali terjadi revisi pada desain pengembangan Masjid Raya, meski ia tak tahu persisnya. Namun, pihak dari Dinas Cipta Karya enggan memberi tanggapan yang jelas tentang hal ini.
“Tidak ada revisi desain, yang kami kerjakan sesuai dengan perencanaan awal,” ujar Kepala Bidang Tata Bangunan Dinas Cipta Karya Aceh, T Mirzuan kepada Pikiran Merdeka, Rabu pekan lalu.
Ia menolak memberikan keterangan lebih lanjut. Namun ia mengakui, kritikan demi kritikan terus mengemuka terkait renovasi Masjid Raya yang kini tidak lagi memancarkan keteduhan.[]
Belum ada komentar