Telah diterbitkan di PIKIRAN MERDEKA edisi Cetak, akhir Agustus 2015.
Oleh Zahraini ZA
Dosen STKIP BBG (Bina Bangsa Getsempena) Banda Aceh, Alumnus FKIP PKK (Tata Boga) Unsyiah, Pengelola Az-Zahra Boutique, Pengurus Sanggar Keputrian Sulthanah Safiatuddin.
Dalam peringatan maulid Nabi, ranup raya dalam cerana dan bahan makanan lengkap dalam dalong merupakan pembeda hidangan para bangsawan dengan masyarakat umum di Aceh Besar dan Banda Aceh.
Setiap suku bangsa memiliki makanan khas masing-masing dan cara penyajian yang berbeda pula. Aceh, memiliki beberapa jenis makanan khas warisan nenek moyang atau indatu.
Setiap wilayahnya memiliki makanan khas masing-masing. Jenis-Jenis makanan yang disajikan dalam adat atau budaya Aceh, tergantung jenis acara dan siapa pemilik acaranya.
Di antara semuanya, ada persamaan atau perbedaan mendasar jika ditilik dari sudut pandang kelas sosial. Ada masyarakat umum dan ada kalangan bangsawan. Mereka memiliki cara yang sama secara garis besar, namun apabila diperhatikan lebih jauh, maka terlihat beberapa perbedaan.
Tentang budaya atau adat dalam bidang makanan para bangsawan, mari kita simak penuturan seorang bangsawan di Gampong Adat Lamreung, Nuraini binti Husen.
Gampong yang lebih dikenal dengan Lampeuneurut ini berada di kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Pada tanggal 29 April 2013, Lamreung ditetapkan sebagai Gampong Adat oleh Kementrian Dalam Negeri (Mendagri) RI, saat itu jabatan menteri dipegang oleh Gamawan Fauzi.
Penabalan anugerah Kemendagri RI tersebut diwakilkan pada Inayati Sa’aduddin Djamal, kakak kandung Illiza Sa’aduddin Djamal Walikota Banda Aceh periode 2015-2017, yang juga isteri Tarmizi A Karim.
Inayati mengunjungi Lamreung untuk menabalkannya sebagai Gampong Adat secara resmi.
Seorang turunan bangsawan di Gampong Adat Lamreung, Nuraini binti Husen bin Keuchik Saman bin Keuchik Abdullah, Kamis (20/08/2015), mengatakan, kaum bangsawan Aceh biasanya membuat kenduri lebih besar.
Kaum bangsawan membuat kenduri dalam skala besar karena mereka mengundang tamu lebih banyak daripada masyarakat biasa. Bukan saudara dan kerabatnya saja yang diundang, namun orang sekampung, bahkan semukim pun diundang. Untuk menyambut tamu dalam jumlah banyak, tentu persediaan makanan untuk perjamuan pun harus disesuaikan.
“Dalam acara perkawinan, kalangan bangsawan menyediakan beberapa ekor lembu. Jumlah undangan menentukan berapa ekor lembu yang harus disediakan. Biasanya, lembu dipotong sebelum hari acara,” kata Nuraini.
Sebagaimana yang biasa dibuat sekarang, lembu untuk kuah beulangong disembelih oleh masyarakat secara bergotong royong pada waktu sebelum subuh di hari kenduri dilangsungkan. Kuah beulangong adalah daging lembu yang dimasak dengan nangka muda, salah satu masakan khas Aceh Besar dan Banda Aceh.
“Untuk mengolah makanan yang lain seperti daging ayam, kaum bangsawan memotong seekor ayam menjadi empat bagian, dimasak dan dihidangkan. Makanan para bangsawan Aceh lebih lengkap daripada masyarakat umum dan tempat makannya lebih mewah. Begitulah dulu,” kata Nuraini.
Ibu dari enam anak ini mengaku, di zaman sekarang, penyajian ayam potong empat seperti itu sudah membudaya di setiap kalangan, baik itu bangsawan maupun biasa, disajikan saat menyambut mempelai lelaki atau perempuan.
“Kalau pada acara maulid Nabi, orang bangsawan selalu menyertakan ‘ranub raya’, yakni susunan sirih dalam ukuran besar yang disusun dalam cerana. Susunannya berupa daun sirih dalam jumlah banyak, buah-buahan, dan bunga-bunga untuk menghiasi ranup raya,” kata nenek dari lima orang cucu ini, di Gampong Adat Lamreung.
Makanan disajikan dalam dalong besar. Untuk acara maulid, para bangsawan di Aceh Besar dan Banda Aceh, menyajikan lauk pauk yang lengkap. Ada jenis ayam, ikan, daging lembu, dan dilengkapi makanan selingan seperti nasi ketan atau bu lukat pisang peungat, dan srikaya.
Kalau ranup raya dihidangkan di dalam cerana, maka makan-makanan itu dihidangkan dalam dalong, kedua tempat taruh makanan ini terbuat dari kuningan.
Di atas dalong berkaki disusun makanan tujuh lapis di atas tujuh piring ceper yang terbuat dari kuningan. Semakin ke atas ukuran piring tersebut semakin mengecil. Semua makanan di piring dalam dalong itu disusun rapi di dalam glong yang terbuat dari rotan.
Makanan yang sudah disusun tujuh lapis ditaruh ke dalam dalong berkaki yang pinggirnya dihiasi dengan kain. Selain untuk keindahan, kain yang biasanya dipilih warna kuning tersebut berguna untuk penahan piring tipis (ceper). Hidangan kemudian ditutup dengan sange (tudung saji) yang dibungkus dengan kain, dimasukkan dalam glong yang terbuat dari rotan.
Ranup raya dalam cerana dan bahan makanan dalam dalong merupakan ciri khas perbedaan dalam hidangan maulid, mana yang dihantar oleh para bangsawan dan mana yang dibawa oleh masyarakat pada umumnya. Adat semacam ini berlaku di Aceh Besar dan Banda Aceh serta beberapa wilayah lain.
“Makanan untuk kenduri di rumah disesuaikan menurut jenis acara. Kenduri adat berkabung untuk kematian keluarga diadakan mulai malam 1, 2, dan 3 di meunasah. Sedangkan di rumah diadakan pada malam 1,2,3 dilakukan oleh keluarga besan dari yang meninggal,” kata Nuraini.
Pada malam keempat berturut-turut sampai malam keenam dengan sajian makanan agak sederhana diadakan juga dirumah oleh keluarga dan masyarakat.
“Malam ketujuh makanan yang disajikan lebih lengkap dari malam sebelumnya. Sedangkan malam kesepuluh dibuat kenduri yang lebih besar lagi, dengan mengundang tamu-tamu keluarga jauh dan masyarakat sekemukiman,” kata Nuraini.
Untuk kenduri merayakan sunnah rasul dan meukeurija atau pesta perkawinan, kaum bangsawan menyanyikan makanan sangat lengkap dari jenis ikan, daging, sayur-sayuran dengan berbagai jenis olahan.
Penyajian makanan tersebut menggunakan alat-alat khas seperti dalong dan alat saji khusus lainnya. Talam dan bungdam yang terbuat dari kuningan pun selalu menjadi tempat andalan.
Bungdam adalah sejenis tempat air serupa cerek. Benda ini digunakan untuk tempat menaruh air cuci tangan secara dituang, bukan dicelupkan tangan ke dalamnya. Bungdam juga digunakan untuk menaruh air pada acara meulike maulid, kemudian air tersebut dibagi-bagikan untuk diminum sebagai obat.
Selain menggunakan benda yang terbuat dari logam kuningan, tempat menyajikan makanan, terutama lauk-pauk, para bangsawan Aceh juga menggunakan tembikar.
Kebangsawanan di Aceh
Bangsawan Aceh, kini tinggal namanya. Sekarang, mereka hanya dikenal dengan julukan nama besar klan di depan nama mereka, bagi yang masih memakainya. Sebagian lagi malah tidak memakai nama kebesaran klan tersebut.
Di antara nama besar klan itu, ada Teuku, Tuwanku, Sayyid, dan Syarif bagi lelaki, dan Cut, Po Cut, Cut Nyak, Cut Putroe, dan Syarifah bagi perempuan.
Masing-masing sebutan tersebut ditujukan kepada orang dengan kategori tertentu. Jabatan di masa kesultanan dan perkawinan mempengaruhi sebutan sehingga semua bisa berubah. Satu hal yang pasti, semua sebutan kebangsawanan itu diberikan kepada keturunan bangsawan yang tidak menjadi sultan atau raja.
Nuraini mengisahkan bahwa di waktu puluhan tahun silam, makanan orang Aceh masih khas. Bangsawan Aceh bersama ulama, di masa sebelum ini, berpengaruh besar dalam membangun negeri.
Kakek buyutnya sendiri, Keuchik Abdullah, membangun meunasah dengan harta sendiri di dekat rumahnya, dan dibantu masyarakat sekitar saat itu. Kemudian ia mewaqafkan bangunan tersebut bersama halamannya yang luasnya sekira seribu meter, untuk gampong. Pemimpin di masa silam membangun wilayah dan masyarakatnya dengan harta sendiri.
Di generasi berikutnya, beberapa tahun sebelum smong (tsunami) 26 Desember 2004, adik Nuraini yang bernama Aiyub bin Husen, mewaqafkan tanahnya yang terletak bersisian dengan tanah meunasah. Setelah tanah Aiyub diwaqafkan, halaman meunasah semakin luas dengan bentuk hampir menjadi segi empat.
Pengalaman Nuraini ini mengingatkan kita pada sejarah Tgk Chik Awee Geutah, juga Habib Bugak dan banyak orang lain yang mewaqafkan rumah untuk persinggahan orang berhaji di Mekkah. Rumah-rumah itu masih ada sampai sekarang.
Selain itu, banyak lagi waqaf kaum bangsawan, misalnya sebagaimana yang dikabarkan sejarawan tentang apa yang dilakukan seorang ulama turunan Turki, Tgk Di Anjong, di Peulanggahan, Banda Aceh. Ia membangun beberapa buah mesjid, di antaranya di Banda Aceh, Krueng Raya, dan wilayah Pidie.
Kaum bangsawan di Aceh merupakan pembangun dan pengabdi bagi kepentingan umat, berbeda sangat dengan kaum feodal kapitalis. Kaum bangsawan dan ulama membangun mesjid dan tempat umum lainnya.
Kebangsawanan di Aceh mulai kehilangan pamornya setelah Aceh diserang oleh Belanda pada 26 Maret 1873. Namun apabila para turunan bangsawan sekarang kembali kepada gunanya sebagai pelindung masyarakat, niscaya kebesaran mereka akan kembali.
“Peunajoh timphan, piasan rapai,” kata Nuraini.*
[PM005]
Belum ada komentar