PM, Banda Aceh – Mahasiswa di Aceh menyayangkan aksi saling berbalas pantun antara Gubernur Aceh maupun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) belakangan ini. Mereka menilai, perdebatan yang diperlihatkan kedua elit pemerintahan di media sosial itu sebagai tindakan yang memalukan dan tak layak diteladani.
“Mahasiswa kemarin minta pemerintah merespon masalah sawit di Aceh yang kini kian menyengsarakan petani, tapi elit ini malah berdebat di media sosial mengenai hal yang tidak penting,” kata ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fisip UIN Ar-Raniri, Hafijal kepada pikiranmerdeka.co, Senin (2/7).
Ia juga dengan tegas mengatakan, “Jangan beri contoh yang tidak baik kepada kami generasi muda, Pak.”
Hafijal menjelaskan, beberapa hari yang lalu DPRA melaksanakan rapat paripurna istimewa dengan agenda mendengar jawaban Gubernur Aceh terhadap hak interpelasi DPRA. Sejatinya, hak interpelasi merupakan permintaan keterangan kepada pemerintah terkait kebijakannya yang urgen dan strategis serta berdampak luas terhadap kemaslahatan orang banyak.
Akan tetapi, yang terjadi saat ini Gubernur dan DPRA malah saling berbalas pantun dengan membuka aib dan saling mempermalukan satu sama lain, sehingga masyarakat Aceh dibuat bingung.
Selain itu, Sekretaris Umum DEMA Fisip UIN Ar-Raniri Ilham Maulidis Sabri mengatakan, tidak etis rasanya melihat Gubernur dan DPRA yang sama-sama dipilih oleh rakyat tapi lebih suka menghabiskan energi dalam hal-hal yang tidak penting.
“Tindakan memalukan itu sama sekali tidak sejalan untuk menyejahterakan rakyat berdasarkan fungsinya masing-masing,” kata Subri.
Dia menilai, apa yang dipertontonkan oleh Gubernur dan DPRA itu semakin membuat masyarakat Aceh hilang kepercayaan terhadap kedua belah pihak.
“Selayaknya etika kepemimpinan dijunjung tinggi oleh para elit pimpinan di pemerintahan Aceh untuk kesejahteraan orang banyak,” katanya.
Mahasiswa mengharapkan gubernur dan DPRA mampu menjadi suri tauladan bagi generasi muda dan mahasiswa agar lebih bijak dalam menyikapi segala permasalahan.
“Sebaiknya, mereka lebih fokus kepada pembangunan daerah serta menjawab persoalan-persoalan esensial masyarakat Aceh yang harus diselesaikan segera,” pintanya.
Persoalan yang dialami masyarakat masih sangat kompleks. Ia menyebut kemiskinan, pengangguran, narkoba yang menjerat generasi muda, peningkatan infrastruktur di daerah yang tertinggal, persoalan listrik yang menjadi masalah klasik setiap tahunnya, dan persoalan harga padi juga sawit yang tidak stabil dan sering turun ketika menjelang panen raya.
“Ini yang harus ditanggapi serius,” timpal Ketua Kajian Aksi dan Advokasi DEMA Fisip, Heri Artanoga.
Terakhir, kata Heri, pasca konflik dan Tsunami masyarakat benar-benar mengharapkan kondisi Aceh yang damai, aman, nyaman serta perilaku elit politiknya yang santun, beretika, bersinergi dan tidak saling balas pantun.
“Sehingga pembangunan di Aceh benar-benar terealisasi secara efektif dan efesien dan benar-benar terasa di kalangan masyarakat lapisan bawah,” tandasnya. []
Reporter: Armiya
Belum ada komentar