Lirih pilu Muslina menggugah nanuri kemanusian siapa saja. Ia harus melewati hari-hari nestapa bersama tiga anak setelah kematian tak wajar Keuchik Mukhlis.
Puluhan warga desa duduk bersila nyaris di sepanjang lantai papan rumah panggung yang kayunya makin tua dan usang. Dari sisi atap pelepah rumbia yang mulai bocor, tampak guratan awan kelabu tengah menudungi gampong. Petang pun tak kalah pudar, sesekali memancarkan semilir, di tengah pendoa yang masih menengadah pada sang pemilik kodrati. Mereka terus berharap ada ketenangan ditiupkan di rumah keluarga yang kini ditimpa malang.
Dalam sedu, perempuan pemilik rumah, Muslina tak kuasa menahan tangis, apalagi saat menatap mata ketiga anaknya yang pilu karena kehilangan sang ayah, bertanya-tanya perihal mair yang datang tanpa disangka. Saat bicara, suaranya agak tertahan-tahan.
“Mana mungkin suami saya bandar narkoba, Anda bisa lihat kondisi rumah kami,” ujar perempuan berusia 32 tahun ini.
Kondisi tempat tinggal mendiang Mukhlis Hadi alias Pokle, memang amat memprihatinkan. Tak seperti bandar narkoba yang kebanyakan hidup bergelimang aset mewah, rumah ini justru terlihat seperti gubuk reyot. Berdiri selama 15 tahun di atas tanah milik orang tua Muslina, tak pernah ada perabotan baru di dalamnya. Setiap dinding papan dari bilik depan, kamar, hingga dapur yang seluruhnya berukuran sekitar 7×10 meter ini tak luput dimakan rayap.
Rumah panggung Mukhlis ini berada di Gampong Blang Rambong, Kecamatan Banda Alam. Desa ini berjarak kurang lebih 15 kilometer dari pusat kota Idi, Aceh Timur. Saat tiba di rumah duka, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Aceh Timur, Basri yang mendampingi Pikiran Merdeka disambut oleh Anwar, adik kandung Mukhlis.
Di hari ke tujuh, suasana rumah sedang ramai-ramainya. Warga menggelar samadiah. Di tengah-tengah mereka juga tampak hadir Tuha Peut Gampong, Zainuddin dan Kepala Dusun, Salmadi.
Beberapa warga kepada Pikiran Merdeka menuturkan, almarhum yang juga menjabat sebagai Keuchik Blang Rambong semasa hidupnya dikenal penyabar dan sangat peduli pada warga gampong.
“Bahkan beliau dengan warga tidak pernah ada selisih paham maupun kendala lainya,” ujar salah seorang warga.
Dalam keseharian, tak terlihat ada gelagat mencurigakan di diri Mukhlis. Dalam kesehariannya, kadang ia menyambangi Gampong Benteng, desa tetangga sekedar untuk minum kopi. Sesekali ke kantor Kecamatan Banda Alam untuk berkordinasi sehubungan dengan pekerjaannya sebagai keuchik.
Baca : Setelah Keuchik Mukhlis Diterjang Peluru
“Paling hanya sesekali ke Kota Idi, itupun jika ada keperluan dan ke kantor bupati, sesudah itu suami saya hanya sibuk ke kebun mengurus ladang sawit dan ke sawah,” imbuh Muslina.
Hidup dengan serba kekurangan, Keuchik Mukhlis tetap giat mencari nafkah untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Selain menjadi kepala desa dengan pendapatan yang pas-pasan, ia bekerja sambilan dengan berkebun di ladang sawit.
“Untuk makan saja kami susah. Jika benar apa yang ditudingkan mungkin bukan begini kondisi kehidupan saya, sangat morat-marit,” katanya menahan isak tangis.
Selama belasan tahun Muslina belum pernah menerima bantuan dari pemerintah. Keringanan hanya datang dari Dayah Darul Huda di Idi Teunong, balai pengajian tradisional setempat, yang bersedia menampung tinggal seorang anaknya yang paling tua.
“Karena dayah itu mau terima anak kurang mampu dan anak yatim piatu, jadi putri saya tingal di dayah, karena kami keluarga kurang mampu. Kalau tidak ditambah dari penghasilan sawit di kebun, mungkin kami tidak makan,” ucapnya.
Peristiwa naas menimpa Keuchik Mukhlis Hadi di hari Jumat, 24 Februari lalu. Usai salat ashar, dari rumahnya ia beranjak pergi mendatangi dua pria yang sebelumnya telah menunggu di sebuah warung kopi di Gampong Seunebok. Setibanya di sana, mereka duduk saling berhadapan.
“Belakangan diketahui kalau mereka (kedua pria) itu adalah anggota polisi,” ujar Perwakilan YARA, Basri kepada Pikiran Merdeka.
Selang beberapa menit mereka mengobrol, dari arah Kota Idi melaju sebuah sepeda motor yang dikendarai dua pria lainnya datang ke arah warung. Kemudian disusul satu mobil minibus, yang di dalamnya ada beberapa anggota polisi.
“Lalu beberapa orang turun, kemudian mereka menghampiri Mukhlis, mereka menodongkan senjata, ia diminta angkat tangan,” kata Basri.
Baca : Menyingkap Tabir Kematian Murtalamuddin
Menurut kesaksian warga yang berada di lokasi, saat itu Keuchik Mukhlis bangkit dari duduknya dan mengatakan, “Apa salah saya?” Kemudian polisi yang menodong pistol makin lantang memerintah lagi, ”Tiarap kamu!” kata Basri meniru cerita warga yang menyaksikan langsung kejadian itu.
Polisi lalu menyebutkan barang bukti narkoba jenis sabu-sabu yang sudah ada dalam mobil mereka. Masih menurut keterangan warga, lanjut Basri, Mukhlis saat itu masih tenang, namun tidak mau didekati oleh anggota polisi tersebut. Perlahan ia lalu mulai bergerak mundur dan bergeser hingga sampai di belakang kedai.
Dor..Dor! saat itulah tiba-tiba ia ditembak mengenai paha dan bahu kirinya. Mukhlis pun rebah, ia jatuh ke area sawah di belakang warung. Polisi langsung menghampirinya, saat itu pula mereka memperlihatkan sabu yang diambil dari mobil. Melihat keadaan korban yang sekarat, anggota polisi yang lain lalu berkata kepada warga di sekitar warung.
“Bila ada yang bertanya, bilang kami dari Polda ya,” tegasnya.
Mukhlis dilarikan ke Rumah Sakit Graha Bunda, Kota Idi. Sampai di sana, rumah sakit swasta tersebut menyatakan tak sanggup menangani luka parah yang diderita korban. “Akhirnya mereka (polisi) membuat rujukan ke RSU Zainoel Abidin Banda Aceh, namun beberapa jam perjalanan hingga Panton Labu, Kabupaten Aceh Utara, korban menghembuskan nafas terakhir dalam kondisi tangan masih terborgol,” jelas Basri.
Dalam kondisi yang tak bernyawa lagi, Mukhlis dibawa ke RSUD Cut Meutia, Lhokseumawe, untuk menjalani visum. Di sanalah Muslina pertama kali melihat jasad Mukhlis yang sudah terbujur kaku.
Bersambung ke halaman 2
Belum ada komentar