Banyak pihak mempersepsikan Bank Aceh sebagai ‘lintah darat’ berkedok perbankan. Pratik riba dengan mencekik rakyat.
Nana, sebagai seorang pegawai negeri sipil bergaji tak seberapa, merasa butuh mengambil kredit rumah di Bank Aceh (Bank BPD Aceh). Dia ingin memiliki rumah sendiri untuk hidup nyaman.
Pada Desember 2015, dia mengurus pengambilan kredit di Bank Aceh. Dia mengambil plafond Rp160 juta untuk jangka waktu pelunasan 15 tahun.
Dengan nominal sebesar itu, setiap bulannya dia harus mengangsur tagihan kredit ke Bank Aceh sebesar Rp2,5 juta lebih, terdiri atas cicilan pokok Rp620 ribu ditambah bunga Rp1,9 juta.
“Saya sempat menawarkan agar bunganya jangan terlalu besar, tapi setelah berkali-kali saya minta, pihak Bank Aceh tidak mau menguranginya,” cerita Nana, kepada Pikiran Merdeka (23/04/16).
Guru sebuah SMP di Banda Aceh itu sangat terbebani hidupnya dengan mengambil kredit tersebut di Bank Aceh. Saban bulan, dari gaji pokoknya Rp3 juta, sebanyak 70 persen lebih lari ke Bank Aceh, sehingga hanya tersisa Rp500-an ribu.
“Rupanya sama-sama memberatkan dengan saat saya mengambil kredit di Bank Aceh Syariah dulu,” ungkapnya.
Sebelum pengambilan kreditnya pindah ke Bank Aceh pada akhir tahun lalu, Nana terikat kredit di Bank Aceh Syariah untuk jangka waktu lima tahun, dengan plafond Rp100 juta.
Usai melunasi kredit terdahulu, ia pindah ke Bank Aceh dengan harapan beban cicilannya sedikit lebih ringan. Tapi sejauh ini, kondisinya sama saja. “Kalau kita bilang memberatkan, ya, pasti memberatkan nasabah. Tapi harus bagaimana lagi, karena sudah terlanjur,” tuturnya.
Nana sebenarnya bisa menerima beban cicilan kredit itu dengan lapang dada jika saja Bank Aceh memanfaatkan uang dari sejumlah kredit konsumtif PNS di bank pelat merah itu untuk membantu Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) di Aceh.
Belum ada komentar