Lingkungan dan Satwa Terancam, WALHI Tolak Proyek PLTA Samarkilang

M Nur Direktur Eksekutif Walhi Aceh 1
Direktur Eksekutif WALHI Aceh, M Nur. (Foto/Ist)

PM, Banda Aceh – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Samarkilang 82 MW di Kabupaten Bener Meriah. Mereka menilai, pendirian pembangkit tersebut abai terhadap perlindungan lingkungan dan potensi konflik satwa.

Dalam keterangan resminya, Direktur Eksekutif Walhi Aceh, M Nur mengkritik kajian Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) proyek ini. Menurutnya, tidak ada jaminan perlindungan khusus terhadap kelangsungan satwa dan bencana alam dalam dokumen analisis PT Bener Meriah Electric Power, selaku perusahaan pembangun PLTA Samarkilang itu.

“Jika pun ada, hanya pengelolaan pada tahap konstruksi, sedangkan pada masa operasi produksi, perusahaan tersebut hanya melakukan upaya penggiringan jika terjadi konflik dengan manusia,” ujar M Nur, Selasa (26/1/2021).

Menurut Walhi, parameter keberhasilan dari pengelolaan lingkungan hidup tidak terbatas pada dampak terhadap manusia. Namun juga perlu melihat kondisi spesies lain, dalam hal ini perlindungan satwa di sekitarnya.

Sebelumnya, PT Bener Meriah Electric Power berencana membangun PLTA Samarkilang di Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah. Sedangkan dan jalur transmisinya akan berada di Kabupaten Aceh Tengah. PLTA ini menggunakan aliran sungai Krueng Jambo Aye, yang hilirnya sampai ke kawasan Aceh Utara dan Aceh Timur.

Adapun luas areal pembangkit ini bakal mencapai 123 hektar, mencakup kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain (lahan masyarakat). Sejauh ini rencana pembangunan proyek sudah sampai pada penyiapan Amdal.

Sementara dari hasil kajian Walhi, lokasi itu berada dalam kawasan habitat satwa dilindungi jenis Mamalia yaitu, Badak Sumatera, Beruang Madu, Gajah, Harimau Sumatera, dan jenis satwa terancam punah lainnya. Sehingga kehadiran proyek energi akan berkontribusi terhadap kelangsungan habitat mereka.

“Ini masalah serius dan jadi pintu masuk pemusnahan satwa kunci yang menjadi kekayaan alam di Aceh. Artinya, pembangunan PLTA Samar Kilang tidak memiliki nilai keadilan ekologis, karena hanya mengedepankan kepentingan ekonomi dan investasi,” tegasnya.

Kajian Regulasi

Secara aturan, Walhi Aceh melihat lokasi pembangunan PLTA Samar Kilang tidak terakomodir dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh Tahun 2013 – 2033. Namun jika pun revisi qanun nanti bakal mengakomodir pembangunan itu, menurut M Nur juga belum cukup.

“Karena pembangunan ini berada di dua kabupaten, tentunya harus berpedoman pada tata ruang provinsi,” ujarnya.

Kecamatan Syiah Utama atau lebih dikenal dengan Samarkilang merupakan daerah yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Kajian Walhi Aceh, kawasan ini memiliki area hutan lindung, hutan produksi, taman buru, dan kawasan perlindungan sempadan sungai. Artinya, Samarkilang memiliki peran penting tidak hanya sebagai penyangga kehidupan manusia namun  juga habitat satwa kunci yang ada di Aceh.

M Nur mewanti-wanti, jangan sampai kehadiran investasi ini justru jadi masalah baru bagi Samarkilang, di tengah beragam persoalan lainnya yang belum tuntas. Masalah itu pula yang membuat Samarkilang terus tertinggal dari daerah lainnya di Bener Meriah.

Lokasi PLTA Samarkilang sebenarnya berada dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) sesuai KepmenLHK No.4945/MenLHK-PKTL/IPSDH/PLA/1/8/2020. Meskipun terdapat instruksi presiden yang membenarkan pembangunan tersebut atas dasar kegiatan vital dan strategis, namun Walhi mempertanyakan konteks kebutuhan daerah terkait pentingnya PLTA itu.

“Bukankah untuk kepentingan pemenuhan energi di Aceh sudah cukup banyak pembangkit energi yang sedang dibangun?” kata dia.

Di sisi lain, menurut kajian Walhi lagi, PLTA Samarkilang juga tidak termasuk Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT. PLN Tahun 2019 – 2028 berdasarkan Kepmen ESDM No.39K/20/MEM/2019.

“Artinya PLTA Samarkilang di luar perencanaan PT PLN dalam agenda pemenuhan kebutuhan listrik nasional,” imbuhnya.

Seharusnya pembangunan proyek energi di Aceh bukan bersifat pemerataan proyek, tapi berdasarkan kebutuhan. Mereka menduga proyek PLTA Samarkilang tampak sebagai kepentingan bisnis segelintir orang yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Padahal, masih banyak potensi lain di kawasan tersebut.

“Bener Meriah memiliki potensi yang luar bisa di sektor riil, seperti pertanian dan perkebunan. Seharusnya pemerintah kabupaten dan provinsi fokus pada peningkatan produktivitas. Mereka juga harus menjamin harga pasar terhadap komoditas tersebut manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat,” pungkasnya. (*)

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait