Lika-liku Pers Nasional (Editorial)

Lika-liku Pers Nasional (Editorial)
ILUSTRASI (FOTO:beritaone.com)

Setiap tanggal 9 Februari, seluruh pelaku media, baik perusahan pers, organisasi wartawan, dan praktisi jurnalistik memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Untuk tahun ini, puncak peringatan HPN digelar di Kota Padang, Sumatera Barat, dengan dihadiri Presiden Jokowi beserta sejumlah menteri ini.

Berbagai isu berkembang di arena HPN kali ini. Satu di antaranya adalah upaya mengembalikan marwah pers nasional sebagai pilar ke empat demokrasi, serta menjadikan pers sebagai alat pemersatu bangsa.

Kita akui, kualitas pers nasional di era reformasi memang lebih variatif, bebas, dan keterbukaan informasi lebih baik dibandingkan jaman orde baru. Di sisi lain, kita juga prihatin dengan maraknya kehadiran media abal-abal dan menjamurnya wartawan kutu busuk yang menyemakkan ranah pers tanah air.

Sementara itu, nasib pekerjaan pers profesional pun masih miris bila ditinjau dari penghasilan. Gaji wartawan di Indonesia masih menempati urutan bawah dibandingkan negara-negara maju di Asia. Apalagi bila disandingkan dengan negara-negara di Amerika dan Eropa, gaji wartawan kita cukup jauh di bawah mereka.

Meski begitu, insan pers di tanah air terus tumbuh dan berkembang sesuai perkembangan masyarakat. Karena, bila persoalan gaji digunjingkan, bukankah bila dihitung-hitung gaji guru, gaji polisi, bahkan gaji dokter—yang digaji pemerintah—juga dianggap tidak cukup dan tidak sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup sekarang?

Bila kita melongok kehidupan wartawan, persis seperti kehidupan elemen lain dalam masyarakat. Banyak yang sudah menikmati kemapanan hidup, setidaknya tidak seperti masa lalu. Apalagi insan pers yang mampu berbicara dan masuk dunia politik. Mereka kemungkinan besar lebih beruntung. Kemudahan memperoleh informasi, bila bisa dimanfaatkan, kadang memang bisa membawa keberuntungan lebih, bila moralitas, tanggung jawab dan rasa malu bukan suatu yang penting dipertahankan.

Sama persis dengan elemen lain, dan tidak ada yang aneh untuk ukuran negeri ini. Dalam masyarakat juga tidak pernah menjadi bahan gunjingan. Tapi justru menjadi ungkapan yang wajar. Sama wajarnya saat melihat pegawai negeri bergaji pas-pasan tapi bisa membuat rumah mewah dan mobil banyak.

Pers, telah mewarnai perjalanan dan martabat bangsa ini. Dunia jurnalistik sebagai bagian dari sebuah pekerjaan memang penuh lika-liku. Mulai dari penghasilan hingga “kehormatan” bisa saja diperoleh dengan cara tidak wajar.

Berbagai persoalan yang melilit pers nasional saat ini harus dicarikan jalan keluarnya. Ini menjadi tanggung jawab kita semua. Tidak hanya perusahaan pers dan organisasi wartawan, tapi juga menjadi kewajiban , praktisi dan pemerintah agar terciptanya pers yang sehat dan berkualitas.

Karena itu, melalui momen Hari Pers Nasional 2018, kita harus menata kembali kehidupan pers tanah air. Mengembalikan marwah pers sebagai pilar ke empat demokrasi, demi terciptanya masyarakat Indonesia yang cerdas sekaligus kritis dalam menapaki era serba digital ini.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait