PM, Tamiang – Sebanyak 25 warga Desa Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Aceh Tamiang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor (Polres) setempat dalam konflik pertanahan yang terjadi antara warga dengan PT Rapala. Sebelumnya, puluhan warga tersebut telah menjalani pemeriksaan selama sepekan, terhitung sejak 2 Juli hingga kini, Jumat (6/7).
Penetapan status tersangka terhadap 25 warga ini atas dugaan tindak pidana menguasai lahan atau rumah tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 jo Pasal 5 Perppu Nomor 51 Tahun 1960. Tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh mengatakan, sejak 8 Februari 2018 lalu tersiar kabar bahwasanya PT Rapala akan melakukan pengusiran terhadap warga. Lantaran perusahaan mengklaim wilayah desa Perkebunan Sungai Iyu masuk ke dalam objek HGU (Hak Guna Usaha) mereka.
“Bahkan, PT Rapala meminta bantuan kepolisian untuk mengusir warga,” kata kuasa hukum warga dari LBH Banda Aceh, Chandra Darusman dalam siaran persnya, Jumat (6/7).
Konflik antara warga Perkebunan Sungai Iyu dengan PT Rapala diketahui telah berlangsung sejak lama. Chandra memastikan desa Kebun Sungai Iyu terdaftar, legal, dan diakui eksistensinya secara hukum.
Melansir aceh.tribunnews.com, kepala desa Kebun Sungai Iyu, Ramlan mengatakan, lahan tersebut sejak dulu merupakan wilayah mereka. Klaim ini diperkuat dengan SK Gubernur Aceh Nomor 140/911/2013 tentang penetapan nama dan nomor kode wilayah administrasi pemerintahan kecamatan, mukim dan gampong di Aceh dengan nomor kode wilayah 11.16.02.04.2013 dan luas wilayah kampong ini mencapai 10,7 hektar, termasuk lahan yang diklaim milik PT Rapala tersebut.
“Desa ini berdiri sejak 1953 dan merupakan desa definitif serta terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dan terdata pula dalam SK Gubernur Aceh. Keberadaannya jauh sebelum terbit HGU PT Parasawita untuk pertama kalinya tahun 1973 dan diperpanjang pada tahun 1990, yang kemudian beralih pada PT Rapala di tahun 2013,” papar Chandra.
Sebenarnya, LBH bersama perwakilan masyarakat telah melakukan komplain nasional terkait masalah ini pada Oktober 2017 silam. Komplain tersebut dengan cara menyampaikan pengaduan secara resmi ke sejumlah institusi, diantaranya Kementerian Dalam Negeri RI, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan Kantor Staff Kepresidenan RI.
“Padahal hingga saat ini proses penyelesaiannya masih berlangsung, seharusnya setiap pihak menghargai proses tersebut,” ujar Chandra.
Tindakan Keliru
Langkah Kepolisian Resor Aceh Tamiang yang telah memanggil, memeriksa, bahkan menetapkan status tersangka terhadap 25 masyarakat desa Perkebunan Sungai Iyu terkait dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 jo Pasal 5 Perppu Nomor 51 Tahun 1960, adalah keliru dan tidak dibenarkan menurut hukum. Karena aturan yang digunakan bukanlah aturan yang melegitimasi kewenangan penyidik Kepolisian.
“Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 51 tahun 1960 murni kewenangan Menteri Agraria dalam menyelesaikan permasalahan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Hal tersebut selaras dengan pengaturan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1), (2), dan (3) Perpu Nomor 51 Tahun 1960 yang mengatur bahwa penyelesaian permasalahan mengenai pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya diselesaikan menurut ketentuan, mekanisme dan prosedur yang ditetapkan oleh Menteri Agraria, bukan melalui mekanisme hukum acara pidana yang dilakukan oleh pihak Kepolisian,” kata Chandra.
Dalam ayat (2) Perpu tersebut ditegaskan bahwa, Menteri Agraria memiliki kewenangan penuh dalam melakukan berbagai tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah. Artinya, sambung Chandra, Perpu Nomor 51 tahun 1960 mengatur mengenai pemberian kewenangan hanya kepada Menteri Agraria dalam melakukan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan permasalahan pemakaian tanah tersebut. Apabila ada instansi lain yang melakukan tindakan tersebut, menurutnya harus atas persetujuan dan ditunjuk langsung oleh Menteri Agraria. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3).
“Kami menilai menilai tindakan Kepolisian memeriksa warga baik sebagai saksi maupun tersangka, tidak diperkenankan dalam hukum. Sehingga menurutnya patut dianggap sebagai upaya intimidasi bahkan kriminalisasi terhadap warga yang masih memperjuangkan tanahnya,” kata dia.
Selain itu, pihak LBH juga mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang dan Pemerintah Aceh untuk sesegera mungkin menyelesaikan konflik tersebut.
“Perlu ada tindakan dari pemerintah untuk menyelesaikannya secara bermartabat dan mengedepankan kepentingan warga,” kata Chandra.
Secara terpisah, Kapolres Aceh Tamiang AKBP Zulhir Destrian SIK MH mengaku tidak punya pilihan lain. Sebelumnya ia telah meminta Bupati untuk memfasilitasi permasalahan ini dan perusahaan tidak perlu melapor dulu.
“Karena perusahaan melaporkannya juga, ya kami sebagai penegak hukum harus memprosesnya,” ujar Zulhir, sebagaimana dikutip dari aceh.tribunnews.com, Kamis (5/7). []
Belum ada komentar