Prostitusi eksklusif masih saja ditemukan di bumi syariat. Mucikari bisnis esek-esek itu beroperasi di sejumlah hotel berbintang di Banda Aceh. Menawarkan layanan seks wanita belia, dari kalangan mahasiswi hingga pekerja kantoran.
Belakangan ramai pemberitaan terkait pengungkapan kasus prostitusi online di bumi Serambi Mekkah. Pengungkapan bisnis ini bukan pertama di Provinsi Aceh.
Dalam kurun waktu satu bulan, jajaran Kepolisian Polda Aceh berhasil mengungkap kasus prostitusi di beberapa wilayah di Provinsi Aceh. Terbaru, Polresta Banda Aceh pada Rabu (21/3) malam, mengungkap prostitusi online di Hotel The Pade, Aceh Besar.
Dari pengungkapan ini, polisi mengamankan seorang mucikari dan tujuh wanita diduga pekerja seks komersial yang sebagian besar berstatus mahasiswi.
Ketujuh wanita yang ditangkap tersebut berinisial AYU (28), CA (24), RM (23), DS (24), RR (21), IZ (23) MJ (23). Sementara mucikari berinisial MRS (28). Mereka saat ini ditahan di Mapolresta Banda Aceh guna proses penyelidikan.
Pengungkapan kasus prostitusi online di hotel bintang empat yang berlokasi di Jalan Soekarno-Hatta, Darul Imarah, Aceh Besar itu, setidaknya membuka tabir gelap bisnis prostitusi lewat media sosial seperti WhatsApp, BBM dan Facebook.
Kapolresta Banda Aceh AKBP Trisno Riyanto saat konferensi pers di Mapolresta Banda Aceh, Jumat (23/3), mengatakan, geliat bisnis layanan seks online ini semakin banyak ditekuni para wanita muda dari berbagai kalangan di Banda Aceh.
“Para PSK ini sudah beroperasi menjalankan bisnisnya selama 2 tahun di Banda Aceh. Mereka mainya di Banda Aceh saja, tidak di luar kota,” ujar Trisno didampingi Kasat Reskrim AKP Muhammad Taufiq.
Menurut Kapolresta, para PSK yang berhasil diamankan itu sebagian besar pendatang baru. Diketahui, para PSK online tersebut merupakan warga Aceh.
“Mereka belum begitu profesional, masih pemula. Usianya juga masih muda-muda. Umumnya masih berstatus mahasiswi,” ujarnya.
Kata dia, ada beberapa hal yang menyebabkan bisnis online ini semakin banyak digeluti seiring dengan perkembangan dan kemajuan IT. Salah satunya adalah karena alasan ekonomi. “Motifnya ya biasa, faktor ekonomi. Tuntutan biaya hidup mahal. Menurut pengakuan mereka seperti itu,” tambah Trisno.
Dari hasil introgasi, para PSK tersebut mengaku untuk sekali kencan bersama pria hidung belang dibanderol dengan harga Rp2 juta per orang. Harga tersebut ditentukan oleh sang mucikari, dan kemudian mereka berbagi keuntungan. “Mucikari mengambil keuntungan dari tarif yang ditentukan, bisa mencapai Rp500 ribu hingga Rp600 ribu,” ungkap Trisno.
Muncikari tersebut diancam dengan pasal 25 ayat (2) Jo pasal 23 ayat (2) Jo pasl 6 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Ancaman hukuman 45 kali cambuk, denda 459 gram emas murni atau penjara paling lama 45 bulan. Sedangkan ketujuh dterduga PSK akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Banda Aceh dan juga akan memanggil kedua orang tuanya.
Praktik prostitusi online di wilayah Aceh Besar itu mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk orang nomor dua di Aceh Besar.
Kasus ini seakan mencoreng wajah Pemkab Aceh Besar yang tengah getol-getol membuat aturan bernuansa syariah. Wakil Bupati Aceh Besar Tgk H Husaini A Wahab mengaku geram dengan pengelola Hotel The Pade, yang memberikan izin atau akses kepada pelaku prostitusi.
Diakui Waled, sapaan akrab Wakil Bupati Aceh Besar, pihak Hotel The Pade telah menodai pelaksanaan dan penegakan syariat Islam di wilayah Kabupaten Aceh Besar. “Atas nama pribadi dan pemerintah Kabupaten Aceh Besar, saya mengecam kegiatan yang melanggar syariat Islam ini,” ucap Waled.
Atas pengungkapan kasus prostitusi online tersebut, Pemerintah Aceh Besar mengingatkan pihak Hotel The Pade untuk mentaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. “Tidak ada tempat untuk maksiat di wilayah Aceh Besar. Kalau tidak mematuhi aturan yang ada, silahkan angkat kaki dari Aceh Besar. Jangan menodai Aceh Besar dengan hal-hal yang mengarah pada perzinaan,” tengas Wabup.
Hal senada juga disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Besar Sulaiman SE. Dirinya mengancam jika penyedia jasa akomodasi seperti hotel dan tempat wisata memfasilitasi kegiatan prostitusi, maka silahkan hengkang dari Kabupaten Aceh Besar.
“Kita sangat menyesalkan bahwa di Aceh Besar marak kasus prostitusi. Kita tidak menyangka di Aceh Besar ada hal semacam ini. Apalagi difasilitasi oleh hotel bintang empat. Kita mengecam Hotel The Pade,” kata Sulaiman, Jumat pekan lalu.
Sulaiman menuturkan, dewan bersama pemerintah daerah setempat akan melakukan evaluasi. Bahkan dia mengancam tidak akan segan-segan untuk mencabut izin hotel tersebut. “Kita bersama pemerintah daerah akan mengevaluasi. Jika ini terjadi lagi, kita bersama pemerintah daerah akan mencabut izin hotel The Pade,” tegasnya.
Di sisi lain, ia juga mempertanyakan kinerja polisi syariat di Kabupaten Aceh Besar. Dia mengganggap Wilayatul Hisbah (WH) tidak bekerja dengan maksimal.
“Kita meminta kepada WH untuk lebih proaktif, jangan cuma bisa mengandalkan dan menerima laporan dari masyarakat. WH harus ada data-data intelijen yang bekerja di lapangan untuk mengantisipasi, dan memonitor terkait aktivitas yang melanggar syariat Islam,” pinta politisi Partai Aceh ini.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP-WH) Kabupaten Aceh Besar Ramahdaniaty SSos MM mengaku pihaknya sudah sering melakukan razia di sejumlah tempat penginapan, termasuk di Hotel The Pade.
“Kita sebenarnya sudah sering mendapat laporan dari masyarakat, bahkan sudah pernah dilakukan razia gabungan, tapi tidak ditemukan pelanggaran di hotel tersebut,” kata Ramah ketika dikonfirmasi, Sabtu (24/3/2018).
Menurut dia, selama ini karena keterbatasan personel makanya kesulitan dalam bekerja di lapangan. Diakuinya, polisi syariah di Aceh Besar butuh dukungan dari semua pihak, termasuk masyarakat dan juga pengelola hotel agar dapat bekerja sama.
“Kita hanya punya 37 personel WH, tidak mungkin bisa kita kawal hotel tersebut 24 jam, sementara kita harus melakukan pengawasan di tempat lain dengan wilayah Aceh Besar yang cukup luas,” ujarnya.
Dikatakan, sebelum dilakukan penggerebekan oleh polisi, jauh-jauh hari sebelumnya, Pemkab Aceh Besar melalui Satpol PP-WH sudah mengeluarkan surat imbauan kepada seluruh pengelola hotel untuk tidak menyediakan fasilitas yang mengarah pada pelangaran syariat Islam.
“Kami sudah buat suratnya, termasuk untuk Hotel The Pade. Itu di bulan November kita kasih imbaunya,” jelasnya.
WH Aceh Besar masih harus akan berkoordinasi dengan lintas sektoral untuk membahas sanksi apa yang akan diberikan kepada pengelola hotel yang nakal.
“Kita menunggu intruksi pimpinan dulu, jika masih terulang maka ada peringatan satu, dua, tiga hingga pencabutan izin. Untuk saat ini, saya masih minta petunjuk kepada pimpinan apakah teguran atau dicabut izin. Karena yang mencabut izin bukan kewenangan kita, kita hanya pelaksana saja,” aku Rahmah.
RENTETAN KASUS
Sebelumnya, pada medio 2017 lalu, Polresta Banda Aceh juga berhasil mengungkap kasus serupa di Hotel Grand Nanggroe Banda Aceh. Dalam kasus ini, petugas Kepolisian Polresta Banda Aceh menanangkap seorang mucikari berinisial AI warga Simeulue, dan enam wanita yang diduga sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
Dari pengakuannya kepada penyidik, AI telah menjalankan bisnis tersebut selama dua tahun. “Mereka bermain pindah-pindah tempat,” ujar Kapolresta Banda Aceh T Saladin kala itu, 23 Oktober 2017.
AI sendiri mengaku mengembangkan bisnis tersebut dari seorang ibu-ibu. “Dia belajar dari sana, bahkan cewek-cewek tersebut awalnya dikenalkan oleh ibu-ibu tersebut,” katanya.
Dari hasil keterangan AI dan PSK, sambungnya, mereka memasang tarif untuk sekali kencan dengan harga Rp800.000 hingga Rp1.500.000. “Rata-rata yang menjadi pelangan merupakan para pekerja, baik warga Banda Aceh maupun dari luar Banda Aceh.”
Tersangka AI, penyedia fasilitas PSK di media daring di Banda Aceh akhirnya dicambuk sebanyak 37 kali. Keputusan ini setelah divonis bersalah oleh Mahkamah Syariah. Pelaku terbukti melanggar pasal 25 Ayat 1 tentang ikhtilat (berkumpulnya laki-laki dan wanita yang bukan mahram) dalam qanun jinayah.
Terhukum cambuk berinisial AI menerima sabetan rotan dari dua algojo secara bergantian. Namanya masuk dalam daftar keempat pelanggar yang menjalani ekseskusi cambuk di halaman Masjid Baitusshalihin, Ulee Kareng, Banda Aceh, Jumat (19/1).
Pada 27 November 2015, kasus serupa juga pernah terungkap. Dua orang mucikari berinisial NA (24) dan AD (24) ditangkap Subdit 3 Dit Reskrimum Polda Aceh karena terlibat bisnis prostitusi. NA dan AD disinyalir menjadi mucikari yang menjajakan layanan seks wanita muda kepada tamu hotel.
NA sehari-hari berprofesi sebagai Master of Ceremonies (MC) terkenal di Banda Aceh. Ia sering menjadi pembawa acara di sejumlah pentas. Sedangkan AD merupakan asisten NA dalam berbagai kegiatan yang mereka lakoni, termasuk menyediakan layanan seks komersial kepada lelaki hidung belang.
Sebelumnya, AD juga pernah bekerja di sejumlah mall di Banda Aceh. Saat ditangkap pada 27 November 2015, keduanya baru selesai melakukan transaksi dengan seorang tamu yang menginap di Hermes Palace Hotel Banda Aceh. Bersama mereka, ikut diamankan seorang siswi sebuah SMA yang dijadikan pekerja seks komersial.
Dalam pengakapan yang dilakukan pukul 22.00 WIB itu, polisi juga menyita barang bukti handphone sebagai alat komunikasi, sepeda motor, dan uang tunai Rp1,2 juta.
Sementara wanita berinisial M yang dijajakan kepada seorang tamu hotel merupakan warga Kota Banda Aceh. Wanita belia yang masih berstatus siswi sebuah SMA itu hanya ditetapkan polisi sebagai saksi korban.
Namun, tanpa diketahui apa pertimbangannya, keduanya tak dijerat dengan qanun jinayat. Akhirnya, setelah menjalani persidangan, kedua tersangka diputus bebas.
SEMAKIN MARAK
Atas pengungkapan sejumlah prostitusi tersebut, mengisyaratkan bahwa dunia prostitusi di daerah yang dijuluki Serambi Mekkah ini selalu hidup, meski pemerintah melalui polisi syariah selalu melakukan razia di sejumlah lokasi rawan prostitusi seperti hotel dan lokasi wisata.
Prostitusi online di beberapa daerah diyakini sudah marak beroperasi sejak pengenalan situs jejaring sosial makin gencar di kalangan pengguna telepon cerdas (smartphone).
Sementara di Aceh, diketahui bisnis esek-esek melalui internet ini mulai marak pasca provinsi ini menerapkan syariat Islam.
Mucikari atau germo di Aceh tak mau ambil resiko dalam menjalankan bisnis haram ini di Aceh. Mereka lebih memilih tempat yang terbilang cukup aman, yaitu dunia maya. Sejumlah aplikasi media sosial dimamfaatkan oleh mereka. Di antaranya, facebook, WhatApps, Weechat, BeeTalk dan beberapa media sosial lainnya.
Bisnis prostitusi online ini bukan hanya dilakukan oleh germo saja, namun juga dilakukan oleh PSK sendiri. Hasil penelusuran Pikiran Merdeka, para PSK juga sering memajang foto dan memasarkan dirinya di media sosial tertentu seperti Wee Chat dan BeeTalk.
Kapolresta Banda Aceh AKBP Trisno Riyanto berharap kepada seluruh orang tua agar memberikan pengawasan terhadap anaknya, terutama kalangan mahasiswi yang menempuh pendidikan di luar kota.
Menurut Trisno, dengan adanya pengawasan dari pihak orang tua, maka sang anak tidak mudah terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.[]
Belum ada komentar