Dalam masterplane pembangunan Madani Center telah tertera plot pembangunan seluas 1,2 hektar untuk SMKN 5 dan SMAN 12 Banda Aceh. Area ini memang telah masuk dalam rencana Pemerintah Kota Banda Aceh dan bakal rampung pada 2018.
Penyerahan lahan tersebut dinilai oleh Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Banda Aceh sebagai solusi dalam mengatasi minimnya lahan belajar kedua sekolah ketika mulai berlangsungnya proyek Madani Center.
“Ada sekitar 1,2 hektar yang kami serahkan ke pemerintah provinsi untuk pembangunan SMK 5 dan SMA 12. Jadi sebenarnya bukan tanpa solusi,” kata Harisman, Kabid Aset DPKAD Banda Aceh saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat pekan lalu.
Harisman menyadari adanya kendala pada aktifitas sekolah di sekitar pembangunan gedung Madani. Dalam setiap rapat koordinasi, kata dia, persoalan tentang nasib SMKN 5 dan SMA 12 selalu jadi pembahasan. Dan, untuk menentukan lahan sekolah di tahun mendatang, pihaknya juga selalu melibatkan perwakilan sekolah tersebut.
Dalam pengembangan kawasan BMEC, lanjut dia, untuk sementara belum menggusur seluruh kawasan SMKN 5 Telkom. “Maka belum terlalu masalah, namun ketika luasnya mengenai gedung SMK Telkom, ya kami harap pihak mereka bisa segera pindah ke lokasi yang telah ditetapkan seluas 1,2 hektar tersebut,” ujar Harisman.
Mengenai belum dimanfaatkannya lahan tersebut oleh sekolah, pihaknya mengaku tidak tahu menahu. “Saya hanya mengurusi soal aset, jika ada keluhan mengenai operasional pendidikan, itu wewenang Disdik Provinsi,” tandasnya.
Namun intinya, Harisman meyakini, bahwa area bekas SMEA yang total memiliki luas 7,1 hektar itu adalah aset Pemerintah Kota. Ia merujuk pada aturan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 tahun 1999 yang menyatakan adanya peralihan kewenangan Pendidikan Menengah menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. “Sementara untuk sertifikat lahannya, masih atas nama Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,” jelasnya kemudian.
Sementara itu, berdasarkan keterangan salah seorang mantan pejabat di Dinas Pendidikan Aceh, lahan 7,1 hektar tersebut sudah menjadi aset Pemerintah Aceh sejak berlakunya UU No.23 tahun 2014 yang menjelaskan bahwa pendidikan setingkat SMA/SMK telah menjadi tanggung jawab dan kewenangan Pemprov. Kewenangan yang dimaksud meliputi alokasi dana, tenaga pengajar, infrastruktur sekolah, pembangunan sekolah, dan siswa.
Harisman mengerti tentang adanya peraturan tersebut, karena itu pihak Pemko telah melaksanakan aturan baru itu dengan menyerahkan sebagian lahan. “Tidak seluruhnya, akan tetapi hanya 1,2 hektar,” katanya.
Lahan seluas 1,2 hektar itu untuk dua sekolah, SMKN 5 Telkom dan SMAN 12. “Sementara SMK lama kan sudah punya lahan yang mereka tempati sekarang di kawasan Lhong Raya,” terang Harisman.
Baca: Ketika Sekolah Tergusur Madani Center
Dalam kesempatan berbeda, pihak Disdik Aceh tidak sepakat bahwa adanya lahan di Lhong Raya menjadi alasan Pemko untuk tidak menyerahkan tanah bekas SMEA itu seluruhnya, karena keberadaan area baru yang terletak di Lampeuneurut itu merupakan bantuan dari Jerman pada 2008.
“Terlepas jika pemerintah provinsi setuju atau tidak dengan penyerahan luas lahan tersebut. Ini kan kami yang serahkan. Kasusnya sama ketika Pusat menyerahkan ke kabupaten/kota dulu. Kami sebagai pihak yang menerima, tidak menyatakan setuju atau tidak setuju,” ucap Harisman.
Sementara Staf Ahli Gubernur Bidang Hukum dan Politik Pemerintah Aceh, M Jafar ikut memberikan keterangan. Pihaknya saat ini telah membentuk tim yang akan langsung dikoordinasi oleh Biro Tata Pemerintahan Setda Aceh. Kerja tim ini dibantu jajaran inspektorat dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh sebagai pendamping independen. Adapun tugasnya adalah melakukan validasi data aset-aset yang ada di lingkungan yang sedang diperebutkan itu.
“Jika nanti telah ada hasil dari tim validasi yang memastikan seluruh aset itu milik SMK, maka otomatis, merujuk pada perintah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, semuanya harus diserahkan ke provinsi. Ini harus dilaksanakan, tidak boleh menyimpang,” tegas Jafar saat dikonfirmasi Pikiran Merdeka, Sabtu lalu.
Sesuai dengan arahan kementerian terkait, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka seluruh proses pelimpahan kewenangan Personel, Pendanaan, Sarana dan Prasarana serta Dokumen (P3D) sudah seharusnya tuntas pada Oktober tahun lalu. “Ini jelas sudah terlambat,” imbuh Jafar.
Ia menyadari pelimpahan kewenangan untuk tingkat Kota Banda Aceh memerlukan penanganan khusus, berbeda dengan sekolah menengah di kabupaten/kota lainnya di Aceh yang telah lama selesai. “Perlu ditangani secara khusus, maka kita kerahkan tim independen (BPKP) untuk membantu tim dalam memvalidasi aset nantinya. Sementara di daerah lain selama ini cukup ditangani tim internal Pemerintah Aceh,” tambahnya.
Berangkat dari ketidaksepahaman antara kedua pihak, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Laisani memberikan tanggapan. Melalui sambungan telepon, ia menjelaskan, baik Pemko dan Pemerintah Aceh hingga kini masih melakukan koordinasi untuk menemukan celah kesepakatan.
“Di situ kita bisa lihat Pemko ingin agar lahan ini bisa jadi milik mereka. Tapi bagi kita di provinsi, ini kan lahannya pendidikan. Berarti itu kan kewenangan kita. Kita lihat nanti bagaimana penyelesaiannya, yang jelas kami masih berhubungan baik, dan keharmonisan harus terus diwujudkan. Sampai sekarang kita belum tahu titik temu akan seperti apa, karena masih dalam tahap identifikasi masalah,” tuturnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu.
Dinas Pendidikan Aceh memandang, lanjut Laisani, perlu lebih dikedepankan tujuan untuk mengembangkan kawasan pendidikan. Peralihan wewenang yang ditetapkan oleh pusat semata-mata demi memaksimalkan kerja pendidikan.
Baca: Mengendus Penyimpangan Proyek Madani Center
Menurut M Jafar, dalam rapat tim validasi Jumat lalu juga telah berkembang desas-desus perebutan lahan ini melibatkan berbagai pihak. Salah satu yang ia dengar, yakni sempat ada permintaan pihak tertentu yang menginginkan tanah itu dengan memberikan kompensasi Rp50 miliar kepada pemerintah. Namun keinginan itu tak terkabul mengingat banyak pihak yang menentang alih fungsi lahan SMK bagi kepentingan di luar pendidikan.
“Malahnya, ada yang ingin kawasan itu jadi pusat perbelanjaan, pusat perkantoran, dan sebagainya dengan memberikan kompensasi Rp50 miliar. Tapi ini tak pernah berlanjut. Di tentang banyak pihak, salah satunya PGRI yang bersikeras mempertahankan kawasan SMK itu sebagai kawasan pendidikan,” beber Jafar.
Laisani menambahkan, tidak ada persoalan mengenai siapa yang nantinya akan mengelola lahan itu, sepanjang tetap diprioritaskan untuk pendidikan. “Peralihan kewenangan inilah yang perlu ditekankan. Dengan catatan, Pemko jangan pula melakukan intervensi. Kalau memang harus diserahkan kembali setelah pernah jadi milik mereka, ya serahkanlah. Saya harap Sekretaris Daerah Aceh ikut turun tangan mengatasi hal ini,” tandas Laisani.[]
Belum ada komentar