Layak sebuah kutukan, APBA telat bakal terulang tahun ini. Tolak-tarik kepentingan legislatif dan eksekutif tak terhindarkan. Bahkan, pembahasan anggaran di DPRA kini dihentikan.
Perkembangan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA) 2018 jauh dari harapan. Hingga memasuki pekan kedua bulan Desember, Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) masih membahas Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) 2018. Draft dokumen ini sebenarnya sudah pernah disampaikan Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah pada 1 Agustus 2018 kepada Wakil Ketua III DPRA Dalimi. Namun, di tengah jalan pembahasannya distop DPRA karena. Hal ini dikarenakan di saat dokumen KUA dan PPAS 2018 belum tuntas dibahas, TAPA malah menyodorkan dokumen RAPBA 2018.
KUA PPAS adalah dokumen anggaran yang dibuat oleh TAPA untuk disampaikan kepada gubernur sebagai pedoman dalam penyusunan APBA. KUA-PPAS disusun berdasarkan Rencana Kerja Aceh (RKA) dari hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Lalu KUA-PPAS ini diserahkan kepada DPRA untuk dibahas bersama.
Bila merujuk pasal 18 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka seharusnya Pemerintah Aceh sudah menyerahkan KUA PPAS kepada DPRA pada pertengahan Juni tahun berjalan. Makanya, sejak awal tahapan ini sudah terlambat.
Jika dicermati, persoalan keterlambatan pengesahan APBA bukan hal baru lagi di Aceh. Sejak tahun 2004, APBA selalu terlambat dibahas dan diqanunkan. Pihak legislatif maupun eksekutif sama sekali tidak merasa bersalah, dan tidak ada niat untuk memperbaiki kinerja dalam membahas APBA tepat waktu di tahun berikutnya.
Baca: Menyoal Kinerja TAPA
Tercatat, tahun 2004 APBA molor dan baru disahkan pada April 2004. Bahkan, APBA 2007 baru disahkan pada akhir Juni 2007. Dalam dua tahun terakhir, pengesahan molor hingga akhir Januari. APBA 2016 baru ketuk palu pada 30 Januari 2016, sedangkan APBA 2017 disahkan 30 Januari 2017.
Tahun ini, kutukan keterlambatan APBA terulang lagi. APBA 2018 hampir dipastikan akan terlambat. Bahkan, belum diketahui seberapa lama keterlambatan APBA tahun ini. Akibatnya, Pemerintah Aceh belum bisa melakukan action plan pembangunan sejumlah proyek dan program pembangunan selama setahun anggaran.
Keterlambatan pengesahan APBA sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003. Sebab, UU mengamanahkan pengesahan APBA paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan.
Sejurus dengan itu, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai turunan dari UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga disebutkan dalam pasal 36 ayat 2, di mana kepala daerah tidak menyampaikan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah kepada DPRD sesuai dengan waktu yang ditetapkan oleh UU, maka akan dikenakan sanksi. Begitu pula bila kepala daerah dan DPRD tidak menyetujui bersama rancangan Perda APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun, juga diancam sanksi.
Baca: Mencium Gelagat APBA Dipergubkan
Sanksi administratif sebagaimana pelanggaran dimaksud adalah tidak dibayarkan hak keuangan selama 6 bulan.
Dampak keterlambatan itu paling nyata dirasakan rakyat biasa. Keterlambatan pengesahan APBA semakin memperburuk upaya pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi rakyat Aceh.
Sejatinya, rakyat Aceh menaruh harapan besar kepada Pemerintahan Irwandi-Nova. Namun, lagi-lagi harapan itu masih sebatas mimpi. Kutukan APBA telat masih berlanjut.[]
Tarik Ulur Pembahasan Anggran
TAPA menyerahkan RAPBA ke DPRA sebelum KUA-PPAS disetujui. Hal itu ditengarai menjadi muasal dihentikannya pembahasan anggaran.
Menjelang sore pukul 14.30 WIB, anggota Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) belum juga tiba di ruang Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Senin (4/12). Ketua Fraksi PAN sekaligus pimpinan Komisi IV DPRA Asrizal H Asnawi bersama puluhan anggota komisi lainnya masih menunggu di ruang tersebut. Mereka mengagendakan pembahasan dokumen Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (PPAS) Tahun 2018.
Setengah jam berselang, pimpinan Banggar Tgk Muharuddin menerima kabar dari Sekretaris Dewan, bahwa tim TAPA baru saja tiba menyerahkan dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA) Tahun 2018. Tgk Muhar langsung menyampaikan perihal itu ke anggota dewan yang ada di ruang Banggar. Semuanya lantas terkejut.
“Kita bertanya-tanya ketika itu, kenapa dokumen RAPBA duluan disodorkan?” tutur Asrizal kepada Pikiran Merdeka, Kamis (7/12) pekan lalu.
Baca: Serapan APBA 2017 Macet
Ia mengungkapkan, dokumen RAPBA 2018 seharusnya diajukan setelah ada kesepakatan mengenai KUA PPAS. Aturan dari Permendagri memperjelas bahwa dokumen KUA PPAS merupakan pedoman dalam penyusunan dokumen Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Secara substansi, Asrizal menjelaskan, dokumen KUA memuat kebijakan terkait bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode satu tahun ke depan. Kebijakan umum itu juga memuat kondisi ekonomi makro daerah, asumsi-asumsi dasar dalam penyusunan RAPBA dan kebijakan pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah serta strategi pencapaianya.
Sementara itu, dokumen PPAS berisi rancangan program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD sebelum disepakati dengan DPRA. “Jadi, dokumen KUA PPAS ini harus disepakati terlebih dahulu baru bisa kita membahas RAPBA 2018,” sebut dia.
Terus terang, lanjut Asrizal, hingga saat ini pembahasan KUA PPAS masih terkendala pada acuan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Saat ini, dokumen yang tengah dalam pembahasan di ruang Banggar itu masih menyisipkan RPJM dari pemerintahan sebelumnya. Lantaran draf RPJM era gubernur Irwandi Yusuf baru selesai pada November lalu.
“KUA PPAS yang sudah memasukkan RPJM-nya pak Gubernur Irwandi belum ada, padahal yang kita inginkan pembahasan dokumen KUA PPAS itu sudah tergambarkan visi-misi beliau,” tambahnya.
Namun, ia mengaku tak terlalu mempermasalahkan hal ini. “Kalau yang diserahkan bulan lalu itu sah juga, tetapi kan karena memang kemarin kita punya sedikit waktu toleransi dari pihak Banggar menunggu semua program yang sudah dijanjikan Irwandi selaku gubernur baru. Sambil menunggu proses itu dan segala macam, waktu kita kan sudah terlambat,” ujarnya.
Sejak insiden penyerahan dokumen RAPBA tersebut, pihak Banggar bersepakat untuk menghentikan sementara pembahasan KUA PPAS. Asrizal sendiri dalam forum tersebut meminta pimpinan Banggar untuk mengembalikan dokumen itu ke pihak TAPA.
“Kalau kita terima, LSM bakal usut ini. Karena jelas-jelas ada tahapan yang kita lompati. Harusnya KUA PPAS ini selesai dan disepakati dulu, baru kita melangkah ke tahap selanjutnya. Kecuali ada intruksi dari gubernur untuk pakai saja KUA PPAS yang diserahkan bulan Juli lalu itu, tidak usah menunggu RPJM yang baru, ya kita bisa pakai itu,” tambah Asrizal.
Meski di satu sisi ia tetap menyayangkan jika dokumen kebijakan tersebut belum memuat program terbaru dari gubernur.[]
Belum ada komentar