PM, Banda Aceh – Polemik mulai bermunculan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan surat nomor 646/PL.01.4-SD/06/KPU/VII/2018 yang isinya mengembalikan ketetapan kuota calon legislatif dari partai politik lokal di Aceh sebesar 120 persen.
“Ada sebagian pihak menilai ketentuan itu tidak adil, karena kuota 120 persen itu tak berlaku bagi partai nasional,” ujar dosen FISIP Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada, Selasa (10/7).
Untuk partai nasional, ujar Aryos, yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, yakni kuota caleg sebesar 100 persen. “Artinya Parlok bisa ajukan lebih banyak 20 persen,” sebut dia.
Menyikapi tudingan sejumlah pihak yang menyebut ketentuan kuota caleg antara Parlok dan Parnas itu tidak adil, Aryos menyampaikan, ketentuan kuota 120 persen untuk Parnas tidak bisa serta merta diterapkan hanya berdasarkan asas keadilan dan kesetaraan. Mengingat, Aceh memiliki sejumlah kekhususan.
“Sebab untuk konteks Aceh yang merupakan daerah khusus, kesetaraan dan keadilan harus ditempatkan dalam bingkai Pemilu asimetris yang membenarkan adanya kekhususan dalam hal penyelenggaraan pemilu,” jelasnya.
Artinya, dalam beberapa hal terdapat kekhususan dalam penyelenggaraan Pemilu di Aceh. “Hal tersebut juga dilegalkan dalam Undang-Undang,” ujar Aryos.
Ia juga menjelaskan, kuota 120 persen itu memang hingga saat ini masih berlaku untuk partai lokal, karena diatur dalam Qanun 3 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Lokal.
“Lagipula Qanun ini sendiri belum direvisi dan dicabut sehingga secara hukum masih berlaku,” timpalnya.
Meskipun ketentuan kuota 120 persen dalam Qanun 3 Tahun 2008 didasarkan pada UU 10 Tahun 2008 (tentang Pemilu) yang sudah dicabut, namun secara hukum Qanun tersebut tetap berlaku sejauh belum diubah atau dicabut.
“Pasal ini tetap harus diberlakukan bagi Parlok bila tidak dapat mengancam kekhususan Aceh dalam hal pengajuan DPRA/DPRK bagi Parlok,” sebutnya.
Ia menjelaskan lagi, dalam UU Pemerintahan Aceh Pasal 80 huruf e diatur ketentuan Parlok berhak mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPRA dan DPRK. Kemudian pada ayat 2 juga disebutkan, bahwa pelaksanaan ketentuan dimaksud diatur dalam Qanun Aceh.
“Artinya dalam hal pengajuan calon bagi Parlok, Parlok dapat membuat ketentuan yang berbeda dalam hal pengajuan calon dengan Parnas. Hal tersebut sah-sah saja karena diakomodir oleh UUPA,” jelas peneliti Jaringan Survei Inisiatif ini.
Sementara itu, di sisi lain ia juga mengkritisi kesalahan penulisan Qanun dalam surat KPU tersebut, seharusnya Qanun 3 Tahun 2008, namun tertulis Qanun 3 Tahun 2018.
“Hal (salah tulis) ini fatal. KPU harus segera membuat surat baru dan mengkoreksi surat tersebut, agar tidak timbul polemik lain yang berkepanjangan,” pungkas aryos. []
Belum ada komentar